KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Rabu, 25 Maret 2015

KHILAFAH DAN DEMOKRASI



Oleh . DRS.KH.SHIDDIQ AMIEN MBA



Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada tanggal 12 Agustus 2007 menggelar Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta. Konferensi yang diisi dengan orasi-orasi, khususnya dari tokoh-tokoh Hibut Tahrir dalam dan luar negri. Perhelatan itu digelar bertepatan dengan tanggal 28 Rajab 1428 H, yang merupakan tanggal berakhirnya kekhalifahan Islam, dimana pada tanggal tersebut Khilafah Utsmaniyyah dihapuskan oleh penguasa sekuler Turki. Kemal Ataturk, pada tahun 1924. Jargon yang selalu diusung HTI adalah " Khilafah is solution ".


Banyak pihak berasumsi bahwa dengan digelarnya konferensi tersebut, kondisi umat Islam Indonesia akan segera berubah drastis, khilafah akan langsung berdiri, dan syari'at Islam akan segera berlaku di seluruh Indonesia. Tapi tidak sedikit pula pihak yang skeptis dengan ide dan gagasan khilafah dengan membentuk satu kekuasaan politik tunggal bagi seluruh umat Islam di muka bumi. Mereka menilai ide khilafah tersebut adalah sebuah utopia atau ilusi, sebagai sebuah romantisme dan idealisasi sejarah belaka. Mereka mempertanyakan relevansi, kelayakan, dan viability ide tersebut di tengah realitas dunia muslim Indonesia dan internasional saat ini.



Istilah atau sebutan khalifah sudah diberikan pertama kali oleh Allah kepada Nabi Adam as, seperti disebutkan di QS. Al-Baqarah : 30. Lebih populer lagi pasca Nabi Muhammad saw. Dalam hadits yang diriwayatkan imam Al-Bukhari Nabi saw mengisyaratkan bahwa Bani Israel adalah sebuah bangsa yang secara terus menerus dibimbing oleh para nabi, setiap kali seorang nabi wafat Allah mengutus nabi pengganti, tapi sesudah Nabi Muhammad saw tidak akan ada lagi nabi, yang akan ada adalah para khalifah yang jumlahnya banyak. (HR. Ahmad dari Abu Hurairah ra).


Para sejarawan membagi khilafah Islam menjadi empat masa :1) Khulafaur Rasyidin ( 632-661 M ); 2) Khilafah Bani Umayah ( 661-750 M); 3) Khilafah Bani Abasiyah ( 750-1517 M ); dan 4) Khilafah Utsmaniyyah ( 1517-1924 M ). Walhasil Khilafah Islam merupakan fakta sejarah yang pernah bertahan selama 13 abad, dan itu tidak bisa dipungkiri, sebuah usia yang sangat panjang untuk ukuran sebuah negara ideologis, yang wilayah kekuasaannya meliputi lebih dari setengah bagian dunia. Sistem khilafah pernah menjadi sebuah kekuatan besar yang sangat disegani, dan mempersatukan banyak negara dan bangsa dalam satu payung kekuasaan. Memang ada yang menilai bahwa kekhilafahan berakhir dengan wafatnya Nabi saw. Seperti pandangan kaum syi'ah, karena diyakini semua sahabat sepeninggal Nabi saw. murtad, kecuali hanya : Salman Al-Farisi, Al-Mikdad bin Al-Aswad, dan Abu Dzar al-Ghifari. Ada juga yang menyatakan bahwa kekhalifahan berakhir sampai khulafaur Rasyidin yang empat, karena selebihnya tidak dipilih berdasar syura, tapi lebih mirip kerajaan (monarkhi) yang turun temurun. Ada juga yang menilai kekhilafahan berakhir dengan jatuhnya khilafah Bani Abasiyah, karena setelah itu khilafah tidak lagi di tangan Bangsa Quresy.


Gagasan untuk menghidupkan kembali sistem khilafah nampaknya tidak pernah padam. Jamaluddin Al-Afghani pernah mengusung ide khilafah (politik) di Istambul dan khilafah (keagamaan) di Makkah. Demikian juga para pemikir Islam lainnya seprti Abdurahman Al-Kawakibi ( Suriah ), Abul 'Ala Al-Maududi ( Pakistan ), Taqi al-Din Al-Nabhani ( Palestina ) pendiri Hizbut Tahrir, dsb.



Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang merupakan gabungan dari dua kata : yaitu Demos yang artinya rakyat, dan kratos yang berarti pemerintahan. Jadi demokrasi bermakna pemerintahan atau kekuatan rakyat ( power or strength of the people ). Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, yang dijalankan oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat ( goverment of the people, by the people, and for the people ). DR. Abdul Wahab Al-Kiyali menyebutkan bahwa negara demokrasi berdiri di atas satu dasar pemikiran, yaitu bahwa kekuasaan kembali kepada rakyat, dan rakyatlah yang berdaulat. ( Mausu'atus siyasah II:756). DR. Hamid Mutawali menjelaskan : Demokrasi adalah perundang-undangan yang dibangun di atas prinsip kedaulatan rakyat, sedangkan kedaulatan sesuai dengan pengertiannya adalah kekuasaan tertinggi yang tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya ( Tandimatul Hukmi Fid Dualin Namiyyah, 1985). Dalam konsep Demokrasi, dinyatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox Dei).



