KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Jumat, 30 Januari 2015

HUKUM JUM'AT BAGI MUSAFIR


DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM
Pada Sidang Dewan Hisbah II Pasca Muktamar XIII
Di PC Persis Banjaran, 03 Rabi'uts Tsani 1428 H 
                                 21       April         2007 M


Tentang :
"HUKUM JUM'AT BAGI MUSAFIR"

بسم الله الرحمن الرحيم



Dewan Hisbah Persatuan islam setelah :

MENGINGAT :

1. Firman Allah tentang wajib Jum'at

ياايها الذين امنوا ءاذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعوا ءالى ذكر الله وذروا البيع ذلكم خير لكم ءان كنتم تعلمون

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Q.S. Al-Jumu'ah : 9

2. Hadis Rasulullah saw. tentang golongan yang dikecualikan dari kewajiban Jum'at

عن طارق بن شهاب عن النبى ص قال الجمعة حق واجب على كل مسلم فى جماعة إلا أربعة عبد مملوك او امرأة أو صبي أو مريض

Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi saw. beliau bersabda, "Jum'at itu hak yang wajib bagi setiap muslim secara berjama'ah kecuali empat golongan; hamba sahaya, perempuan, anak-anak, dan yang sakit. H.R. Abu Daud, Sunan Abu Daud, I : 347

3. Hadis yang menerangkan bahwa pada saat wukuf yang jatuh pada hari Jum'at di Arafah Rasulullah saw. shalat zhuhur dijama' dengan ashar

فأجاز حتى أتى عرفة فوجد القبة قد ضربت له بنمرة فنزل بها حتى إذا زاغت الشمس أمر بالقصواء فرحلت له فأتى بطن الوادي فخطب الناس ثم أقام فصلى الظهر ثم أقام فصلى العصر ولم يصل بينهما شيئا ...

"... Selanjutna beliau berangkat hingga sampai di Arafah, maka beliau menemukan tenda yang telah dibangun untuknya di Namirah, kemudian beliau singgah di namirah, sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau menyuruh dibawakan Qaswa (unta beliau), kemudian unta itu diserahkan padanya. Selanjutnya beliau sampai dilembah, terus beliau memberi hutbah pada manusia, kemudian dikumandangkan adzan selanjutnya iqamat, terus beliau shalat Dzuhur, kemudian iqamat, dan terus shalat Ashar, serta beliau tidak shalat apapun diantara kedua salat itu. H.R. Muslim, Shahih Muslim, II : 886

4. Hadis Ibnu Umar yang melaksanakan Jum'at ketika safar sebagai berikut :

عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ كَانَ إِذَا كَانَ بِمَكَّةَ فَصَلَّى الْجُمُعَةَ تَقَدَّمَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ تَقَدَّمَ فَصَلَّى أَرْبَعًا وَإِذَا كَانَ بِالْمَدِينَةِ صَلَّى الْجُمُعَةَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى بَيْتِهِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَلَمْ يُصَلِّ فِي الْمَسْجِدِ فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَفْعَلُ ذَلِكَ

Dari Atha, dari Ibnu Umar, ia berkata, "Beliau (Ibnu Umar) berada di Mekah, lalu shalat Jum'at, (setelah selesai) ia melangkah ke depan untuk shalat sunat dua raka'at, kemudian melangkah kedepan untuk shalat sunat empat raka'at. Dan bila berada di Madinah ia shalat Jum'at, lalu kembali ke rumahna, maka salat dua rakaat dan tidak shalat dimasjid. Maka ditanyakan kepadanya, lalu ia berkata, "Rasulullah saw melakukan hal itu (salat sunat ba'da Jum'at di rumahnya)". H.R. Abu Daud, Sunan Abu Daud, I : 363

