KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Selasa, 19 Februari 2013

RISWAH, HADIAH DAN PERMASALAHANNYA

Oleh: al-Ustadz Amin Saefullah Muchtar
 
Sogok/suap dan hadiah merupakan fenomena yang tidak asing dalam masyarakat kita. Banyak istilah yang digunakan untuk kedua masalah ini, seperti dari ucapan terima kasih, parsel, money politik, uang pelicin, pungli dan lain sebagainya. Hanya saja istilah hadiah di samping mengandung makna positif juga mengandung makna negatif. Dalam Bahasa Indonesia hadiah bisa diartikan sebagai suatu penghargaan atas prestasi seseorang dalam suatu kompetisi atau pemberian atas kebaikan hati seseorang. Selain itu hadiah juga bisa bermakna sebuah pemberian yang berhubungan dengan kepentingan-kepentingan pribadi.


Dari sudut pandang hukum Islam, wawasan masyarakat sangat terbatas mengenai masalah sogok dan hadiah. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa  sogok bukan sebuah kejahatan, tetapi hanya kesalahan kecil. Sebagian lain, walaupun mengetahui bahwa sogok adalah terlarang, namun mereka tidak peduli dengan larangan tersebut. Apalagi karena terpengaruh dengan keuntungan yang didapatkan.


Di pihak lain masayarakat menganggap sogok itu sebagai hadiah atau tanda terima kasih. Bahkan ada yang beranggapan sebagai uang jasa atas bantuan yang telah diberikan seseorang, sehingga mereka tidak merasakan hal itu sebagai sebuah kesalahan atau pelanggaran apalagi kejahatan.

Sudah menjadi rahasia umum betapa banyak risywah terjadi di bidang peradilan yang diberikan untuk memenangkan perkara. Demikian pula di bidang pekerjaan, baik Pegawai Negeri Sipil (PNS), swasta, anggota polisi dan tentara, dan malah di dunia pendidikan pun hal ini terjadi. Perbuatan tersebut tanpa ada perasaan risih dilakukan oleh orang yang mengerti hukum dan aturan.

Sejauhmana sebenarnya batas-batas pemisah antara sogok dan risywah juga hadiah dalam pandangan Hukum Islam? Hal ini memerlukan kajian yang mendalam dari sudut pandang hukum Islam, agar umat memahami dan mengerti dengan baik sehingga mereka berbuat sesuai dengan ajaran Islam.


Pengertian Risywah

Secara haqiqah lughawiyah (hakikat bahasa) kata risywah (رشوةِ) berasal dari kata risya (رشاء) maknanya

الَّذِي يُتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى الْمَاءِ

“tali timba yang berfungsi mengantarkan timba sehingga bisa sampai ke air” (an-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, II:546)

Secara haqiqah ‘urfiyah (hakikat adat kebiasaan) kata risywah (رشوةِ) maknanya

الوُصْلَةُ إِلَى الْحَاجَةِ بِالْمُصَانَعَةِ

 “alat penghubung terwujudnya kebutuhan dengan suap” (al-Faiq fi Gharib Al-Hadits, II:60)

Namun dapat bermakna pula al-ja’lu/al-ju’lu, yaitu

مَا يُعْطِيهِ الشَّخْصُ الْحَاكِمَ أَوْ غَيْرَهُ لِيَحْكُمَ لَهُ ، أَوْ يَحْمِلَهُ عَلَى مَا يُرِيْدُ

“Pemberian seseorang kepada hakim atau yang lainnya supaya memberikan keputusan yang menguntungkannya atau membuat orang yang diberi melakukan apa yang diinginkan oleh yang memberi” (Lihat, Tajul ‘Arus min Jawahiril Qamus, XXXVIII:153)

Secara haqiqah syar’iyyah (hakikat syariat) kata risywah (رشوةِ) maknanya

مَا يُعْطَى لإِبْطَالِ حَقٍّ أَوْ لإِحْقَاقِ بَاطِلٍ

“Pemberian untuk membatalkan kebenaran dan membenarkan yang batil” (Lihat, Syarhus Sunnah, X:88)


Berbagai pendekatan di atas menunjukkan bahwa makna risywah secara istilah syar’i lebih spesifik, yaitu pemberian kepada seseorang supaya yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Jadi, secara syariat suatu pemberian dapat dikategorikan delik risywah jika membuat yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Tentu saja salah dan benar yang dimaksud di sini menurut parameter syariat, bukan semata-mata ‘urf atau adat kebiasaan manusia.  

Secara praktek dapat dipastikan bahwa risywah melibatkan dua pihak (ar-rasyi dan al-murtasyi). Namun terkadang melibatkan pula pihak ketiga (ar-Raisy).


Imam Ibnul Jauzi menjelaskan:

الرَّاشِي الَّذِيْ يُعْطِي مَنْ يُعِينُهُ عَلَى البَاطِلِ والمُرْتَشِي الآخِذُ وَالَّذِيْ يَسْعَى بَيْنَهُما يُسَمَّى الرَّائشُ

“Ar-Rasyi adalah orang yang memberikan harta kepada orang lain yang membantunya pada kebathilan. Al Murtasyi adalah yang mengambil harta tersebut. Dan yang berperan (perantara) di antara keduanya disebut ar-Raisy”.  (Lihat, Gharib Al-Hadits, I:395)

Imam as-Shan’ani menjelaskan:

والرَاشِي: هُوَ الَّذِي يُبَذِّلُ الْمَالَ لِيَتَوَصَّلُ اِلَى البَاطِلِ.

Ar-Rasyi adalah orang yang memberikan harta agar sampai kepada kebathilan.

وَالْمُرْتَشِي: آخْذُ الرُّشْوَةِ

Al Murtasyi adalah yang mengambil risywah. 

وَالرَّائِشُ : وَهُوَ الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا

Ar Raisy  adalah yang mengadakan terjadinya risywah (perantara).  (Lihat, Subul as-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, III:423)


Keharaman Risywah

Di dalam ayat Alquran istilah risywah tidak disebutkan secara tersurat. Namun Alquran menggunakan ungkapan lain yang bermakna risywah, yaitu as-suht. Allah berfirman:

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ

”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” Q.s. Al Maidah:42

Kalimat akkaaluna lissuhti secara umum sering diterjemahkan dengan memakan harta yang haram. Namun konteksnya adalah memakan harta berstatus risywah. Penafsiran ini sesuai dengan penjelasan Nabi:

كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ بِالسُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللَّهِ وَمَا السُّحْتُ ؟ قَالَ الرِّشْوَةُ فِى الْحُكْمِ – رواه ابن جرير عن عمر -

 “Setiap daging yang tumbuh karena as-suht, maka api nereka lebih utama kepadanya” Mereka bertanya, “Wahai Rasul, apa as-suht itu?” beliau menjawab, “Risywah dalam hukum”(H.r. Ibnu Jarir, dari Umar)

Jadi risywah identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah swt.

