KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Selasa, 29 Januari 2013

MENANDAI KUBURAN


Tanya   :  Assalamu’alaikum wr.wb. Pak Ustadz Abu Alifa Shihab yang saya hormati, bolehkah kita menandai kuburan? atau menembok kuburan dan memberi nama kuburan? Wassalam   RGT Pontianak


Jawab   :  Wa’alaikumussalam wr.wb. Pertama, mengenai memberi tanda pada kuburan pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. saat beliau selesai menguburkan shahabat Ustman bin Mazh’un ra.


“Diriwayatkan  dari Muthallib  bin  Abdullah  ia  berkata:  Tatkala  Utsman bin  Mazh‘un  wafat, jenazahnya dibawa keluar dan  dikuburkan, Nabi  saw memerintahkan kepada  seorang laki­-laki  supaya  mengambil  batu, tetapi orang itu tidak kuat mengangkatnya, lalu Rasulullah saw mendekatinya dan menyingsingkan kedua lengannya. Berkata  al­Muthallib: Berkata  seorang  yang  mengkhabarkan kepadaku seolah­olah aku melihat putih lengan Rasulullah ketika disingsingkannya. Kemudian  Rasulullah  saw mengangkat  batu  itu  dan  meletakkan diarahkan kepalanya, lalu berkata:  Aku  memberi  tanda  kubur saudaraku  ini  dan  aku  akan mengubur keluargaku yang meninggal di tempat itu.” (HR. Abu Dawud)


Dengan keterangan diatas, menandai kuburan dengan batu atau sejenisnya diatas kepala kuburan pernah dilakukan oleh Nabi saw.


Kedua, mengenai menembok kuburan merupakan perbuatan yang pernah dilarang oleh nabi saw : “Dari Jabir ra. ia berkata: Rasulullah saw telah melarang mencat kubur, duduk diatasnya dan membangun di atasnnya.” (HR.Muslim)


Ketiga, tentang memberi nama pada kuburan, hal ini-pun menyalahi sunnah Nabi saw.

Dari Jabir, ia berkata: “Rasulullah saw melarang menulis sesuatu pada kuburan.” (HR. Ibnu Majah: 1563).


Untuk masalah yang ketiga ini sebagian ulama ada yang membolehkan, hanya sekedar untuk memberi tanda dan memberikan pembeda supaya tidak susah mencarinya.


Syaikh Al-Albani mengatakan: “….. apabila batu yang diletakkan sebagai tanda supaya diketahui masih tidak dapat mencapai maksudnya (kuburan itu tetap tidak dikenali) bisa disebabkan oleh terlalu banyaknya kuburan (yang sama) atau terlalu banyaknya batu-batu (yang sama) yang dijadikan tanda kuburan; maka saat itu boleh ditulis pada kuburan sekadar tercapai maksud yang telah disebutkan (supaya dapat dikenali) saja.” (Majalah Al-Furqon, Edisi 01 th. ke-8 1429 H/2008). Sementara mazdhab Syafi’i dan Hambali memandang makruh saja.


Akan tetapi melihat dhahirnya hadits diatas, bahwa hukum memberi nama (menulis) pada kuburan dilarang oleh Nabi saw.  Akan tetapi sebagian ulama memandang bahwa larangan itu tidak jatuh kepada haram, sebagaimana yang dianut oleh madzhab Syafi’i dan Hambali. Allohu A’lam.

Senin, 28 Januari 2013

WAKTU SENJA (SAREUPNA) ANAK DILARANG KELUAR RUMAH (?)