5. Hadis tentang Ibnu Umar ang tidak melaksanakan Jum'at ketika safar sebagai berikut :

عن نافع أن ابن عمر ض ذكرله أن سعيد بن زيد بن عمرو بن نفيل وكان بدريا مرض فى يوم جمعة فركب إليه بعد أن تعالى النهار واقتربت الجمعة و ترك الجمعة

Dari Nafi' sesungguhnya Ibnu Umar diterangkan kepada beliau bahwa Sa'id bin Zaid bin Amr bin Nufel, dan ia orang Badar, sakit pada hari Jum'at. lalu Ibnu Umar berangkat untuk menengoknya menjelang siang, dan telah dekat waktu Jum'at, dan Ibnu Umar tidak melaksanakan Jum'at. H.R. Bukhari, Fathul Bari, VII : 360, No. 3991

MENDENGAR :

1. Sambutan dan pengarahan dari Ketua Dewan Hisbah KH.Usman Shalehudin
2. Sambutan dan pengantar dari Ketua Umum PP Persis K.H.Drs. Shiddiq Amien, MBA
3. Makalah dan pembahasan yang disampaikan oleh K.H. Luthfi Abdullah Ismail,Lc
4. Pembahasan dan penilaian dari anggota Dewan Hisbah terhadap masalah tersebut diatas

MENIMBANG :

1. Keputusan Dewan Hisbah tahun 2001 yang beristinbath bahwa "Musafir tidak dikecualikan dari kewajiban Jum'at"
2. Hadis-hadis tentang empat golongan ang dikecualikan dari wajib jum'at adalah sahih
3. Hadis-hadis tentang musafir yang dikecualikan dari wajib Jum'at semuanya daif
4. Wukuf di Arafah terjadi pada hari Jum'at, 9 Dzulhijjah tahun 10 H dan Nabi melaksanakan salat zhuhur dan ashar dijama dan diqashar
5. Ada pemahaman wukuf Nabi di Arafah terjadi pada hari Sabtu, 10 Dzulhijjah tahun 10 H. Dengan demikian, pada hari Jum'at Nabi berada di Mina dan beliau melaksanakan salat zhuhur dan Ashar bukan salat Jum'at.
6. Ada pemahaman bahwa musafir tidak wajib jum'at karena tidak ditemukan keterangan Nabi saw salat Jum'at waktu safar termasuk waktu pelaksanaan haji.
7. Tidak ditemukan satu keteranganpun selama Nabi melakukan safar haji atau lainnya melakukan Jum'at.
8. Ditemukan keterangan bahwa Ibnu Umar salat Jum'at ketika safar di Mekah.

9. Ditemukan keterangan bahwa Ibnu Umar ketika menjenguk yang sakit di Badar tidak melaksanakan Jum'at.
10. Orang yang sedang melaksanakan ibadah haji adalah musafir.
11. Perlu dipertegas kembali tentang hukum jum'at bagi musafir

Dengan demikian Dewan Hisbah Persatuan islam

MENGISTINBATH :

1. Merevisi keputusan Dewan Hisbah tahun 2001 yang menetapkan bahwa "Musafir tidak dikecualikan dari kewajiban Jum'at"

2. Musafir boleh tidak melaksanakan Jum'at

3. Musafir yang tidak melaksanakan Jum'at wajib salat zhuhur.

Demikian keputusan Dewan Hisbah mengenai masalah tersebut dengan makalah terlampir.

الله ياءخذ باءيدينا الى ما فيه خير للاء سلام و المسلمين

Bandung, 03 R. Tsani 1428 H 
               21 A p r i l  2007 M

Ketua                                                    Sekretaris

ttd                                                           ttd

KH.Usman Shalehuddin                       KH.Wawan Shofwan Sh 
NIAT : 05336                                        NIAT : 30400

Sabtu, 24 Januari 2015

'IDDAH BAGI ISTRI




Tanya : Assalamu'alaikum, pak ustadz Abu yang saya hormati, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan : 1). Mengapa iddah itu ada dipihak perempuan? 2). Jika iddah untuk mengetahui adanya janin, bukankah sekarang bisa diperiksa dengan alat yang canggih? 3). Hikmah apa sebenarnya dibalik adanya iddah bagi istri itu? MG Jawa Timur

Jawab : Wa'alaikumussalam,  Secara bahasa,  iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak/perhitungan). Sedangkan menurut istilah, sebagian ulama mendefinisikan, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita menanti  atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah ditalaq baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.