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (Q.s. Al Baqarah:188)

Sedangkan dalam sunah keharaman risywah diungkap secara sharih (tegas dan jelas), antara lain sebagai berikut:

لَعْنَةُ الله عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي في الحُكْمِ

 “Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap dalam hukum” (H.r. Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

لَعْنَةُ الله عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

“Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap” (H.r. al-Khamsah kecuali an-Nasa’i dan di shahihkan oleh at-Tirmidzi)

لَعَنَ رَسُولُ اللهِ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا

 “Rasulullah saw. melaknat ar-rasyi dan al-murtasyi, yakni yang berjalan (perantara) di antara keduanya ” (H.r. Ahmad)


Dalam riwayat Ahmad, Abu Daud, dan at-Tirmidzi (dari Abu Hurairah) risywah itu dilarang dalam bidang peradilan. Akan tetapi dalam riwayat al-khamsah selain an-Nasai (dari Abdullah bin Amr dan Tsauban) pelarangan risywah berlaku secara umum tanpa mengkhususkan dalam bidang peradilan. Kedua hadis ini menunjukkan pelarangan risywah berlaku di bidang apapun. Hanya saja risywah di dunia peradilan memiliki peluang yang sangat besar, karena dalam bidang peradilan terjadi perebutan hak bagi bagi orang-orang yang berperkara. Risywah dalam bidang ini disebut as-suht.


Yang Termasuk Diharamkan Terkait dengan Risywah

Kalau diperhatikan lebih seksama ternyata hadis-hadis itu bukan hanya mengharamkan memakan harta hasil dari risywah, melainkan juga mengharamkan peran aktif berbagai pihak yang terlibat dalam terwujudnya risywah itu. Adapun pihak-pihak yang diharamkan ada tiga: yaitu (1) rasyi (pemberi sogokan), (2) murtasyi (penerima sogokan), (3) raisy (Mediator terjadinya sogokan).

Hal itu dapat dimengerti karena tanpa peran aktif dari ketiga pihak itu “transaksi” risywah tidak akan berjalan dengan lancar, bahkan tidak terwujud. Artinya, tidak akan mungkin terjadi seseorang “memakan” harta berstatus risywah, kalau tidak ada rasyi. Maka rasyi pun termasuk mendapat laknat dari Allah. Karena pekerjaan dan inisiatif dialah ada orang yang makan harta berstatus risywah. Dan dalam kasus tertentu selalu ada pihak yang menjadi mediator atau perantara yang bisa memuluskan jalan. Sebab bisa jadi pihak rasyi tidak mau menampilkan diri, maka dia akan menggunakan pihak lain sebagai mediator. Atau sebaliknya, pihak murtasyi tidak mau bertemu langsung dengan rasyi, maka peran mediator itu penting. Dan sebagai mediator ia mendapatkan kompensasi tertentu dari hasil kerjanya itu.


Secara praktik kasus suap pada zaman Umar dapat kita jadikan contoh:


عن زيد بن أسلم، عن أبيه: كان عمر إذا بعثني إلى بعض ولده قال: لا تعلمه لما أبعث إليه مخافة أن يلقنه الشيطان كذبة. فجاءت امرأة لعبيدالله بن عمر ذات يوم، فقالت: إن أبا عيسى لا ينفق علي ولا يكسوني.فقال: ويحك ومن أبو عيسى ؟ قالت: ابنك.قال: وهل لعيسى من أب ؟ فبعثني إليه وقال: لا تخبره. فأتيته وعنده ديك ودجاجة هنديان، قلت: أجب أباك. قال: وما يريد ؟، قلت: نهاني أن أخبرك. قال: فإني أعطيك الديك والدجاجة. قال فاشترطت عليه أن لا يخبر عمر، وأخبرته فأعطانيهما.فلما جئت إلى عمر، قال: أخبرته ؟ – فوالله ما استطعت أن أقول لا – فقلت: نعم فقال: أرشاك ؟ قلت: نعم، وأخبرته، فقبض على يدي بيساره، وجعل يمصعني بالدرة وأنا أنزو. فقال: إنك لجليد

Aslam (Maula Umar) berkata: “Umar, bila mengutus aku kepada sebagian putranya, ia berkata, ‘Janganlah kamu memberi tahu kepadanya mengapa aku mengutusmu khawatir setan membisikan kedustaan kepadanya’. Ia berkata, “Pada suatu hari datang istri Ibnu Umar (menemui Umar), lalu berkata, ‘Sesungguhnya Abu Isa tidak memberi nafkah dan pakaian kepadaku’ Maka ia berkata, ‘Celaka, siapa Abu Isa itu?’ Ia menjawab, ‘Putramu’ Ia berkata, ‘Apakah Isa punya bapak!’ Maka Ia (Umar) mengutusku untuk menemuinya, dan ia berpesan, “Janganlah kamu memberitahu kepadanya” Ia berkata, “Lalu aku menemuinya dan ia punya ayam jantan dan ayam betina India” Aku berkata, “Penuhilah panggilan ayahmu Amirul Mukminin” Ia berkata, “Apa yang dikehendaki beliau dariku?” Aku berkata, “Beliau melarangku untuk mengabarkannya kepadamu, aku tidak tahu” Kata Ibnu Umar, “Kalau kamu memberitahuku, aku akan memberi ayam jantan dan ayam betina” Ia berkata, “Aku menetapkan syarat kepadanya agar ia tidak memberi tahu Umar (bahwa aku membocorkannya), maka aku memberitahukannya. Lalu ia memberiku ayam jantan dan betina sebagai kompensasi pemberitahuanku. Ketika aku mendatangi Umar, ia berkata, ‘Apakah kamu memberitahunya’ Demi Allah aku tidak sanggup mengatakan ‘tidak’, maka aku katakan ‘Ya’ Ia berkata, ‘Apakah dia menyuapmu’ Aku katakan, ‘Ya’ Ia berkata, ‘Apa yang diberikan kepadamu?’ Aku katakan, “ayam jantan dan betina” Maka beliau memegang tanganku dengan tangan kirinya, lalu memukul aku dengan  durrah, dan aku merasa malu/hina. Maka beliau berkata, ‘Sesungguhnya kamu pasti dijilid’.” (H.r. al-Qa’nabi, Tarikh al-Islam Imam adz-Dzahabi, IV:99-100; H.r Ibnu Syabah, Tarikh al-Madinah, II:321 dengan sedikit perbedaan redaksi. Riwayat ini sahih, sebagaimana dinyatakan pula oleh Abdus Salam bin Muhsin Ali Isa (Dirasah Naqdiyah fil Marwiyat al-waridah fi Syakhshiyah Umar bin al-Khatab, hal. 251)