Abu A'la Al-Maududi membedakan antara " Kedaulatan Rakyat " dalam konsep demokrasi Barat ( western democracy ) dengan " Khilafah Rakyat " dalam konsep Islam. Dalam konsep Kedaulatan Rakyat, rakyat berdaulat atas segala-galanya dan menjadi tujuan akhir yang tertinggi, sedangkan Khilafah Rakyat berarti kedaulatan milik Allah, rakyat adalah khalifah yang dituntut melaksanakan ketentuan dan kemauan Allah. Pemerintah dan rakyat bersama-sama memenuhi kehendak dan tujuan Allah.


Konsep demokrasi menghendaki rakyatlah yang membuat undang-undang, menurut kemauannya masing-masing. Rakyat bebas sebebas-bebasnya menjalankan kehendaknya dan menentukan garis hidupnya. Pemerintah hanya berkewajiban untuk memenuhi apa yang dikehendaki rakyatnya. Dalam konsep Islam, menurut Maududi, rakyat menaati undang-undang yang telah digariskan oleh Allah lewat syari'at-Nya yang sempurna, potensi kreatif dan kebebasan melahirkan undang-undang tetap diakui, namun harus merujuk pada ketentuan-ketentuan universal syari'at. Dengan kata lain, Sumber Hukum dalam sistem demokrasi adalah Undang-Undang Dasar (UUD) yang dibuat oleh rakyat, sementara dalam sistem khilafah sumber hukum adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dari segi Azas, demokrasi azasnya adalah sekularisme ( pemisahan agama dari kehidupan publik ), sedang dalam sistem khilafah asasnya adalah akidah Islamiyyah yang mewajibkan menerapkan syariat Islam dalam segala bidang kehidupan. Disinilah letak perbedaannya, suara rakyat dalam demokrasi adalah absolut, sedangkan dalam sistem khilafah yang absolut adalah suara dan kemauan Allah, Konsekwensinya, menurut HAR. Gibb dalam Modern Trends in Islam, Vox Populi (Suara Rakyat) dalam pandangan Islam harus tunduk pada Vox Dei ( Suara Tuhan ) dan Vox Propethei ( Kemauan Nabi ).



Pihak-pihak yang tidak setuju dengan sistem khilafah sering berargumen dengan fakta sejarah, bahkan fragmentasi sejarah kekhilafahan, yang memang diwarnai dengan deviasi atau penyimpangan dari tuntunan syari'at, dengan terjadinya pembunuhan, perebutan kekuasan dengan pertumpahan darah. Atau mereka mengukur sistem khilafah dengan sistem demokrasi Barat. Sementara dalam realitanya sistem demokrasi yang konon mengharuskan penggunaan cara-cara damai ( non violence ) dan menjunjung tinggi HAM mengalami banyak sekali deviasi. Apa yang dilakukan AS dan sekutunya di Irak menghapus rezim otoriter dan mengakkan demokrasi tapi dengan cara barbar dan biadab, Kemenangan FIS di Aljazair dan Hamas di Palestina yang menang secara mutlak dengan cara demokratis tapi kemudian tidak diakui, merupakan secuil contoh dari penyimpangan itu. Dari dua contoh kasus terakhir ini, nampak menjadi antagonistik, ketika mayoritas rakyat menghendaki penerapan syariat Islam, justru Negara-negara pengasong demokrasi yang keras menentangnya. Kalangan cendekiawan Muslim seperti Prof. Abdullah Ahmad Na'im asal Sudan dalam karyanya : Towards an Islamic Reformation menolak intervensi Negara dalam penerapan syari'at Islam, karena hal itu dinilai bertentangan dengan sifat dan tujuan syariat itu sendiri yang hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya. Syaria'h kata Na'im akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya bila diterapkan melalui Negara. Ia menekankan perlunya netralitas Negara terhadap agama dan pemisahan kelembagaan antara Islam dengan Negara. Pemikiran Na'im ini menjadi aneh, sebab beberapa perangkat hukum dalam syariat Islam meniscayakan campur tangan Negara, untuk mencegah terjadinya kekacauan. Dalam pelaksanaan hukum kriminal, pengaturan ekonomi, pernikahan, warits, dan sebagainya rasanya sulit membayangkan Negara untuk tetap netral. Di Indonesia saja urusan pernikahan, zakat, haji, wakaf, dan sebagainya telah melibatkan campur tangan Negara, dan itu berjalan biasa-biasa saja. Banyak cendekiawan yang menolak sistem yang ditawarkan Islam dengan merelatiftak syari'ah sebagai produk fikiran manusia terhadap al-Qur'an dan as-Sunnah yang tidak bisa lepas dari pengaruh ruang dan waktu, konteks historis, sosial, dan politik penafsirnya. Tapi dalam waktu yang bersamaan mereka malah mengabsolutkan dan mengidealkan HAM dan Demokrasi yang jelas-jelas itu produk pikiran manusia yang dipengaruhi oleh setting sosial-politik dan kerangka filosofis sekuler para Pencetusnya ? Wallahu A'lam bis showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar