KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Sabtu, 30 Juli 2011

PENGANTAR PENULIS (INTELEKTUAL MUDA BERJIWA ULAMA)



PENGANTAR PENULIS (INTELEKTUAL MUDA BERJIWA ULAMA ; POTRET PERJALANAN DAKWAH DAN PERJUANGAN KH.SHIDDIQ AMIEN



SHIDDIQ AMIEN GURU KAMI


Oleh : Ust. Rusyana DS


Shiddiq Amien itu-lah namamu
"Shiddiq" dan "Amien" melekat dalam sifatmu
"Shiddiq" dan "Amien" yang selalu kau ajarkan
"Shiddiq" dan "Amien" kau wariskan kepada kami


Menyenangkan saat kami pandang
Menjadi tadzkirah dikala kau berjalan
Memberi wawasan disaat kau berucap
Memberi uswah dikala kau bersikap


Begitu cepat menghadap yang Maha Rahman
Padahal kehadiranmu selalu kami dambakan
Tak kuasa kami untuk menahan
Hanya doa yang dapat kami panjatkan


Jasamu akan tetap kami kenang
Pesan-pesanmu akan tetap kami ingatkan
Perjuanganmu akan tetap kami lanjutkan
Dalam barisan Persatuan Islam



Bismillahirrahmanirrahim

Sedikitnya, bagi penulis ada dua pengalaman bersama KH.Shiddiq Amien yang sangat berkesan dan setidaknya mencerminkan dan menggambarkan  sosok beliau sebenarnya. Pertama, saat itu penulis baru naik ke kelas 3 tingkat Mu’allimien. Setiap 3 (tiga) bulan sekali PD.Persis Priatim (sebelum dimekarkan menjadi PD.Tasikmalaya, Ciamis dan Banjar)  mengadakan acara mubahatsah yaitu sebuah acara yang membedah persoalan yang memerlukan penyelesainya karena dianggap perlu kejelasan dalil. Jika dalam mubahatsah di tingkat Pimpinan Daerah tidak ada titik temu, maka persoalan itu dibawa kesidang Dewan Hisbah PP.Persis di Bandung. Salah satu topik yang diangkat saat itu adalah masalah Takbiratul-Ihram. Ust.Shiddiq (Ketua PD) menjadi moderator, penulis oleh Pimpinan Cabang Cikoneng (saat itu) bersama Ust.Zenal Abidin (aki Zenal) dipercaya menjadi wakil. Ketika diskusi semakin hangat, penulis mengangkat tangan dan hendak mengemukakan pendapat. Tiba-tiba moderator berujar : Silahkan "Ustadz”!...dan setelah penulis mengemukakan pendapat, moderator (Ust.Shiddiq) berkata: Apa yang disampaikan (pendapat) Ustadz dari Cabang Cikoneng, perlu mendapat perhatian karena selama ini…… (dan seterusnya)”. Sebagai santri saat itu, kata-kata "Ustazd" yang dialamatkan kepada penulis, adalah suatu penghormatan dan penghargaan yang luar biasa.

Kedua, ketika penulis mulai berkenalan dengan dunia kampus sempat beredar dan menjadi isuue bahwa penulis telah berpindah haluan menjadi pengikut Syi’ah. Seingat penulis hal itu diawali oleh  sebuah tulisan di Bulletin Al-UMMAH yang dikelola oleh PW.Pemuda Persis DKI Jakarta. Dalam Bulletin itu penulis mengutip pendapat DR.Jalaluddin Rahmat (kang Jalal). Entah apa penulis dikatakan Syiah, sebab seingat penulis dalam Bulletin itu sebagaian ustadz (dari Persis tentunya) banyak mengutip pendapat luar Islam, anehnya mereka tidak dikatakan kafir. Tetapi ketika ada pertemuan dengan KH.Shiddiq Amien yang kebetulan disebuah masjid yang penulis tempati, beliau berujar “Ana yakin antum tidak seperti apa yang mereka sangkakan”.  Kalimat itu bahkan seolah menjadi dorongan kuat bagi penulis untuk terus menimba ilmu dan berkiprah apapun sangkaan yang mereka alamatkan!

Cukup lama penulis mengenal sosok KH.Shiddiq Amien, bahkan jauh sebelum masuk pesantren yang diasuhnya, terlebih dahulu penulis diperkenalkan oleh kedua orang tua dengan cara mengajak ke pengajian yang diisinya sebulan sekali ditempat dimana penulis dilahirkan.[1] KH.Shiddiq Amien merupakan sosok ulama intelektual yang mampu memberikan pencerahan pemikiran dan gerakan dakwah khususnya melalui dan dilingkungan jamiyyah Persatuan Islam. Harus diakui Persis dibawah kepemimpinannya mengalami sebuah penyegaran pemikiran konsep dan program yang disesuaikan dengan keadaan yang dibutuhkan. Ulama asal Kota Tasikmalaya yang gemar membaca ini, merupakan sosok yang kehadirannya sangat dinantikan dan dibutuhkan oleh umat. Gaya penyampaian yang komunikatif dan argumentative, disertai gaya dakwah yang memikat membuat orang tidak mau beranjak untuk tetap menyimak pesan yang disampaikannya. Mulai dari masyarakat menengah kebawah, sampai menengah keatas. Dari mulai petani sampai ketingkat akademisi bahkan ketingkat elit (pejabat). KH.Shiddiq Amien mewarisi pemikiran intelektual dan keulamaan,  sekaligus akan memberikan kesan istimewa mengenai kepribadian dan pematangan intelektual dan sangat disegani dilingkungan jamaah dan jamiyyah Persis.

Alhamdulillah, coretan yang berjudul INTELEKTUAL MUDA BERJIWA ULAMA (POTRET PERJALANAN DAKWAH DAN PERJUANGAN KH.SHIDDIQ AMIEN) dapat diterbitkan. Buku yang ada ditangan pembaca ini pada awalnya merupakan keinginan penulis mengabadikan berbagai catatan ataupun pengalaman dengan seorang guru. Penulis sering mengikuti berbagai acara terutama pengajian baik sewaktu masih menjadi santri di pesantren yang dipimpinnya atau-pun dalam acara-acara lain terlebih di jamiyyah Persis. Sebenarnya saat beliau masih ada, keinginan mengabadikan kegiatan beliau lewat sebuah buku sudah muncul, bahkan penulis sering ngobrol yang berujung menanyakan (wawancara) sesuatu yang sebenarnya ada maksud mengumpulkan bahan, hanya ketika itu sebatas keinginan yang kuat. Oleh karena itu berbagai dokumen yang berkaitan dengan KH.Shiddiq Amien (penulis memanggilnya dengan ustadz Shiddiq) penulis simpan, baik berupa rekaman, makalah, atau-pun dalam bentuk surat resmi yang beliau tanda tangani, terutama yang berkaitan dengan dakwah. Tetapi saat beliau meninggalkan kita untuk selamanya, keinginan kuat itu semakin menjadi-jadi karena didorong pula oleh rasa kangen dan rindu yang sangat dalam. Ditambah lagi desakan dari teman-teman yang tergabung dalam FOKSI (Forum Komunikasi Alumni) Persis 67 Benda, yang meminta mempercepat  penulisannya.  Maka saat itu dokumen pribadi tentang Ustadz Shiddiq yang tersimpan,  perlahan tapi pasti mulai penulis curahkan dalam bentuk coretan. Dan untuk menambah bahan tulisan, penulis mencoba untuk mendatangi orang yang pernah dekat dan mengenal beliau terlebih pihak keluarganya. Dengan demikian “dokumen” berupa tulisan (buku) ini lahir karena dilandasi oleh rasa kerinduan dan kekaguman pada sosok da’i dan pimpinan yang selalu memperhatikan jamaahnya.

Mudah-mudahan dokumen kecil berupa buku ini menjadi “obat rindu”, sekaligus bisa mengambil hikmah bagi para pembaca, khususnya jamaah yang ada dilingkungan Persatuan Islam, umumnya bagi kaum muslimin. Sebab bagaimana-pun juga terkadang kita baru menyadari setelah tidak lagi bersama, bahwa kehadirannya masih sangat kita butuhkan.

Buku ini tentu belum bisa menggambarkan dakwah dan perjuangan maupun sosok pribadi KH.Shiddiq Amien secara utuh, sempurna, tuntas dan mendalam. Tapi mudah-mudahan sisi lain dari buku ini bisa mewakili secara menyeluruh dan bisa menjadi gambaran secara utuh, terlebih dapat dijadikan sebagai sebuah pelajaran bagi generasi penerus dakwah dan perjuangannya.

Jika coretan ini dapat terbit dan menghampiri para pembaca, tentu atas karunia Allah swt dan melalui usaha para hamba-Nya. Buku ini bahkan tidak akan terwujud tanpa dorongan dan bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu melalui ruang ini pula penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Keluarga besar KH.Shiddiq Amien yang telah banyak membantu memberikan berbagai data dan informasi, bahkan memberikan dukungan dan semangat penulis untuk dapat dengan cepat menyelesaikannya.

2. Ketua PW.Persis DKI Jakarta beserta jajarannya yang telah memberikan pasilitas dan kerja samanya 

3. Pimpinan Pesantren Persis 67 Benda KH.Muhtarom Amien, dan dewan asatidz yang disela kesibukannya rela menyempatkan waktu untuk memberikan data dan juga bersedia diwawancarai. 

4. Para anggota Forum Komunikasi Alumni (FOKSI) 67 Benda yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis, baik berupa candaan ataupun jenis masukan lainnya. 

5. Semua pihak yang telah membantu yang tentu tidak bisa penulis cantumkan satu persatu.


Tidak lupa secara khusus penulis sampaikan rasa sayang dan terima kasih kepada kedua orang tua, al-marhum Bapak M.Hujaeji dan al-marhumah Ema Haniah atas segala kasih sayang,  perjuangan dan do'a restunya yang tulus, terlebih telah memperkenalkan penulis kepada sosok Ustadz Shiddiq sejak kecil.(1) Juga tak lupa kepada mamah dan bapak (mertua) hatur nuhun pisan (terima kasih banyak) atas segala dukungan dan kecintaannya selama ini. Terakhir terima kasih pula penulis sampaikan untuk istriku tercinta, Ariek Herdiani Sulaeman, yang selalu sabar dan setia mendukung, serta anak-anakku, Alfi Fauzi Fatwa Islami, Aliya Fitri Nur Islami, Alifa Puji Nur Islami, Athif Anshari Ghazi Islami, Akmalia Rahmani Nur Islami, Aufa Akhyari Nashih Islami, dan Abyan Hanif Islami yang menjadi sumber semangat dan inspirasi yang tidak pernah ada habisnya.

Tentu penulis menyadari bahwa buku ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak sisi kekurangannya. Oleh karena itu dari lubuk hati yang paling dalam, penulis mohon maaf atas segala keterbatasan dan kekuranganya, dan tentunya kritik konstruktif sangat penulis nantikan.

Akhirnya kepada Alloh swt jualah penulis kembalikan segala persoalan. Dan semoga hal ini bernilai ibadah.

Jakarta, Ramadhan 1434 H
Billahi fi sabili al-haq
Wassalam

Abu Alifa Shihab


[1] Penulis mulai mengenal Ustadz Shiddiq saat umur 11 tahun (kelas 5 SD), ibu (bahasa sunda ema) Haniah sering mengajak mendengarkan pengajian yang disampaikan beliau di SD Inpres (sekarang SDN 3 Gunungcupu) sebulan sekali. Ketertarikan (entah karena apa waktu itu), membuat penulis mengurungkan niat masuk ke SMP Negeri, dan ingin masuk ke pesantren yang beliau pimpin sebagaimana keinginan kedua  orang tua saat itu.  

Jumat, 15 April 2011

BILANGAN WUDHU

 

Tanya  : Assalamu’alaikum … Pak ustadz bolehkah ketika berwudhu secara acak? Maksudnya membasuh muka 2kali tangan satu kali kaki 3kali dan mengusap kepala 2 kali! Trims AKE Cilegon 
Jawab :  Wa’alaikumussalam …Dalam beberapa keterangan (hadits) bahwa wudhu itu bisa dilakukan satu kali-satu kali:
 عن ابن عباس رضي اللَّه عنهما قال‏:‏ ‏توضأَ رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم مرةً مرةً‏‏ 

(Dari Ibnu Abbas ia berkata : Rasulullah saw pernah berwudhu satukali-satu kali (HR Al-Jamaah kecuali Muslim)
 Wudhu bisa dilakukan dua kali-dua kali : 
Dari Abdullah bin Zaid, bahwa Nabi SAW pernah berwudhu dengan membasuh dua kali-dua kali. (HR.Bukhari)
Juga bisa dilakukan tiga kali-tiga kali  
Dari Humran, mantan budak Utsman, bahwa ia melihat Utsman bin Affan minta dibawakan tempat air, lalu aku tuangkan ke telapak tangannya tiga kali kucuran, ia pun mencuci tangannya. Kemudian ia pun berkumur dan berintinsyaq kemudian membasuh wajahnya (tiga kali), kedua tangannya hingga sikut (tiga kali), lalu mengusap kepalanya. Dan membasuh kedua kakinya (tiga kali hingga mata kaki)… (HR.Bukhari) 
Dan bisa juga campuran, perhatikan keterangan dibawah ini :
Dari Abdullah bin Yazid bin Ashim Al Anshari RA, dia beerkata, "Dia pernah disuruh oleh seseorang, "Berwudhulah untuk kami seperti berwudhunya Rosululloh SAW." Kemudian dia meminta wadah berisi air lalu dikucurkan pada kedua tangannya dan membasuhnya tiga kali, kemudian dia masukkan kedua tangannya lalu dikeluarkannya, kemudian berkumur dan menghirup air dengan hidung dari satu telapak tangan. Dia melakukan itu tiga kali, kemudian dia memasukkan kedua tangannya dan mengeluarkannya lalu membasuh wajahnya tiga kali, kemudian dia memasukkan tangannya lagi dan mengeluarkannya kemudian membasuh kedua tangannya sampai siku masing-masing dua kali, kemudian dia memasukkan tangannya dan mengeluarkannya, lalu mengusap kepalanya dengan menggerakkan kedua tangannya dari depan ke belakang, kemudian dia membasuh kedua kakinya sampai mata kaki. Lalu ia berkata, "Demikianlah cara wudhu Rosululloh SAW."(HR.Muslim 1/145)
Adapun mengenai cara mengusap kepala hanya satu kali bersamaan mengusap telinga (baik memasukan telunjuk kedalam lubang telinga maupun ibu jari mengusap bagian luar telinga).
Dari Abdullah bin Amr.­ tentang sifat wudhu nabi saw., kemudian ia berkata:"Kemudian beliau saw. mengusap kepalanya dan dimasukkan kedua jari telunjukknya dikedua telingannya, dan diusap (daun telinga) dengan kedua ibu jarinya. (HR. Abu Dawud no.135, Nasa’i no.140 dan Ibnu Majah, no.422 dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah).
“Dan beliau (Nabi saw) mengusap kepala satu kali.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa`i dan at-Tirmidzi dari Abdullah bin Zaid dan Ali bin Abi Thalib). 
Jadi pernah diterangkan mengenai wudhu satu kali, dua kali maupun tiga kali bahkan campuran. Hanya mengenai mengusap kepala menurut dalil yang shahih hanya satu kali. Allohu A"lam

Jumat, 08 April 2011

IMAM MENGHADAP MA'MUM





Tanya  : Assalamu’alaikum wr.wb.  Pak Ustadz di Masjid tempat kami tinggal, biasanya selesai salam Imam suka menghadap kepada Makmum. Apakah hal itu ada perintahnya? TGR Jl. Mayor Oking Bogor

Jawab  :  Wa’alaikumussalam wr.wb. Menghadap makmum selesai shalat merupakan amal Nabi saw yang direkam oleh para shahabat. Hal ini tentunya tidak semata-mata Nabi melakukan hal itu, kecuali bagi kita mengikuti apa yang beliau contohkan. Dasar hukum perbuatan Nabi saw mengenai hal tersebut diantaranya : 

عن سمرة رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا صلى صلاة أقبل علينا بوجهه - رواه البخاري

Dari Samurah ra. berkata : Adalah Rasulullah saw. apabila selesai shalat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami. (HR.Bukhary)

Akan tetapi terkadang Nabi saw tidak membalikkan badannya, melainkan hanya memutar sekitar 90 derajat menghadap ke arah kanan atau terkadang ke arah kiri beliau. 

Dari Bara’ bin "Azib : Jika kami shalat dibelakang Rasulullah saw. kami paling suka berada disebelah kanannya (Nabi), (karena) beliau suka menghadapkan wajahnya kearah kami. (HR. Muslim, Abu Dawud I : 14)

Dari Ibnu Mas’ud ra berkata, Seringkali aku melihat Rasulullah SAW berputar ke kiri(HR.Bukhary Muslim)

Keterangan diatas menunjukkan bahwa Nabi saw selesai shalat wajib suka menghadap ke arah makmum. Baik itu membalikkan badan beliau secara keseluruhan, atau hanya kesebelah kanan beliau atau ke sebelah kirinya.

Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim  menyimpulkan bahwa adanya beberapa dalil mengenai hal tersebut, menujukkan memang terkadang  beliau SAW selesai shalat menghadap ke makmum (membalikan badannya), terkadang menghadap ke samping kanan dan terkadang menghadap ke samping kiri. Allohu A’lam

 

JALSAH ISTIRAHAH DALAM SHALAT



Tanya  :  Assalamu’alaikum wr.wb. Pak Ustadz apakah duduk menjelang bangkit dari sujud yang kedua, untuk bangkit ke rakaat kedua atau ke rakaat keempat itu disyariatkan? GH Bojong Gede Bogor

Jawab : Wa’alaikumussalam wr.wb. Dikalangan para ulama ada perbedaan dalam memandang hadits tentang duduk menjelang bangkit ke rakaat itu. 

Pendapat pertama, yang menganjurkan secara mutlak bahwa hal tersebut dalam kondisi apapun dianjurkan. Salah satu alasannya adalah hadits Malik bin Huwairits ra :

أنه رأى النبي صلى الله عليه و سلم يصلي فإذا كان في وتر من صلاته لم ينهض حتى يستوي قاعدا

Bahwasanya beliau melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat, apabila beliau selesai dari rakaat ganjil (satu dan tiga) maka beliau tidak bangkit sampai duduk dengan tenang” (HR. Al-Bukhary)

Berkata Asy-Syaukany:
“Di dalam hadist ini ada dalil disyari’atkannya duduk, yaitu duduk setelah sujud kedua sebelum bangkit ke rakaat kedua dan ke empat” (Nailu al-Authar 2/48)

Pendapat kedua, yang menyatakan bahwa duduk itu tidak dianjurkan bahkan langsung bangkit sebagaimana madzhab Hambali. Hal ini disebabkan menyalahi hadits-hadits yang tidak menyebutkan duduk tersebut.

An-Nu’man bin Abi "Iyas berkata : Kami mendapatkan bukan hanya sekali dua kali dari para shahabat Nabi saw. Maka apabila bangkit dari sujud diawal rakaat dan pada rakaat ketiga (mereka) langsung berdiri tanpa duduk (terlebih dahulu. (Nailu al-Authar 2 : 103)

"... Lalu Nabi sujud hingga sempurna sujudnya, lalu bangkit sampai sempurna duduknya (duduk diantara dua sujud), lalu sujud sampai sempurna sujudnya, kemudian bangkit sampai sempurna berdirinya. (HR. Bukhary)

Pendapat ketiga, menganggap bahwa duduk seperti ini boleh dilakukan  bila duduk tersebut dibutuhkan seperti bagi orang yang lanjut usia atau sakit-sakitan yang kalau langsung berdiri mata berkunang-kunang, sementara bila tidak dibutuhkan maka duduk ini tidak mesti dilakukan. Oleh karena itu para ulama menamakan duduk model seperti ini dinamakan jalsah istirahah (duduk istirahat). Fathu al-Baary 2 : 302

"...Yang jelas bahwa duduk seperti ini dilakukan oleh Nabi saw ketika beliau (badannya) gemuk dan sudah mulai lemah (fisiknya) .. (Ta’liq bulughu al-Maram 61). Ibnu Al-Qoyyim mengatakan ... bahwa duduk seperti ini bukan merupakan sunnat shalat akan tetapi dilakukan karena suatui kondisi (Fiqh al-Sunnah I : 208).

Pandangan yang terakhir inilah yang dianggap oleh sebagian ulama, bahwa duduk tersebut boleh dilakukan jika dibutuhkan. Allohu A’lam