Risywah untuk Memperoleh Hak & mencegah kezaliman

Jumhur ulama membolehkan risywah yang dilakukan untuk memperoleh hak dan mencegah kezhaliman seseorang. Kebolehan itu berdasarkan hadis Nabi saw. dan atsar Ibnu Mas’ud sebagai berikut:

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ إنِّي لَأُعْطِي أَحَدَهُمْ الْعَطِيَّةَ فَيَخْرُجُ بِهَا يَتَأَبَّطُهَا نَارًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلِمَ تُعْطِيهِمْ ؟ قَالَ يَأْبُونَ إلَّا أَنْ يَسْأَلُونِي وَيَأْبَى اللَّهُ لِي الْبُخْلَ

Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya aku memberi seseorang pemberian, lalu dengan pemberian tersebut dia terhindar dari api. Lalu sahabat bertanya, ‘Kenapa engkau memberi mereka ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, “Mereka enggan, kecuali mereka meminta kepadaku. Allah pun enggan kalau aku bakhil” (H.r. Ahmad)

عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنِ ابْن مَسْعُودٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّهُ لَمَّا أَتَى أَرْضَ الْحَبَشَةِ أَخَذَ بِشَىْءٍ فَتُعُلِّقَ بِهِ فَأَعْطَى دِينَارَيْنِ حَتَّى خُلِّىَ سَبِيلُهُ

Dari al-Qasim bin Abdurrahman, dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ketika ia datang ke negeri Habsyah, ia membawa sesuatu, maka ia ditahan karena sesuatu itu. Lalu ia memberi dua dinar sehingga ia dibebaskan. (H.r. al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra, juz X:139)

Dalam riwayat Ibnu Abu Syaibah dengan redaksi

لَمَّا أَتَى أَرْضَ الْحَبَشَةِ أُخِذَ فِي شَيْءٍ فَأَعْطَى دِينَارَيْنِ حَتَّى خُلِّي سَبِيلَهُ.

Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ketika ia datang ke negeri Habsyah, ia ditahan karena sebab sesuatu. Lalu ia memberi dua dinar sehingga ia dibebaskan. (al-Mushannaf, VI:557)

Dalam konteks ini kita dapat memahami pernyataan Jabir bin Zaid:

لَمْ نَجِدْ فِي ذَلِكَ الزَّمَانِ لَنا شَيْئاً أَنْفَعَ لَنَا مِنَ الرِّشَا.

“Pada zaman itu, kami tidak mendapatkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi kami selain risywah” (H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, VI:557)

Pernyataan ini menunjukkan bahwa pada saat itu (zaman kekuasaan Ziyad dari Bani Umayyah) risywah merupakan sarana yang paling efektif untuk melindungi jiwa dan harta dari sikap penguasa yang bertindak sewenang-wenang.


Sehubungan dengan itu para ulama dari kalangan tabi’in, antara lain Jabir bin Zaid dan as-Sya’bi berpendapat:

لاَ بَأْسَ أَنْ يُصَانِعَ الرَّجُلُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَالِهِ إذَا خَافَ الظُّلْمَ

“Tidak mengapa seseorang menyuap untuk (keselamatan) diri dan hartanya apabila khawatir terhadap kezaliman” (H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, VI:557)

وقيل لوهب بن منبه : الرشوة حرام فى كل شىء ؟ قال لا إنما يكره من الرشوة أن ترشى لتعطى ما ليس لك ، أو تدفع حقا قد لزمك ، فأما أن ترشى لتدفع عن دينك ومالك ودمك فليس بحرام

Wahb bin Munabbih ditanya apakah risywah itu diharamkan pada segala sesuatu, maka ia menjawab: ”Tidak, risywah  itu diharamkan jika engkau memberi sesuatu pada orang lain supaya engkau diberi sesuatu yang bukan hakmu atau supaya engkau bebas dari kewajibanmu. Adapun jika engkau melakukan risywah dalam rangka membela agamamu, nyawamu, atau hartamu maka tidaklah haram”. (H.r. al-Baihaqi)


Meskipun demikian para ulama sepakat bahwa dalam konteks ini murtasyi (orang yang menerima suap) tetap haram dan berdosa. Lihat, Kasyaful Qana’, VI:316, Nihayatul Muhtaj, VIII:243, Hasyiah Ibnu Abidin, IV:304.


Adapun yang dimaksud dengan hak disini adalah hak secara khusus, bukan hak secara umum. Artinya urusan/sesuatu itu sudah dapat dipastikan menjadi hak orang tersebut. Karena itu, jika seseorang tidak bisa mendapatkan haknya kecuali dengan syarat harus membayar uang/barang sejumlah tertentu maka pembayaran itu tidak dikategorikan risywah yang diharamkan. Sebagai misal:

  • bila seseorang dirampas harta miliknya dan tidak akan diberikan kecuali dengan memberikan sejumlah harta, maka pemberian itu tidak dikategorikan risywah yang diharamkan, karena harta itu memang harta miliknya secara khusus.
  • Satu perusahaan, karena telah memenuhi persyaratan tertentu, dipastikan memenangkan tender suatu proyek. Berarti proyek itu menjadi hak perusahaan tersebut. Namun proyek itu tidak akan segera turun kecuali dengan memberikan sejumlah harta, maka pemberian itu tidak dikategorikan risywah yang diharamkan, karena proyek itu memang telah menjadi haknya secara khusus.

Kasus Ibnu Mas’ud di atas dapat kita jadikan acuan atau landasan hukum terkait hak secara khsusus.

Sedangkan yang dimaksud dengan hak secara umum adalah urusan/sesuatu itu berhak dimiliki oleh siapapun selama memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang terhadap hak umum itu. Karena itu, jika seseorang tidak memenuhi persyaratan tersebut namun mendapatkan hak umum dengan jalan membayar uang/barang sejumlah tertentu maka pembayaran itu dikategorikan risywah yang diharamkan, karena ia bukan termasuk orang yang berhak atas urusan tersebut. Sebagai misal, menjadi pegawai negeri merupakan hak warga negara. Artinya siapa saja memang berhak jadi pegawai negeri, jika benar-benar telah lulus tes sesuai ketentuan. Kalau harus membayar uang/barang dalam jumlah tertentu maka dapat dikategorikan risywah yang diharamkan. Karena risywah itulah yang menyebabkan hak umum beralih atau jatuh ke tangan  orang yang bukan “pemilik”nya. 


Perbedaan Risywah dengan Hadiah

Risywah dan hadiah memiliki kesamaan juga perbedaan. Dikatakan sama karena kedua-duanya masuk didalam kategori pemberian kepada seseorang. Dikatakan beda dilihat dari motif, fungsi,  dan eksesnya.