Iddah bagi istri itu tidak sama, tergantung sesuatu yang terjadi pada wanita itu. Jika istri itu ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya 4 bulan 10 hari. Firman Allah swt :


وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُ‌ونَ أَزْوَاجًا يَتَرَ‌بَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْ‌بَعَةَ أَشْهُرٍ‌ وَعَشْرً‌ا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُ‌وفِ ۗ وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ‌

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.(QS.al-Baqarah 234)

Tapi jika ditinggal oleh suaminya dalam keadaan tidak tentu haidnya atau tidak haid lagi (monopause), atau keadaan hamil, maka iddahnya sesuai dengan firman-Nya :

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْ‌تَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ‌ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَن يَتَّقِ اللَّـهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِ‌هِ يُسْرً‌ا


Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (QS.At-Thalaq : 4).

Dari al-Miswar bin Makhramah bahwa, Subai’ah al-Aslamiyah r.a. pernah melahirkan dan bernifas setelah beberapa malam kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi saw lantas meminta idzin kepada Beliau untuk kawin (lagi). Kemudian Beliau mengizinkannya, lalu ia segera menikah (lagi). (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:470 no:5320 dan Muslim II:1122 no:1485).

Sedangkan istri yang ditalaq suaminya dan belum dicampuri oleh suaminya, maka tidak ada iddah baginya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّ‌حُوهُنَّ سَرَ‌احًا جَمِيلًا 

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.(QS.Al-Ahzab 49)


وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَ‌ضْتُمْ لَهُنَّ فَرِ‌يضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَ‌ضْتُمْ إِلَّا أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۚ وَأَن تَعْفُوا أَقْرَ‌بُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّـهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ‌ 

Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-Baqarah 237)

Sedangkan bagi istri yang ditalaq suaminya dalam keadaan hamil, maka iddahnya sampai melahirkan (QS.AtThalaq 4).

Dari az-Zubair bin al-Awwam r.a. bahwa ia mempunyai isteri bernama Ummu Kultsum bin ’Uqbah radhiyallahu ’anha. Kemudian Ummu Kultsum yang sedang hamil berkata kepadanya, ”Tenanglah jiwaku (dengan dijatuhi talak satu).” Maka az-Zubir pun menjatuhkan padanya talak satu. Lalu dia keluar pergi mengerjakan shalat, sekembalinya (dari shalat) ternyata isterinya sudah melahirkan. Kemudian az-Zubir berkata: ”Gerangan apakah yang menyebabkan ia menipuku, semoga Allah menipunya (juga).” Kemudian dia datang kepada Nabi saw lalu beliau bersabda kepadanya, ”Kitabullah sudah menetapkan waktunya; lamarlah (lagi) dia kepada dirinya.(sebab ia sudah habis masa iddahnya)” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1546 dan Ibnu Majah I:653 no:2026).

Jika wanita yang dijatuhi talak termasuk perempuan yang masih berhaidh secara normal, maka masa iddahnya tiga kali haidh berdasarkan Firman Allah  SWT:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَ‌بَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُ‌وءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّـهُ فِي أَرْ‌حَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ‌ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَ‌دِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَ‌ادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُ‌وفِ ۚ وَلِلرِّ‌جَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَ‌جَةٌ ۗ وَاللَّـهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ 

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah :228).

Iddah bukan hanya sebatas mengetahui janin yang ada dalam rahim perempuan yang ditinggal atau ditalaq suaminya. Iddah adalah sebuah ketentuan Allah swt, yang secara hukum harus dijalankan. Namun hikmahnya bisa saja hal ini dijadikan waktu yang tepat bagi seorang suami untuk berpikir apakah ada waktu untuk kembali. Atau juga si istri berpikir manakala suami minta kembali kepadanya. Dan pihak ketiga yang berkepentingan untuk mendamaikan, atau memberi nasihat/saran agar rumah tangganya kembali normal. Jika hal itu pun bukan yang dimaksud, tentu masa iddah ini menjadi momen penting untuk mempersiapkan diri dengan status yang baru (janda). 

Diluar hal itu tentunya iddah adalah bagian dari ta'abbudi dan syariat yang mesti dijalankan. Dan Allah swt tidak semata-mata menurunkan sebuah syariat, jika tidak ada kemaslahatan hamba yang menjalankannya. Allohu A'lam


MULA'ANAH (SALING LAKNAT) ANTARA SUAMI SUAMI ISTRI


Tanya : Assalamu'alaikum … pak ustadz Abu Alifa, saya minta penjelasan mengenai Li'an. Katanya suami istri yang Li'an dengan sendirinya berpisah dan tidak boleh kembali. Adakah kejadian yang mendasari Li'an? Apa sebenarnya Li'an itu? Dan kapan atau mengapa terjadi adanya saling mela'nat (li'an)? Marwah D Kal

Jawab : Wa'alaikumussalam, Hilal bin Umayyah, pernah mendatangi Rasulullah saw mengadukan dan menuduh istrinya selingkuh (zina) dengan laki-laki yang bernama Syuraik bin Sahma. Setelah beliau mendengar cerita dari Hilal, maka Nabi saw mengatakan "Engkau harus menunjukkan bukti (saksi), atau hukuman cambuk dipunggungmu!". Tentu saja bagi seorang yang menuduh zina tanpa ada saksi, maka hukuman dera sebanyak 80 kali. Hilal bin Umayyah mengatakan "apakah jika suami mendapatkan dan melihat seorang laki-laki diatas tubuh istrinya, ia harus mencari bukti?". Maka turunlah setelah itu surat An-Nuur 6-9, yang menjadi dasar adanya li'an.

وَالَّذِينَ يَرْ‌مُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُن لَّهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْ‌بَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّـهِ ۙ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ ﴿٦ وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّـهِ عَلَيْهِ إِن كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ ﴿٧ وَيَدْرَ‌أُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَن تَشْهَدَ أَرْ‌بَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّـهِ ۙ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ ﴿٨ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّـهِ عَلَيْهَا إِن كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ ﴿٩ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّـهِ عَلَيْكُمْ وَرَ‌حْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّـهَ تَوَّابٌ حَكِيمٌ ﴿١٠
 
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar (QS.An-Nuur 6-9)

Dan dua-duanya bersumpah atas nama Allah sebanyak 4 kali bahwa ia adalah termasuk orang yang jujur (benar),  dan pada sumpah yang ke 5, laknat Allah akan menimpanya jika berdusta.

Dengan demikian kata Li'an diambil dari sumpah yang kelima. Secara bahasa Li'an diambil dari la'n, yang mempunyai makna kutukan atau laknat. Ada juga pendapat yang mengartikan li'an sebagai "mengusir" atau "menjauhkan". Hal ini disebabkan ketika terjadi mula'anah (saling melaknat), maka suami istri dijauhkan karena pasti diantara salah satunya berdusta atas nama Allah. Dan konsekwensinya dari keduanya berpisah untuk selamanya, tak ada kesempatan untuk bersatu kembali dalam hubungan nikah.

Dalam Tafsir al-Misbah Quraish Shihab mengatakan, bahwa ketetapan hukum li'an itu mengundang konsekuensi pemutusan hubungan suami dan istri secara abadi karena dalam ikatan pernikahan, haruslah didasari oleh rasa saling percaya. Didalam sumpah Li'an itu, sudah jelas dan terang bahwa salah satu diantara pasangan tersebut pasti ada yang salah (dusta).