Tanya  : Bismillah, pak ustadz dikalangan masyarakat Sunda suka ada istilah kepada anak, Ulah kaluar sareupna (jangan main atau keluar menjelang maghrib), nanti ada (dibawa) “sanekala” (mungkin sebutan syaithan sareupna). Apakah hal itu akan merusak aqidah, atau apakah hal itu termasuk kepercayaan yang dilarang (syirik). Mohon penjelasannya. DFe Sindangkasih Jawa Barat 

Jawab : Ada kalanya apa yang dikatakan orang tua dan kedengarannya berbau syirik, ternyata malah berdasarkan pemahaman terhadap sebuah keterangan (hadits). hanya mungkin dalam mengungkapkan hal itu, disesuaikan dengan keadaan masyarakat tersebut. Perhatikan hadits dibawah ini :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ أَوْ أَمْسَيْتُمْ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِينَ تَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ فَإِذَا ذَهَبَتْ سَاعَةٌ مِنْ اللَّيْلِ فَخَلُّوهُمْ وَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا قَالَ وَأَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ نَحْوَ مَا أَخْبَرَنِي عَطَاءٌ وَلَمْ يَذْكُرْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ

Rasulullah saw bersabda: “Jika kegelapan malam datang, atau kalian berada pada petang hari, jagalah anak-anak kalian karena pada saat itu setan sedang berkeliaran. Jika malam telah berlalu beberapa saat, bolehlah kalian biarkan mereka dan tutuplah pintu rumah dan sebutlah nama Allah karena setan tidak akan membuka pintu yang tertutup”. Dia (Ibnu Juraij) berkata; “Dan telah mengabarkan kepadaku ['Amru bin Dinar] dia mendengar [Jabir bin 'Abdullah] seperti apa yang ‘Atha’ kabarkan kepadaku namun tidak menyebutkan kalimat dan sebutlah nama Allah“. (Bukhary No. 3059, 5192, dan Muslim No. 3756  dari jabir bin Abdillah).

Kalau melihat keterangan diatas, jelas sekali bahwa (mungkin) yang dimaksud “Sanekala” dikalangan masyarakat sunda adalah ya syaithan itu. Dan memang menurut hadits tersebut anak-anak pada waktu itu jangan dibiarkan berkeliaran (keluar rumah). Allohu A’lam

Minggu, 27 Januari 2013

MUBAHALAH SESAMA MUSLIM, HARUSKAH?

Tanya : Assalamu’alaikum … pak ustadz apakah dibolehkan bermubahalah karena perbedaan pendapat? Bagaimana cara bermubahalah yang pernah dicontohkan Nabi Muhammad saw?  Rieke Sul

Jawab : Wa’alaikumussalam, mubahalah asal dari kata bahl, yang mempunyai arti melepas. Atau dari kata bahlah atau buhlah yang bermakna melaknat atau mengutuk. Ibn Katsir mengartikan mubahalah ini dengan berbalas laknat (mula’anah). Mubahalah menurut istilah adalah dua pihak yang saling memohon dan berdoa kepada Allah supaya menurunkan laknat dan membinasakan pihak yang bathil atau mendustai kebenaran. Mubahalah berlangsung antar kedua belah pihak dengan membawa keluarga masing-masing dan disaksikan oleh kaum muslimin.
Ayat al-Quran yang menjadi rujukan mubahalah adalah QS.Ali Imran ayat 61.

Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), Maka Katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.

Ayat tersebut turun pada tahun ke-9 Hijrah, bertalian dengan kedatangan delegasi Nasrani dari Najran yang berjumlah kurang lebih 60 orang, saat itu Nabi saw sedang shalat di Masjid Nabawi. Usai shalat Nabi berbicara dengan 3 perwakilan mereka (yaitu) al-Aqib (Abdul Masih), al-Ayham (As-Sayyid), dan Abu haritsah bin Alqamah. Pada awalnya, mereka bertiga mau mendebat Nabi soal ketuhanan Yesus. Akan tetapi, justru mereka bertiga  sendiri yang berselisih pendapat tentang Isa. Sebagian mengatakan Isa adalah tuhan. Sebagian mengatakan Isa adalah anak tuhan. Sebagian lagi mengatakan Isa adalah tuhan yang ketiga.

Kemudian Rasulullah saw berkata pada al-Aqib dan al-Ayham, “masuk Islam-lah kamu!”. Keduanya menjawab, : “kami telah Islam“. Rasul berkata lagi, “kamu belum masuk islam, maka masuk islam-lah”. Keduanya menjawab, “tidak, kami telah Islam“. Maka Rasul berkata, “Kamu berdua dusta. Kamu bukan Islam karena pengakuan kalian bahwa Allah beranak, menyembah salib dan makan daging babi”.

