KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Minggu, 03 Juni 2012

BERTUNANGAN



Tanya    :   Assalamu’alaikum wr.wb. ... Semoga pak Ustadz dalam keadaan sehat! Pak Ustadz adakah tunangan dalam Islam, dan mestikah orang yang mau nikah itu bertunangan? GBT Tangerang

Jawab    :   Wa’alaikum salam wr.wb... (Amien!!!). Bertunangan didalam bahasa arab dikenal dengan nama khitbah yang berarti ajakan untuk menikah. Khitbah ini pada umumnya merupakan sarana untuk melangsungkan pernikahan dan pada umumnya pernikahan itu tidaklah lepas dari khitbah ini meskipun khitbah ini bukanlah suatu syarat didalam sahnya pernikahan dan pernikahan tetap dianggap sah meskipun tanpa khitbah sehingga hukum khitbah ini adalah mubah (boleh) menurut jumhur ulama.

Sedangkan menurut para ulama madzhab Sayfi’i bahwa khitbah adalah disunnahkan berdasarkan perbuatan Nabi saw yang meminang Aisyah binti Abi Bakar dan beliau saw juga meminang Hafsah binti Umar

Khitbah itu sendiri bukan bagian dari pernikahan, sekalipun terkadang ketika hendak menikah ada proses tunangan (khitbah). Artinya ketika sudah khitbah, maka wanita yang kita khitbah tetap orang asing (bukan mahram) yang bisa berduaan diajak kemana-mana. Tetapi dibolehkan saat meminang si yang meminang dan yang dipinang melihatnya. Sebagian ulama bahwa yang boleh dilihat adalah wajahnya dan telapak tangan, sebab kedua bagian itu sudah cukup mewakili yang bisa mendorong untuk menikahinya.
Dari Jabir bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Apabila seorang dari kalian meminang seorang wanita maka jika dirinya bisa melihat bagian-bagian yang mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah.”  (HR.Ahmad dan Abi Daud)

Dari Abu Hurairah berkata,”Aku berada disisi Nabi saw lalu datanglah seorang laki-laki dab memberitahukan bahwa dia telah meminang seorang wanita dari Anshor. Nabi bertanya,’Apakah engkau telah melihatnya?’ orang itu berkata,’belum.’ Beliau saw bersabda,’Pergi dan lihatlah dia. Sesunguhnya di mata orang-orang Anshor ada sesuatu (berwarna biru).” (HR. Muslim) . Allohu A’lam

SHALAT SUNAT MALAM PERTAMA




Tanya : Assalamu’alaikum, punten (maaf) Ustadz.. mau Tanya lagi, karena di situs Ustadz belum ada masalah shalat sunnat setelah terjadi akad nikah (ijab qabul) yang dilaksanakan secara berjamaah dengan istri kita. Apakah hal tersebut ada keterangan yang shahih? Mang Rudiman Cibadak Majalaya

Jawab : Wa’alaikumussalam … saya belum mendapatkan keterangan bahwa setelah pernikahan (ijab qabul) ada anjuran shalat berjamaah sepasang pengantin. Hanya ada keterangan bahwa jika nanti istrimu menghampirimu (sebagaian ulama mengatakan bahwa hal ini bertalian dengan sunnah dimalam pertama), supaya suami itu mengajaknya shalat kepada istrinya dua rakaat. Hal ini berdasarkan keterangan:

Abu Sa’id (maula Abu Usaid) pernah menceritakan tentang pernikahannya dengan seorang wanita, yang pada saat nikahnya Abu Said adalah seorang budak (hamba sahaya). Di antara mereka yang menyaksikan pernikahannya adalaj Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzifah ra. Lalu tibalah waktu salat, Abu Dzar bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka mengatakan ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzar) berkata, ‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Kemudian setelah shalat selesai mereka mengajariku dan berkata :

إِذَا دَخَلَ عَلَيْكَ أَهْلُكَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ ، ثُمْ سَلِّ اللهَ مِنْ خَيْرِ مَا دَخَلَ عَلَيْكَ ، وَتَعَوُّذْ بِهِ مِنْ شَرِّهِ ، ثُمَّ شَأنُكَ وَشَأْنُ أَهْلِكَ

Jika istrimu menghampirimu, maka shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah kebaikan apa yang datang kepadamu, dan mintalah perlindungan kepada Allah dari kejelakannya.Kemudian terserah kepadamu dan istrimu.” (HR. Ibnu Abi Syaibah,  Al-Mushannaf no. 29733

Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan kepada seseorang yang baru menikah,

فَإِذَا أَتَتْكَ فَأَمَرَهَا أَنْ تُصَلِّيَ وَرَاءَكَ رَكْعَتَيْنِ

“Kalau istrimu datang menghampirimu, maka perintahkanlah dia shalat dua rakaat di belakangmu”(Ibn Abi Syaibah). Allohu A’lam

HAK ISTRI YANG MINTA CERAI


Tanya : Assalamu’alaikum Wr. Wb.  Pak Ustad, saya ingin menanyakan kejadian yang menimpa saudara saya. Dia seorang laki-laki, sudah menikah  (mereka menikah tanpa paksaan) dan dikaruniai 2 orang anak. Karena saudara saya mendapat pekerjaan di luar kota, maka tinggallah dia di luar kota. Istrinya tidak ikut ke luar kota karena dia dinas di puskesmas di Jakarta. Sebenarnya suaminya menyuruh si istri untuk tetap tinggal di rumah (rumah tersebut milik keluarga suami, yang kosong) yang sudah beberapa tahun mereka tempati di dekat tempat istrinya bekerja. Namun ibu mertuanya (ibu dari istrinya) menyuruh untuk tinggal bersama ibunya. Akhirnya si istri pindah ke rumah ibunya. Setiap mendapatkan cuti dari kantor saudara saya selalu menengok istri dan anak-anaknya. Pernah juga istri dan anak-anaknya diajak menginap di kota tempat suaminya bekerja. Setahun setelah saudara saya bekerja di luar kota, dia membeli mobil yang tujuan awalnya untuk dikendarai oleh istrinya bekerja. Di tahun kedua, istri mulai bertingkah aneh… kalau suaminya datang ke Jakarta menengoknya, si istri menghindar dan tidak mau disentuh oleh suaminya. Pada saat suaminya bertanya apa penyebabnya, si istri diam saja tidak menjawab. Pada suatu ketika saudara saya mempunyai firasat tidak enak mengenai istrinya, kemudian dia datang ke Jakarta dan mendapati istrinya menginap di sebuah hotel/wisma dengan menggunakan mobil yang dibeli oleh suaminya, sedangkan anak-anaknya ditinggal dirumah ibunya. Setelah suami istri ini berada di dalam mobil, suami bertanya apa keperluannya nginap di wisma dan dengan siapa, si istri tidak menjawab…bahkan si istri marah dan memaksa minta turun di jalan. Setelah istrinya turun di jalan, saudara saya menjemput anak-anaknya di rumah mertuanya dan membawa anak-ankanya ke kota tempat saudara saya bekerja dengan menggunakan mobil yang awalnya dibeli untuk istrinya. Beberapa bulan kemudian saudara saya menerima surat panggilan dari DepKes, karena istrinya mengajukan permohonan cerai. Karena pekerjaannya tidak bisa ditinggal saudara saya baru bisa datang beberapa minggu kemudian setelah surat panggilan tersebut , namun pejabat Depkes tidak bisa ditemui saat itu. Akhirnya saudara saya membuat surat yang ditujukan ke pejabat Depkes yang intinya…apabila istrinya minta cerai, hendaknya segera dikabulkan.
Dua bulan setelah itu, saudara saya sakit parah yang membuatnya tidak bisa makan dan berat badannya terus menurun. Pada saat itu saudara saya keluar dari kerjaannya dan bersama kedua anaknya pulang ke rumah orang tuanya di Jakarta. Dalam keadaan sakit, si istri pernah 2 kali datang ke rumah orang tua saudara saya untuk mengambil anak-anaknya dengan cara yang tidak baik. Akhirnya anak pertama berusia 8 tahun tetap ikut bapaknya, anak ke dua berusia 6 tahun ikut ibunya. Saat si istri datang dan melihat suaminya dalam keadaan sakit, tidak sedikitpun dia menanyakan kesehatan suaminya. Beberapa bulan kemudian saudara saya mendapat surat panggilan lagi dari Depkes untuk dimintai keterangan sehubungan permintaan cerai istrinya…Namun karena penyakit yang diderita saudara saya bertambah parah (tidak bisa bangun dari tempat tidur), maka saudara saya tidak memenuhi panggilan tersebut.
Empat bulan kemudian saudara saya meninggal dunia. Dan sampai saat ini belum ada surat cerai dari Pengadilan Agama. Saat ini anak yang berusia 8 tahun tinggal dengan adik kandung almarhum.
Yang ingin saya tanyakan adalah :
1. Apakah si perempuan ini masih layak disebut sebagai istri almarhum, mengingat sejak suaminya masih sehat perempuan ini sudah mengajukan permohonan cerai, hanya karena dia seorang dokter maka dia harus minta ijin dari Depkes lebih dulu. Dan selama suaminya sakit parah dia tidak pernah merawat suaminya.
2. Apakah perempuan ini masih berhak atas mobil dan tabungan milik almarhum atau haknya jatuh ke anaknya.
Mohon kiranya Pak Ustad bisa memberi masukan untuk kami. Terima kasih sebelumnya. Wassalamu’alaikum Wr.Wb. Ita P.

Jawab : Wa’alaikumussalam wr.wb. Pertama, selama belum jatuh thalaq dari suami, maka secara hukum dia masih sah sebagai istrinya. Mengenai tidak merawat (melaksanakan kewajibannya) terhadap suami, itu merupakan dosa bagi istri tersebut.  

Kedua, masalah mobil (kendaraan), jika hal itu diberikan untuk istrinnya maka itu haknya, tapi jika mobil itu dibeli suami untuk kepentingan istri, maka kendaraan itu merupakan waritsan dari suami untuk para ahli warits suami. Diantara ahli warits itu adalah istri dan anak-anaknya. Begitupun harta peninggalan yang lainnya termasuk tabungan. Allohu A’lam