Dari Li'an ini, maka bagi suami yang menuduh zina istrinya terbebas dari hukum dera, begitu juga dengan istri akan terbebas dari hukuman ranjam,  dan tentu harus berpisah selamanya dengan (mantan) istrinya. Allohu A'lam



MEMBERI SALAM KEPADA ANAK-ANAK (YANG MUDA)


Tanya : Bismillah … Ustadz, apa benar bahwa salah satu mengucapkan salam itu diharuskan dari yang kecil (muda) kepada yang tua? Bagaimana kalau sebaliknya? BN Ciawi Tasikmalaya


Jawab : Ibn Hajr al-Asqalani dalam kitabnya Bulughu al-Maram, menempatkan  hadits yang ibu maksud dalam Bab Adab (sopan santun). Hal ini menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari adab (akhlaq) yang semestinya dilakukan (diantaranya) mengucapkan salam yang semestinya diawali oleh yang muda kepada yang tua. Hadits yang dimaksud diantaranya :

Dari Abi Hurairah berkata : Bersabda Rasulullah saw : (Selayaknya) memberi salam yang muda kepada yang tua, yang berjalan kepada yang duduk, yang sedikit kepada yang banyak (HR.Bukhary Muslim), dalam riwayat Muslim ada tambahan “Dan yang berkendaraan kepada yang berjalan”. (Bulughu al-Maram Bab Adab, lihat Lu’lu wa al-Marjan Kitab Salam no.1396)

Hal tersebut bukan artinya yang tua tidak boleh mengucapkan salam kepada yang muda. Sebab dalam hadits lain ternyata Nabi saw pernah mengucapkan salam kepada anak-anak.

“…Sesungguhnya Anas bin Mali ra pernah melewati dan berjumpa dengan anak-anak, maka ia (Anas) mengucapkan salam kepada mereka. Anas berkata : Bahwa Nabi saw pernah melakukan hal itu (Bukhary Bab al-Taslim ‘ala al-Shibyan 15, lihat pula Lu’lu wa al-Marjan Bab Istihbab al-Salam ‘ala al-Shibyan hal 53 no. 1041 dari Anas bin Malik ra). Allohu A’lam


Rabu, 21 Januari 2015

QASHAR BAGI MUSAFIR (Fiqh Ikhtilaf - 5)



E. Shalat Nafilah (Sunat) Bagi Musafir 

Mengenai  shalat sunat yang dilakukan oleh musafir (orang yang dalam perjalanan) maka ada perbedaan diantara ulama tentang hukum tersebut. Diantaranya :



1. Disyariatkan secara mutlaq



Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/ tathawwu’ bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah yang merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan ba’diyah) maupun yang lainnya.



وَعَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- : أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم ( كَانَ لَا يَدَعُ أَرْبَعًا قَبْلَ اَلظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ اَلْغَدَاةِ )  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ



Dari 'Aisyah Radliyallaahu'anha bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak pernah meninggalkan (sholat sunat) empat rakaat sebelum Dhuhur dan dua rakaat sebelum Shubuh. (Riwayat Bukhari)



حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، قَالَ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ، عَنْ يَحْيَى، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، أَخْبَرَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي التَّطَوُّعَ وَهْوَ رَاكِبٌ فِي غَيْرِ الْقِبْلَةِ‏



Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim berkata, telah menceritakan kepada kami Syaiban dari Yahya dari Muhammad bin 'Abdurrahman bahwa Jabir bin 'Abdullah telah mengabarkan kepadanya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendirikan shalat sunnat sambil mengendarai hewan tunggangannya dalam keadaan tidak menghadap qiblat (Shahih al-Bukhari 1094)



حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ، أَنَّ عَامِرَ بْنَ رَبِيعَةَ، أَخْبَرَهُ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهْوَ عَلَى الرَّاحِلَةِ يُسَبِّحُ، يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَىِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ، وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ‏



Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab dari 'Abdullah bin 'Amir bin Rabi'ah bahwa 'Amir bin Rabi'ah mengabarkannya berkata: "Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di atas hewan tunggangannya bertasbih dengan memberi isyarat dengan kepala beliau kearah mana saja hewan tunggangannya menghadap. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah melakukan seperti ini untuk shalat-shalat wajib (al-Bukhari 1097)



حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ، قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ يَحْيَى، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ، قَالَ حَدَّثَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ الْمَكْتُوبَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ‏



Telah menceritakan kepada kami Mu'adz bin Fadhalah berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Yahya dari Muhammad bin 'Abdurrahman bin Tsauban berkata, telah menceritakan kepada saya Jabir bin 'Abdullah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendirikan shalat diatas hewan tunggangannya menghadap ke Timur. Jika Beliau hendak melaksanakan shalat wajib, maka Beliau turun dan melaksanakannya dengan menghadap qiblat (Sahih al-Bukhari 1099)



حَدَّثَنَا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ، قَالَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، قَالَ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ، عَنْ نَافِعٍ، قَالَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ ـ رضى الله عنهما ـ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ وَيُوتِرُ عَلَيْهَا، وَيُخْبِرُ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَفْعَلُهُ‏



"...dari Nafi' berkata; Ibnu 'Umar radliallahu 'anhumaa pernah mengerjakan shalat diatas hewan tunggangannya dan juga shalat witir dan dia mengabarkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakannya pula (Shahih Bukhary)



حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ‏:‏ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، قَالَ‏:‏ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، قَالَ‏:‏ مَا أَخْبَرَنِي أَحَدٌ، أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي الضُّحَى إِلا أُمُّ هَانِئٍ، فَإِنَّهَا حَدَّثَتْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، دَخَلَ بَيْتَهَا يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ فَاغْتَسَلَ فَسَبَّحَ ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ مَا رَأَيْتُهُ صلى الله عليه وسلم، صَلَّى صَلاةً قَطُّ أَخَفَّ مِنْهَا، غَيْرَ أَنَّهُ كَانَ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ‏



"... Dari Abdurrahman bin Abi Laily berkata :Tidak ada yang memberi tahu saya bahwa bahwa ia telah melihat Nabi saw melakukan dhuha selain Ummi Haani. Dia menceritakan bahwa Rasulullah saw datang ke rumahnya di hari Makkah ditaklukkan. Beliau mandi, kemudian shalat delapan rakaat. Dan aku belum pernah melihat Rasulullah saw melakukan shalat-pun lebih ringan dari ini, meskipun dia melakukan setiap ruku' dan sujud dengan sempurna. (Sunan Abu Dawud)

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي سُبْحَتَهُ حَيْثُمَا تَوَجَّهَتْ بِهِ نَاقَتُهُ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya shalat sunnah kemana pun untanya menghadap” (HR. Muslim 33).

Bahkan Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim membuat judul “bab bolehnya shalat sunnah di atas binatang tunggangan dalam safar kemana pun binatang tersebut menghadap“.

  أن رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كان يوترُ على البعيرِ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya shalat witir di atas unta” (HR. Al Bukhari 999, Muslim 700).