Perdebatan itu terus berlangsung, sampai turun ayat diatas. Maka Nabi saw mengajak mereka bermubahalah, dan mereka-pun menerima tawaran itu. Besok harinya, Nabi dengan membawa keluarganya datang ke suatu tempat. Bahkan Nabi sempat berkata kepada keluarganya, “jika kalian mendengar Aku melaknat mereka, maka ucapkanlah Amiin”.

Saat melihat Nabi saw membawa keluarganya, mereka dihantui rasa takut, sampai al-Aqib berkata : “….Sesungguhnya kita akan binasa dan takkan ada lagikaum Nasrani yang akan tersisa setelah itu diatas muka bumi ini…”(HR.Bukhary, Muslim, Tirmidzy, Nasa’i dan Ibn Majah)

Di Indonesia, pada tahun 1930-an, A Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis) juga pernah menantang kelompok Ahmadiyah untuk bermubahalah. Namun tantangan mubahalah itu tak pernah berani dilakukan oleh Ahmadiyah sampai saat ini. Meski begitu, Nabi palsu yang juga pentolan Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad pernah melakukan mubahalah yang berakibat pada tewasnya Mirza Ghulam Ahmad dalam keadaan sakit parah di tempat buang hajat.

Hindari mubahalah sesama muslim. Sebab tidak pernah dicontohkan oleh Nabi saw karena perbedaan pendapat dengan sesama muslim sampai melakukan mubahalah. Apalagi perbedaan tersebut hanya masalah khilafiyah dalam bidang furu’iyah. Allohu A’lam

Sabtu, 26 Januari 2013

MANI, MAZI DAN WADI




Tanya : Assalamu’alaikum pak ustadz …. Pak apakah sama jika seseorang keluar mazi atau wadi seperti keluarnya mani? Tolong pak ustadz jelaskan ketiganya ataupun perbedaannya! Wassalam


Jawab : Wa’alaikumussalam …Mani atau sperma adalah cairan yang keluar dari lubang kemaluan (qubul) biasanya keluar ketika rangsangan syahwat memuncak, baik karena berhubungan badan (termasuk mimpi berhubungan), onani dan cara yang lainnya. Ciri umum air mani, putih kental, keluar memancar (tadafu’), disertai rasa nikmat, badan agak lemas setelah keluar.

Jika keluar cairan mani maka orang tersebut akan dihukumi telah berhadats besar, dan wajib mandi.. Cairan mani tidak dihukumi najis, sehingga pakaian yang berlumuran mani sah digunakan untuk shalat.


“Bahwasanya aku (Aisyah ra) dahulu mengerik (air mani) dari pakaian Rasulullah SAW, kemudian beliau shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.” (HR. Muslim dari Aisyah ra)


Sedangkan Mazi cairan dari qubul (kemaluan) yang warnanya putih bersih, bening, atau agak kuning namun licin. Biasanya ia keluar ketika awal-awal bangkit syahwat dan belum mencapai puncaknya, biasanya cairan mazi tidak berbau. Seringkali mazi keluar tanpa terasa. Mazi banyak keluar pada kaum wanita terutama ketika mereka bangkit syahwat.


“Dari Ali ra, beliau berkata: saya adalah laki-laki yang suka keluar mazi, maka saya merasa malu bertanya kepada Rasulullah saw karena posisi anak beliau (Fathimah, istri Ali ra) maka saya perintahkan Miqdad bin Aswad maka iapun bertanya kepada Rasulullah, maka jawab Rasulullah: basuhlah zakar dan berwudhuk”.(H.R Bukhary dan Muslim).


Adapun Wadi cairan keluar lewat qubul yang putih keruh kental biasanya keluar setelah buang air kecil ataupun ketika mengangkat beban yang berat. Hukum bagi orang yang keluar mazi dan wadi tidak diwajibkan mandi, namun cairan mazi dan wadi tergolong dalam najis, sehingga wajib dibasuh (dibersihkan). Allohu A’lam