Kata hadiah (هدِيَّة) berarti إهداء  (pemberian), اللُّهْنَة  (oleh-oleh), التَّقدِمَة  (hadiah). Sebelum menjelasan definisi hadiah, perlu dijelaskan beberapa istilah yang terkadang masih belum dipahami oleh sebagian orang, sehingga sulit dibedakan. Istilah tersebut adalah: hibah, hadiah dan sadaqah.

Imam asy-Syafi’i membagi kebajikan (tabarru’) seseorang dengan hartanya kepada dua bentuk. Pertama kebajikan yang berkaitan dengan kematian, yaitu wasiat. Kedua, kebajikan ketika masih hidup yang dibedakannya antara kebajikan murni (mahdhah) dengan waqaf. Kebajikan murni ada tiga macam, yaitu hibah, hadiah dan shadaqah tathawu’.

Selanjutnya dijelaskan, jika kebajikan harta bertujuan untuk menghormati dan memuliakan seseorang disebut dengan hadiah. Adapun hibah, pada asalnya dilihat dari jenis harta yang diberikan, yaitu kalau yang diberikan itu harta tidak bergerak (tetap). Sedangkan disebut shadaqah kalau kebajikan harta itu bertujuan untuk pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah dan mengharapkan pahala akhirat.

Dari penjelasan di atas dapat didefinisikan bahwa hadiah adalah pemberian harta kepada orang lain dengan tujuan untuk menghormati (ikram), memuliakan (ta’zhim), mengasihi (tawaddud) dan mencintainya (tahabbub).


Dalil Kebolehan Hadiah

Dalil-dalil yang digunakan oleh ulama dalam pembahasan ini pada umumnya berasal dari hadis, antara lain sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، إِذَا أُتِيَ بِطَعَامٍ سَأَلَ عَنْهُ: أَهَدِيَّةٌ أَمْ صَدَقَةٌ فَإِنْ قِيلَ صَدَقَةٌ، قَالَ لأَصْحَابِهِ: كُلُوا، وَلَمْ يَأْكُلْ وَإِنْ قِيلَ هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بِيَدِهِ صلى الله عليه وسلم، فَأَكَلَ مَعَهُمْ

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. apabila diberi makanan beliau bertanya: apakah makanan ini hadiah atau sadaqah. Jika dijawab: ‘Sadaqah’, beliau mengatakan pada para sahabatnya, ‘Makanlah oleh kalian’, sedangkan beliau tidak memakannya. Akan tetapi bila dijawab: ‘Hadiah’, maka beliau (Nabi saw) mengambil dengan tangannya lalu makan bersama mereka” (H.r. Al-Bukhari)

 عَنْ عَلِيِّ قَالَ : إِنَّ كِسْرى أَهْدَى إِلَى رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم هَدِيَّة مِنْه، وَإِنَّ الْمُلُوْكَ أَهْدَوْا إِلَيْهِ  فَقَبِلَ مِنْهُمْ

Dari Ali, ia berkata, “Sesungguhnya Kisra memberi hadiah kepada Nabi saw. dan raja-raja lain juga memberi hadiah kepada beliau dan beliau menerima hadiah tersebut dari mereka” (H.r. At-Tirmidzi)

Anjuran saling memberi hadiah, di kalangan ulama telah terjadi Ijma’, karena Ia memberikan pengaruh yang positif di masyarakat; baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Bagi yang memberi, itu sebagai cara melepaskan diri dari sifat bakhil, sarana untuk saling menghormati dan sebagainya. Sedangkan kepada yang diberi, sebagai salah satu bentuk memberi kelapangan terhadapnya, hilangnya kecemburuan dan kecurigaan, bahkan mendatangkan rasa cinta dan persatuan dengan sesama.


Hadiah bagi pejabat atau pemegang kebijakan

Jika dalam menjalankan tugas atau jika terkait dengan tugasnya, seseorang yang memiliki jabatan atau mempunyai wewenang tertentu diberi hadiah oleh pihak lain dengan harapan pejabat tersebut dapat memberi kemudahan tertentu atau memberi keringanan tertentu atas suatu tuntutan, maka hadiah yang demikian dikategorikan sebagai ghulul (korupsi). Hal ini dapat dipahami secara logis, sebab hadiah, tips, bingkisan atau parcel tersebut, sedikit atau banyak mempengaruhi kebijakan dan keputusannya sebagai pejabat/pegawai. Contoh yang paling nyata adalah pegawai/pejabat tingkat atas yang mendapat bingkisan/hadiah tertentu dari bawahannya demi memperoleh keuntungan tertentu. Tindakan demikian dapat merusak sistem yang dilandaskan pada asas keadilan dan kejujuran dan tentu akan merugikan kepentingan umum.


Terkait hadiah bagi para pejabat atau pegawai publik, Rasulullah saw. telah memberikan pedoman sebagaimana dijelaskan pada riwayat sebagai berikut:


عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيّ قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ اللُّتْبِيَّةِ عَلَى صَدَقَةٍ فَجَاءَ فَقَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ فَيَجِيءُ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَأْتِي أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا بِشَيْءٍ إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا

Dari Abu Hamid as-Sa’adi, ia berkata, “Nabi saw. pernah mengangkat/mempekerjakan seseorang dari Bani al-Azad, ada yang mengatakan namanya Ibn al-Lutbiyah, untuk mengumpulkan sadaqah. Setelah kembali ia mengatakan kepada Rasulullah, ‘Ini untukmu dan ini dihadiahkan untukku’. Lalu Nabi saw. berdiri berkhutbah sambil memuji Allah swt. Dalam khutbahnya beliau bersabda, ‘Seorang karyawan yang kita utus mengumpul sadaqah datang dan berkata, ‘Ini untukmu dan ini untukku’. Kenapa dia tidak duduk saja sambil menunggu di rumah bapaknya atau ibunya, apakah dia akan diberi hadiah atau tidak ? Demi yang diri Muhammad di tangan-Nya, tidaklah kami mengutus seseorang di antara kamu mengambil sesuatu kecuali datang dia pada hari kiamat membawa di lehernya, jika dia menerima unta akan berbunyi unta, begitu juga sapi akan berbunyi sapi, kambing akan berbunyi kambing. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga terlihat ketiaknya, lalu berdoa, ‘Ya Allah, apakah aku sudah menyampaikannya’. Doa itu diucapkannya tiga kali” (H.r. al-Bukhari)


Dalam pemberian sesuatu kepada Pegawai/pejabat publik terbagi dalam tiga bagian:


Pertama, Pemberian yang diharamkan, baik bagi pemberi maupun penerima

Kaidahnya, pemberian tersebut bertujuan untuk sesuatu yang batil, ataukah pemberian atas sebuah tugas yang memang wajib dilakukan oleh seorang pegawai. Misalnya pemberian kepada pegawai setelah ia menjabat atau diangkat menjadi pegawai pada sebuah instansi. Dengan tujuan mengambil hatinya tanpa hak, baik untuk kepentingan sekarang maupun untuk masa akan datang, yaitu dengan menutup mata terhadap syarat yang ada untuknya, dan atau memalsukan data, atau mengambil hak orang Lain, atau mendahulukan pelayanan kepadanya daripada orang yang lebih berhak, atau memenangkan perkaranya, dan sebagainya.


Diantara permisalan yang juga tepat dalam permasalahan ini adalah, pemberian yang diberikan oleh perusahaan atau toko kepada pegawainya, agar pegawainya tersebut merubah data yang seharusnya, atau merubah masa berlaku barang, atau mengganti nama perusahaan yang memproduksi, dan sebagainya.


Kedua, pemberian yang terlarang mengambilnya, dan diberi keringanan dalam Memberikannya. Kaidahnya, pemberian yang dilakukan secara terpaksa, karena apa yang menjadi haknya tidak dikerjakan, atau disengaja diperlambat oleh pegawai bersangkutan yang seharusnya memberikan pelayanan. Sebagai misal, pemberian seseorang kepada pegawai atau pejabat, yang ia lakukan karena untuk mengambil kembali haknya, atau untuk menolak kezhaliman terhadap dirinya. Apalagi Ia melihat, jika sang pegawai tersebut tidak diberi sesuatu (uang, misalnya), maka ia akan melalaikan, atau memperlambat prosesnya.


Ibnu Taimiyyah berkata, “Jika seseorang memberi hadiah (dengan maksud) untuk menghentikan sebuah kezaLiman atau menagih haknya yang wajib, maka hadiah ini haram bagi yang mengambil, dan boleh bagi yang memberi. Sebagaimana Nabi bersabda, “Sesungguhnya aku seringkali memberi pemberian kepada seseorang, lalu ia keluar menyandang api (neraka),” ditanyakan kepada beliau,”Ya, Rasulullah. Mengapa engkau memberi juga kepada mereka?” Beliau menjawab, “Mereka tidak kecuali meminta kepadaku, dan Allah tidak menginginkanku bakhil.”


Ketiga, pemberian yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan memberi dan mengambilnya. Kaidahnya, suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Swt. untuk memperkuat tali silaturahim atau menjalin ukhuwah Islamiah, dan bukan bertujuan memperoleh keuntungan duniawi.

Di bawah ini ada beberapa permasalahan, yang hukumnya masuk dalam bagian ini, sekalipun yang afdhal bagi pegawai, tidak menerima hadiah tersebut, sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari tuduhan dan sadduz zari’ah (tindakan preventif) baginya dari pemberian yang haram.

  • Hadiah seseorang yang tidak mempunyai kaitan dengan pekerjaan (usahanya). Sebelum orang tersebut menjabat, ia sudah sering juga memberi hadiah, karena hubungan kerabat atau yang lainnya. Dan pemberian itu tetap tidak bertambah, meskipun yang ia beri sekarang sedang menjabat.
  • Hadiah orang yang tidak biasa memberi hadiah kepada seorang pegawai yang tidak berlaku persaksiannya, seperti Qodi bersaksi untuk anaknya, dan hadiah tersebut tidak ada hubungannya dengan usahanya.
  • Hadiah yang telah mendapat izin dari pemerintah atau instansinya.
  • Hadiah atasan kepada bawahannya.
  • Hadiah setelah ia meninggalkan jabatannya.

MAKAN MINUM SAAT MENJENGUK YANG SAKIT

Tanya : Bismillah … pak ustadz Abu anu dipihormat (yang saya hormati red.), saat saya menjenguk saudara yang berada di rumah sakit yang agak jauh, saya disuguhi makanan dan minuman. Waktu itu saya langsung minum karena merasa haus. Saat mau pulang suami saya bilang bahwa saat menjenguk yang sakit kita dilarang minum atau makan, apalagi yang disediakan oleh keluarga yag sakit, karena akan menggugurkan pahala kita. Apakah benar begitu ustadz? Wahyuningsih. 

Jawab : Menjenguk orang sakit merupakan salah satu diantara tuntunan Islam. Bahkan sebagian ulama memandang syariat ini fardhu kifa’i. Banyak keterangan (hadits) yang menjelaskan tentang keutamaan menjenguk yang sakit. Diantaranya :
Sabda Nabi saw :


إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا عَادَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِعَ


“…Sesungguhnya seorang muslim bila menjenguk saudaranya sesama muslim maka ia terus menerus berada di khurfatil jannah hingga ia pulang (kembali)”. (Shahih Muslim no. 6498 dari Tsauban)


Dalam lafadz lain ada tambahan :


مَنْ عَادَ مَرِيْضًا، لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا خُرْفَةِ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: جَنَاهَا


“…Siapa yang menjenguk seorang yang sakit maka ia terus menerus berada di khurfatil jannah.” Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah khurfatil jannah itu?”. Beliau menjawab, “Buah-buahan yang dipetik dari surga.”(Shahih Muslim 6499).


Dibeberapa buku yang kami baca, diantara adab atau akhlak bagi yang menjenguk yaitu tidak diperbolehkan makan dan minum. Bahkan ada yang menjelaskan akan mengurangi atau menghilangkan pahala bagi yang menjenguknya. Hadits yang menjadi sandarannya adalah bahwa Nabi saw pernah bersabda :


“…Jika salah seorang di antara kamu menjengul yang sakit, maka janganlah kamu makan sedikitpun di sisi orang sakit, karena hal itu menyebabkan hilangnya pahalanya”.(HR. ad-Dailamy di dalam Musnad al-Firdaus)


Akan tetapi sebagian para ahli hadits menilai bahwa hadits diatas dhaif (lemah). Sebab didalam sanad hadits tersebut ada seorang rawi Musa bin Wirdan. Imam Adz-Dzahabi (lihat Faidhul Qadir oleh al-Munawi 1/519) berkata bahwa hadist ini telah didhaifkan oleh Ibnu Ma’in, bahkan Adz-Dzahabi menyimpan hadits ini didalam Adh-Dhu’afa (muatan hadits yang lemah).