2. Tidak Disyari'atkan Secara Mutlaq



 حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ، قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ حَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، أَنَّ حَفْصَ بْنَ عَاصِمٍ، حَدَّثَهُ قَالَ سَافَرَ ابْنُ عُمَرَ ـ رضى الله عنهما ـ فَقَالَ صَحِبْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَلَمْ أَرَهُ يُسَبِّحُ فِي السَّفَرِ، وَقَالَ اللَّهُ جَلَّ ذِكْرُهُ {‏لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ‏}‏‏.‏



Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaiman berkata, telah menceritakan kepada saya Ibnu Wahb berkata, telah menceritakan kepada saya 'Umar bin Muhammad bahwa Hafsh bin 'Ashim menceritakan kepadanya berkata; " Ibnu 'Umar radliallahu 'anhumaa mengadakan perjalanan lalu berkata: "Aku pernah menemani Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan aku tidak melihat Beliau melaksanakan shalat sunnah dalam safarnya". Dan Allah subhanahu wata'ala telah berfirman: "Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu"(QS. Ahzab 21). Shahih Bukhary



وَحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، سَمِعَ حَفْصَ بْنَ عَاصِمٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ صَلَّى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِمِنًى صَلاَةَ الْمُسَافِرِ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ ثَمَانِيَ سِنِينَ أَوْ قَالَ سِتَّ سِنِينَ ‏.‏ قَالَ حَفْصٌ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُصَلِّي بِمِنًى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَأْتِي فِرَاشَهُ ‏.‏ فَقُلْتُ أَىْ عَمِّ لَوْ صَلَّيْتَ بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ ‏.‏ قَالَ لَوْ فَعَلْتُ لأَتْمَمْتُ الصَّلاَةَ



"... Dari Ibn Umara berkata : Nabi saw pernah shalat di Mina (yaitu) shalat musafir (qashar), (begitu juga)  Abu Bakar, Umar,  dan Usman melakukannya selama 8 tahun atau enam tahun. Berkata Hafs (perawi), "dan keadaan Ibnu Umar juga shalat di Mina dua rakaat kemudian kembali ke tempat istirahatnya. Maka Aku (Hafs) berkata kepadanya (Ibnu Umar), Hai paman, (saya berharap) engkau shalat dua rakaat sesudahnya. Ibnu Umar mengatakan : "Kalau aku melakukan shalat sunat sesudahnya, tentu aku melakukan shalat wajibnya sempurna (empat rakaat). Shahih Muslim 694

Ibnu al-Qayyim mengatakan : “Hal itu merupakan bentuk pemahaman Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma yang mendalam. Karena Allah yang Mahasuci lagi Mahatinggi telah memberikan keringanan kepada musafir untuk mengerjakan dua raka’at saja dari shalat empat raka’at. Seandainya disyari’atkan lagi dua raka’at sebelum dan sesudahnya, maka sepatutnya menyempurnakan shalat fardhu yang diqashar. Dan seandainya disyariatkan shalat sunnat sebelum dan sesudahnya maka yang lebih patut dikerjakan adalah menyempurnakan shalat fardhu (tidak mengqasharnya) (Zaadu al-Ma’aad I/316)



3. Tidak Disyari'atkan Sunnat Rawatib Kecuali Shubuh & Sunnat Yang Lain.


Shalat sunnat Rawâtib Subuh termasuk shalat sunnat yang paling ditekankan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukannya dan tidak meninggalkannya, baik saat bepergian ataupun tidak.

Di antara dalil yang menunjukkannya, yaitu hadits Abu Maryam yang berbunyi:




كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَأَسْرَيْنَا لَيْلَةً فَلَمَّا كَانَ فِي وَجْهِ الصُّبْحِ نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَامَ وَنَامَ النَّاسُ فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلَّا بِالشَّمْسِ قَدْ طَلَعَتْ عَلَيْنَا فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤَذِّنَ فَأَذَّنَ ثُمَّ صَلَّى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ

Kami dahulu pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, lalu kami berjalan saat malam hari. Ketika menjelang waktu Subuh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti dan tidur, dan orang-orang pun ikut tidur. Beliau tidak bangun kecuali matahari telah terbit. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan muadzin (untuk beradzan), lalu ia pun mengumandangkan adzan. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka`at sebelum shalat Subuh, kemudian memerintahkan sang muadzin beriqamah, lalu beliau mengimami orang-orang (shalat Subuh).
(HR an-Nasâ-i, kitab al-Mawaqif, Bab: Kaifa Yaqdhi al-Fâit minash-Shalat, no. 605. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan an-Nasâ-i. Syaikh berkata, "Shahîh dengan hadits Abu Hurairah ra)
 