Dengan demikian kami memandang bahwa makan dan minum saat menjenguk boleh dan tidak menghilangkan pahala. Allohu A’lam

Senin, 18 Februari 2013

JARI TANGAN LAKI-LAKI MEMAKAI CINCIN



Tanya : Assalamu’alaikum, dijari tangan manakah orang mukmin (laki-laki) mengenakan cincin dan saya mohon dasar hadistnya. terimakasih. Giri Tuji Harsana
 
Jawab : Wa’alaikumus-salam, Dalam sebuah keterangan Rasulullah saw memakai cincin di kelingkingnya (Shahih Bukhari hadits no.5536). Dalam keterangan yang lain bahwa Rasulullah saw melarang menggunakan cincin di jari tengah dan telunjuk (Shahih Muslim hadits no.2078).

حَدَّثَنَا يَحْيَي بْنُ يَحْيَي ، أَخْبَرَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ ، عَنْ أَبِي بُرْدَةَ ، قال : قَالَ عَلِيٌّ : " نَهَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَخَتَّمَ فِي إِصْبَعِي هَذِهِ أَوْ هَذِهِ ، قَالَ : فَأَوْمَأَ إِلَى الْوُسْطَى وَالَّتِي تَلِيهَا (مسلم )

Dari Abi Burdah, telah berkata Ali radhiyallahu’anhu : Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarangku menggunakan cincin pada jari ini dan ini. Beliau berkata : Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memberi isyarat bahwa yang terlarang itu adalah jari tengah dan jari setelahnya.” (HR. Muslim)

Dari berbagai riwayat, bahwa Rasulullah suka memakai cincin (takhottum). Beliau suatu saat pernah memakai cincin di jari kelingking tangan kanan dan suatu saat yang lain beliau memakainya pada tangan sebelah kiri, sebagaimana dalam hadits shahih:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ خَاتَمُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذِهِ وَأَشَارَ إِلَى الْخِنْصِرِ مِنْ يَدِهِ الْيُسْرَى

Dari Anas –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Cincin Nabi shollallahu alaihi wasallam dipakai di sini, Anas mengisyaratkan pada jari kelingking di tangan kiri (H.R Muslim)


أَخْبَرَنَاهُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، وَأَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو قَالا: حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ وَهُوَ الأَصَمُّ، حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلالٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَخَتَّمَ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ فِي يَدِهِ الْيُمْنَى، عَلَى خِنْصَرِهِ، حَتَّى رَجَعَ إِلَى الْبَيْتِ، فَرَمَاهُ، فَمَا لَبِسَهُ، ثُمَّ تَخَتَّمَ خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ، فَجَعَلَهُ فِي يَسَارِهِ، وَأَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ، وَعُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، وَعَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، وَحَسَنًا، وَحُسَيْنًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ كَانُوا يَتَخَتَّمُونَ فِي يَسَارِهِمْ

Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Bilaal, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memakai cincin yang terbuat dari emas di jari kelingking tangan kanannya, hingga beliau pulang ke rumah beliau, lalu beliau membuangnya dan tidak memakainya lagi. Kemudian beliau memakai cincin dari perak dan memakainya di tangan kirinya. Begitu juga dengan Abu Bakr, ‘Umar bin Al-Khaththaab, ‘Aliy bin Abi Thaalib, Hasan, dan Husain radliyallaahu ‘anhum memakai cincin di tangan kiri mereka” (HR Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa, 4:142)

عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ، قَالَ: رَأَيْتُ ابْنَ أَبِي رَافِعٍ يَتَخَتَّمُ فِي يَمِينِهِ، فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: رَأَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَعْفَرٍ يَتَخَتَّمُ فِي يَمِينِهِ، وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَتَّمُ فِي يَمِينِهِ

Dari Hammaad bin Salamah, ia berkata : Aku pernah melihat Ibnu Abi Raafi’ memakai cincin di tangan kanannya. Lalu aku bertanya kepadanya perihal tersebut, lantas ia menjawab : “Aku pernah melihat ‘Abdullah bin Ja’far memakai cincin di tangan kanannya, dan‘Abdullah bin Ja’far berkata : ‘Dulu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memakai cincin di tangan kanannya” (HR At-Tirmidzi no. 1744, An-Nasaa’i no. 5204)

“Adalah beliau (Nabi saw) memakai cincin pada tangan kanannya.” (HR. Bukhori dan Tirmidzi) 

عَنْ الصَّلْتِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَوْفَلٍ، قَالَ: رَأَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَتَخَتَّمُ فِي يَمِينِهِ، وَلَا إِخَالُهُ إِلَّا قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَتَّمُ فِي يَمِينِهِ

Dari Ash-Shalt bin ‘Abdillah bin Naufal, ia berkata : Aku pernah melihat Ibnu ‘Abbaas memakai cincin di tangan kanannya, dan aku tidak mempunyai perkiraan lain selain ia (Ibnu ‘Abbaas) berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memakai cincin di tangan kanan beliau” (HR Abu Daawud no. 4229, At-Tirmidzi no. 1742)

عَنْ أَنَسٍ، قال: كَانَ خَاتَمُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذِهِ وَأَشَارَ إِلَى الْخِنْصِرِ مِنْ يَدِهِ الْيُسْرَى

Dari Anas, ia berkata : “Cincin Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam terletak di sini – ia (Anas) berisyarat ke jari kelingking tangan kirinya – “ (Diriwayatkan oleh Muslim no. 2095)

“Adalah Nabi saw memakai cincin pada tangan kirinya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Dari sini memakai cincin baik di tangan kanan maupun tangan kiri dibolehkan. Imam As Syafi’i ra berpendapat bahwa memakaikannya dijari tangan  kanan itu lebih utama. Sementara Imam Malik ra berpendapat sebaliknya. Imam Bukhari dan Imam Al Munawi memilih meletakkan cincin pada jari kelingking tangan kanan dengan alasan tangan kanan lebih pantas untuk diperindah. Hal tersebut merupakan ketentuan bagi laki-laki yang memakai cincin. Sedangkan bagi wanita boleh meletakkan cincin di jari mana saja yang ia suka. Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin sepakat atas sunnahnya meletakkan cincin di jari kelingking bagi laki-laki. Adapun wanita maka ia boleh mengenakan cincin di jari mana saja.” (Syarh Shahih Muslim, dan ‘Aunu al-Ma’bud 11/286) Allahu A’lam

Sabtu, 16 Februari 2013

KHITAN BAGI PEREMPUAN



Tanya : Assalamu’alaikum …ustadz Abu apakah kedudukan khitan bagi laki-laki sama juga kepada perempuan? Ustadz mohon penjelasannya tentang khitan! Wassalam. Irda dll. (banyak pertanyaan spt ini yang intinya sama)


Jawab : Wa’alaikumussalam … Secara bahasa khitan diambil dari kata (ختن) yang berarti memotong. Sedangkan al-khatnu berarti memotong kulit yang menutupi kepala dzakar dan memotong sedikit daging yang berada di bagian atas farji (clitoris) serta al-khitan adalah nama dari bagian yang dipotong tersebut. (lihat Lisanul Arab, Imam Ibnu Manzhur).

Jumhur ulama memastikan bahwa khitan merupakan hal yang disyariatkan dalam Islam, baik untuk laki-laki ataupun perempuan. Hanya sebagian ulama ada yang memandang wajib ada yang memandangnya sebagai sunat.

Imam Nawawi memberikan pandangan “Yang wajib bagi laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutupi kepala dzakar sehingga kepala dzakar itu terbuka semua. Sedangkan bagi wanita, maka yang wajib hanyalah memotong sedikit daging yang berada pada bagian atas farji.”(Syarah Sahih Muslim 1/543, Fathul Bari 10/340)

Diantara dalil yang memberikan isyarat bahwa khitan itu disyariatkan bagi laki-laki dan perempuan :

عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : قاال رسول الله صلي الله عليه وسلم : خمس من الفطرة : الإ ستحداد والختان، وقص الشارب،ونتف الابط،وتقليم الأظفا ر

Dari Abu Harairah ra. Rasulullah saw bersabda : ”(Ada) lima hal yang termasuk fitrah yaitu: mencukur bulu kemaluan, KHITAN, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, & memotong kuku.” (HR. Imam Bukhori & Imam Muslim)

إذ التقى الختا نا ن فقد وجب الغسل

“…Apabila bertemu DUA YANG DI KHITAN (bercampur), maka wajib mandi.” (HR. Tirmidzi 108, Ibnu Majah 608, Ahamad 6/161, dgn sanad shahih).

عن عائسة رضي الله عنها قالت,قال رسول الله صلي الله هليه و السلم : إذ جلس بين شهبها الأربع و مسّ الختان الختان فقد وجب الغسل

Dari ‘Aisyah ra berkata, bersabda Rasulullah saw “Apabila seorang laki-laki duduk di empat anggota badan wanita serta KHITAN menyentuh KHITAN maka wajib mandi.” (HR. Bukhari Muslim)

عن أنس بن مالك, قال رسول الله صلي الله عليه والسلم لأمّ عاطية رضي الله عنها : إذا خفضت فأشمي ولا تنهكي فإنّه أسرى للوجه وأحضى للزوج

Dari Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah saw bersabda kepada Ummu ‘athiyah,”Apabila engkau mengkhitan wanita biarkanlah sedikit, dan  jangan potong semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.”(HR. Al-Khatib). Allohu A’lam

Jumat, 15 Februari 2013

WANITA MENYEMBELIH HEWAN




Tanya : Assalamu’alaikum... Pak Ustadz yang saya hormati! Suami saya seorang pedagang ayam potong. Yang jadi pertanyaan saya, bolehkan saya membantu suami memotong/menyembelih ayam? Halalkah sembelihan yang dilakukan wanita muslimah? Wass... KR Surabaya

Jawab : Wa’alaikumussalam... membantu suami merupakan perbuatan terpuji dan mulia. Begitu juga sebaliknya suami membantu istrinya. Dalam hal yang ibu tanyakan belum saya temukan suatu larangan bahwa wanita muslimah tidak boleh menyembelih hewan. Namun dari sisi fitrah kewanitaan dan adat bahwa yang biasa menyembelih itu adalah laki-laki. Tentu hal ini dikarenakan dalam hal memotong hewan perlu keberanian.

Terlepas dari itu semua, dalam sebuah keterangan (hadits) bahwa Ka'ab bin Malik pernah mendapatkan jariyahnya (budak perempuan yang ditugaskan mengembala kambing) menyembelih kambingnya karena mau mati. Lalu hal ini dilaporkan kepada Nabi saw sebelum sembelihan itu mereka makan. Maka Nabi saw memerintahkan untuk memakannya. (HR.Bukhari).

Dengan demikian sembelihan wanita muslimah halal untuk dimakan!  Allahu A’lam.

Sabtu, 09 Februari 2013

KEHIDUPAN JIN




Tanya : Bismillah, ustadz Abu …pakah kita dibenarkan meminta pertolongan Jin? Dan apakah Jin itu bisa dilihat? Dan apakah Jin itu suka makan? Dimana tempat Jin itu? DF Klender Jakarta Timur 

Jawab : Kalau kita lihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jin diartikan sebagai makhluk halus (yang dianggap berakal). Dari segi bahasa Alquran, kata jin terambil dari akar kata yang terdiri dari tiga huruf: jim, nun, nun. 

Menurut pakar-pakar bahasa, semua kata yang terdiri dari rangkaian ketiga huruf ini mengandung makna ketersembunyian atau ketertutupan. Kata janna dalam Alquran surah Al-An’am ayat 76 berarti menutup. Kebun yang lebat pepohonannya sehingga menutup pandangan dinamai jannah. Surga juga dinamai jannah karena hingga kini ia masih tersembunyi, tidak terlihat oleh mata. Manusia yang tertutup akalnya (gila) dinamai majnuun, sedangkan bayi yang masih dalam perut ibu karena ketertutupannya oleh perut dinamai janinAl-junnah adalah perisai karena dia menutupi seseorang dari gangguan orang lain, baik fisik maupun nonfisik. Al-shiyam Junnah (Shaum/puasa adalah perisai)...

Orang-orang munafik menjadikan sumpah mereka sebagai junnah demikian Alquran surah Al-Munafiqun ayat 3, yakni menjadikannya sebagai penutup atau benteng  kesalahan agar mereka terhindar dari kecaman atau sanksi. Kalbu manusia dinamai janaan karena ia dan isi hati tertutup dari pandangan dan pengetahuan. Karena itu pula roh dinamai janaan. Kubur, orang mati, kafan semuanya dapat dilukiskan dengan kata janaan karena ketertutupan dan ketersembunyian yang selalu berkaitan dengannya. Kata jin pun demikian, ia tersembunyi dan tertutup.