Demikian juga Imam al-Bukhâri telah menyebutkan dalam Shahihnya (Kitab al-Jum'at) memuat secara khusus, yaitu :

بَاب مَنْ تَطَوَّعَ فِي السَّفَرِ فِي غَيْرِ دُبُرِ الصَّلَوَاتِ وَقَبْلَهَا وَرَكَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي السَّفَرِ

(Bab orang yang melakukan shalat tathawu' (sunnah) dalam perjalanan pada selain waktu sesudah dan sebelum shalat fardhu (Rawâtib), dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat dua rakaat al-Fajr dalam safarnya (bepergiannya)
 
Ibnu al-Qayyim berkata,"Di antara petunjuk yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safarnya, yaitu (beliau) mencukupkan diri dengan melaksanakan shalat yang fardhu, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui melakukan shalat Sunnah Rawâtib sebelum dan sesudah shalat fardhu kecuali shalat witir dan Sunnah Rawâtib Subuh, karena beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat itu, baik saat muqîm (tidak sedang bepergian) maupun saat bepergian".(Zâdu al-Ma'ad 1/456)

Hal ini, juga sebagaimana pernyataan 'Aisyah ra:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّه عَنْهُمَا قَالَتْ لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ. أخرجه الشيخان

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma , ia berkata, "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan satu pun shalat Sunnah yang dilakukan secara terus-menerus melebihi dua rakaat (shalat Rawatib) Subuh".(
HR al-Bukhari dan Muslim)

حَدَّثَنَا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ، قَالَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، قَالَ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ، عَنْ نَافِعٍ، قَالَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ ـ رضى الله عنهما ـ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ وَيُوتِرُ عَلَيْهَا، وَيُخْبِرُ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَفْعَلُهُ‏

"...dari Nafi' berkata; Ibnu 'Umar radliallahu 'anhumaa pernah mengerjakan shalat diatas hewan tunggangannya dan juga shalat witir dan dia mengabarkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakannya pula (Shahih Bukhary)

حدثنا حفص بن عمر قال حدثنا شعبة عن عمرو بن مرة عن ابن أبي ليلى قال ما أخبرنا أحد أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم صلى الضحى غير أم هانئ ذكرت أن النبي صلى الله عليه وسلم يوم فتح مكة اغتسل في بيتها فصلى ثماني ركعات فما رأيته صلى صلاة أخف منها غير أنه يتم الركوع والسجود -
فتح الباري بشرح صحيح البخاري-


"... Dari Abi Laily berkata :Tidak ada yang memberi tahu saya  bahwa ia telah melihat Nabi saw melakukan shalat dhuha selain Ummi Haani. Dia menyebutkan bahwa Rasulullah saw  di hari Makkah ditaklukkan. Beliau mandi dirumahnya, kemudian shalat delapan rakaat. Dan aku belum pernah melihat Rasulullah saw melakukan shalat-pun lebih ringan dari ini, meskipun dia melakukan setiap ruku' dan sujud dengan sempurna. (Bukhary lihat Fathu al-Baari)

وقال الليث حدثني يونس عن ابن شهاب قال حدثني عبد الله بن عامر بن ربيعة أن أباه أخبره أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم صلى السبحة بالليل في السفر على ظهر راحلته حيث توجهت به  
"... Abdullah bin Amir bin Rabi'ah telah menceritakan, bahwa bapaknya telah mengkhabarkan sesungguhnya ia pernah melihat Nabi saw pada saat safar shalat malam diatas kendaraannya, kemana saja kendaraan itu menghadap (tanpa menghadap kiblat) Fathu al-Baari



reureuh heula...(bersambung)!