Haram hukumnya meminta bantuan jin untuk mengetahui penyakit yang hinggap atau cara mengobatinya, atau untuk hal apapun. Karena meminta pertolongan dari jin itu syirik, berdasarkan firman Allah:

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا

“Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan..” (Q.S Al-Jin : 6)

Manusia tidak dapat melihat jin dalam bentuk yang asli karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, :

يَا بَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءَاتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاء لِلَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ

“Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan, sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu-bapakmu dari surga; ia menanggalkan pakaiannya dari keduanya untuk memperlihatkan–kepada keduanya–‘auratnya. Sesungguhnya, ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang (di sana) kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya, Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin  bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Qs. Al-A’raf:27)

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Setan terkadang menjelma dengan berbagai bentuk sehingga memungkinkan (bagi manusia) untuk melihatnya. Firman Allah ta’ala, ‘Sesungguhnya, ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang (di sana) kamu tidak bisa melihat mereka,’ dikhususkan pada kondisi bentuknya (yang asli) yang Allah telah ciptakan.” (Fathul Bari, penjelasan hadis no. 2311) 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa suatu ketika Nabi Saw membawa sebelanga air untuk berwhudu dan berhajat. (ketika ia [Abu Hurairah) mengikutinya, Nabi Saw bersabda, “siapa ini?” ia berkata, “aku, Abu Hurairah”. Nabi Saw bersabda, “bawakan aku batu (untuk bersuci), jangan tulang atau kotoran hewan”. Abu Hurairah selanjutnya berkata; maka dengan ujung bajuku aku membawakan sejumlah batu dan setelah itu pergi menjauh. setelah selesai, aku berjalan bersamanya dan berkata, “mengapa (kau melarangku membawa) tulang atau kotoran binatang?” Nabi Saw bersabda, “itu makanan jin”.(HR.Bukhari 115)

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Rasulullah saw. mendatangi tempat buang air lalu memerintahkan aku untuk mencari tiga buah batu. Aku menemukan dua buah batu dan berusaha mencari satu lagi namun tidak kutemukan. Lalu aku mengambil kotoran hewan dan membawanya kepada Rasulullah saw. Beliau mengambil dua buah batu dan membuang kotoran hewan. Beliau bersabda, ‘Benda ini adalah kotoran (najis)’,” (HR Bukhari (156). 

Diriwayatkan dari ‘Amir, ia berkata, “Aku bertanya kepada ‘Al-Qamah, apakah Ibnu Mas’ud turut menyaksikan bersama Rasulullah saw. pada malam beliau bertemu utusan jin?” ‘Al-Qamah berkata, “Aku telah bertanya kepada ‘Abdullah bin Mas’ud, Adakah salah seorang dari kalian yang menyertai Rasulullah saw. pada malam beliau bertemu dengan utusan jin?” Ia menjawab, “Tidak ada! Namun pada malam itu kami bersama Rasulullah saw., lalu kami kehilangan beliau. Kami telah mencari beliau di lembah dan jalan perbukitan, namun tidak menemukan beliau, hingga kami katakan, ‘Barangkali beliau dibawa jin atau beliau dibunuh secara misterius.’ Kami pun melewati malam paling kelabu dalam hidup kami. Pagi harinya tiba-tiba beliau muncul dari arah Hiraa’. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami kehilanganmu dan kami telah berusaha mencarimu namun tidak ketemu, kami pun melewati malam  paling kelabu dalam hidup kami.” Lalu beliau mengatakan, “Seorang utusan jin datang menemuiku, lalu aku pergi bersamanya. Aku membacakan Al-Qur’an kepada mereka.” Kemudian Rasulullah saw. membawa kami ke tempat itu dan memperlihatkan kepada kami jejak-jejak mereka dan bekas api unggun mereka. Mereka telah meminta bekal kepada Rasulullah saw. Beliau berkata, “Bagi kalian setiap tulang yang kalian temukan yang diucapkan nama Allah padanya. Makanan itu lebih baik bagi kamu dari pada daging, dan setiap kotoran hewan adalah makanan bagi hewan tunggangan kalian.” Kemudian Rasulullah saw. berkata, “Maka dari itu, janganlah kalian beristinja’ dengan kedua benda tersebut karena keduanya adalah makanan saudara kalian dari kalangan jin,” (HR Muslim 450).

Seperti halnya manusia, jin juga punya tempat tinggal dan bahkan beranak pinak. Tentu saja, tempat tinggalnya berbeda dengan tempat tinggal manusia. Rumahnya tak terlihat oleh manusia. Bahkan, dalam berbagai literatur, disebutkan bahwa sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi rasul, kaum jin pernah menduduki beberapa tempat yang ada di langit. Di sana, mereka mendengar berita dan informasi yang ada di langit. Namun, ketika Muhammad diangkat menjadi nabi dan rasul, para jin ini tidak lagi tinggal di tempat tersebut. Bahkan, mereka juga tak mampu mencari informasi atau kabar dari langit. Lihat surah Al-Jin ayat 8-9. Sejak tak mampu lagi menembus kabar dari langit dan bertempat tinggal di sana, para jin mencari tempat tinggal yang baru. Mereka tinggal di atas muka bumi ini. Rasul SAW mengabarkan, banyak tempat yang disukai oleh jin, di antaranya laut, kamar mandi, tempat yang kotor (sampah), dan lainnya.

Toilet adalah salah satu tempat di muka bumi yang disukai jin. Karena itu, Nabi SAW menganjurkan setiap orang yang akan memasuki toilet memohon perlindungan Allah SWT dengan membaca, “Allahumma inni a’udzu bika min al-khubutsi wa al-khaba’its (Ya, Allah, aku memohon perlindunganmu dari gangguan jin pria dan jin wanita).”

Prof.DR.Quraish Shihab menjelaskan, pegunungan, lautan, pasar, dan atap rumah juga disebut-sebut dalam berbagai riwayat sebagai tempat yang disukai jin. Ibnu Taimiyah menulis bahwa jin banyak berada di tempat-tempat kumuh, yang di dalamnya tedapat najis, seperti tempat pembuangan sampah dan kuburan.

Sebagaimana manusia dan hewan, para jin ini juga makan dan minum, menikah, dan beranak pinak. Menurut Syekh Abdul Mun’im Ibrahim, para jin ini adalah penghuni dunia yang hidup di tempat-tempat sepi dari manusia dan di padang pasir. Dan di antara para jin itu, ada yang hidup di pulau-pulau di tengah laut, di tempat sampah, di tempat rusak, dan di antara mereka ada yang hidup bersama manusia. Allohu A’lama

Jumat, 08 Februari 2013

MENIKAHI WANITA YANG MAU CERAI

Tanya : Assalamu’alaikum …! Pak ustadz Abu Alifa yang saya hormati, teman saya berencana akan menikahi seorang wanita. Dan wanita itu sudah pasti akan cerai dengan suaminya, apakah dibolehkan temen saya ini nikah dengan wanita tersebut, dikarena kepastian cerai yag dinyatakan oleh calon istrinya itu? (maaf emailnya jg dicantumkan)
 
Jawab : Wa’alaikumussalam… Diantara wanita yang diharamkan syariat (Islam) untuk dinikahi adalah wanita tersebut sudah bersuami. Kalau-pun suaminya sudah menthalaq istri wanita tersebut, tentu tidak lantas wanita yang di thalaqnya itu boleh menikah (lagi).  

“..Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri tiga kali quru’(haidh)..” (QS. 2:228)

Jadi haram hukumnya temen akhi menikahi wanita tersebut, sekalipun wanita itu mengatakan saya pasti cerai. Allohu A’lam