KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Sabtu, 21 Maret 2015

MENIKAHKAN WANITA HAMIL


Oleh : KH.Ikin Sodikin


Manusia adalah makhluk ijtima’i yang palingbanyak keperluannya, diantaranya ialah keperluan biologis pada lain jenis.

Oleh karenanya, agar tidak timbul hal yang tidak diharapkan, masalah ini telah diatur oleh syar’i sejak manusia pertama.

Namun demikian, dalam diri manusia ada sifat israf, diantaranya dalam masalah “NIKAH”.

Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Siti Aisyah r.a., istri Nabi saw. : “Pernikahan pada masa jahiliyyah itu ada empat macam ;

Pertama : pernikahan sebagaimana yang berlaku sekarang, seseorang datang kepada wali wanita kemudia melamar, dan jika lamarannya diterima lantas ia menikahinya.

Kedua : seorang suami berkata kepada istrinya apabila bersih dari haidl-:”Pergilah kepada si fulan dan lakukanlah “Istibdla” dengannya. Maka sejak itu suaminya tidak melakukan hubungan badan sampai telah jelas bahwa istrinya itu hamil dari hasil hubungan badan dengan orang yang disebutkan tadi. Hal ini dilakukan oleh mereka karena diharapkan adanya keturunan dari laki-laki itu.

Ketiga : beberapa orang, kurang dari sepuluh orang bersebadan dengan seorang wanita. Apabila ia hamil kemudian melahirkan. Maka setelah beberapa hari dari kelahiran, ia mengutus kepada semua laki-laki yang berhubungan dengannya, mereka tidak ada yang menolak untuk datang. Kemudian panitia tersebut berkata: “kalian telah tahu akibat dari perbuatan kalian terhadapku, dan aku telah melahirkan.” Kemudian ia menunjuk salah seorang dari mereka sambil berkata:”ini adalah anakmu”. Sejak itu ia hubungkan anak itu dengan laki-laki tersebut.

Keempat : seseorang perempuan menerima semua laki-laki yang datang kepadanya sampai hamil dan melahirkan. Mereka itu adalah para pezina.

Maka tatkala Allah mengutus Muhammad saw. membawa haq, Ia musnahkan semua acara nikah jahiliyyah dan berlakulah cara pernikahan yang berlaku sekarang ini (syara’)”. H.r. Bukhari, Abu Daud : Nailul Authar, VI :300.

Sehubungan dengan penjelasan di atas, Rasulullah saw. menyatakan :

فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

 “…, maka siapa yang tidak menyenangi sunnahku, dia bukanlah dari golonganku”. H.r.Muttafaq Alaih, Nailul Authar, VI : 225.

Pengertian sunnah tentu dalam segala bentuk kaifiyyah kehidupan termasuk masalah NIKAH dengan permasalahannya. Sehubungan dengan itu baiklah kita perhatikan beberapa masalah yang ada hubungannya dengan masalah yang akan kita bahas bersama.

YANG HARAM DINIKAHI ATAU DINIKAHKAN.

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًاوَسَاءَ سَبِيلًا . حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُنِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

dan janganlah kamu nikahi perempuan yang telah dinikahi oleh bapak-bapakmu, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya cara”. Dan diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu perempuan, saudara-saudaramu perempuan, saudara-saudara bapakmu  perempuan, anak-anak ibumu perempuan, anak-anak perempuan dari saudara perempuan, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu, maka kamu tidak berdosa  menikahinya (dan diharamkan bagimu)Istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lalu, sesungguhnya Allah Maha pengampuan lagi Maha Penyayang”. Q.s. an-Nisa : 23.

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِإِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Dan(diharamkan menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamumiliki (tawanan)”. Q.s. an-Nisa : 24.

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُوإِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita muslim) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang yang musyrik walaupun mereka menarik hatimu.” Q.s. al-Baqarah : 221.

HUKUM MENIKAHKAN DAN MENIKAHI YANG HARAM.

Menikahi atau menikahkan yang haram hukumnya adalah haram. Jika telah terlamjur karena ketidak tahuan, maka mereka tetap harus berpisah setelah ada yang memberi tahu kepada mereka. Jika mereka memaksakan kelangsungan rumah tangganya, maka hukumnya adalah ZINA. Sehubungan dengan hal tersebut, pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw.

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الحَارِثِ،أَنَّهُ تَزَوَّجَ ابْنَةً لِأَبِي إِهَابِ بْنِ عُزَيْزٍ فَأَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ:إِنِّي قَدْ أَرْضَعْتُ عُقْبَةَ وَالَّتِي تَزَوَّجَ، فَقَالَ لَهَا عُقْبَةُ: مَاأَعْلَمُ أَنَّكِ أَرْضَعْتِنِي، وَلاَ أَخْبَرْتِنِي، فَرَكِبَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كَيْفَ وَقَدْ قِيلَ» فَفَارَقَهَا عُقْبَةُ، وَنَكَحَت ْزَوْجًا غَيْرَهُ

“Dari ‘Uqbah bin Al-Harits r.a., bahwasannya ia menikahi anak perempuan Abi Ihab bin Aziz, kemudianseorang perempuan mendatanginya lantas berkata: “Sungguh aku pernah menyusui ‘Uqbah dan perempuan yang dinikahinya”. ‘Uqbah berkata kepadanya: “Aku tidak tahu bahwa engkau pernah menyusuiku dan (kenapa) engkau tidak memberitahuku”. Kemudian ia pergi menemui Rasulullah saw. di Madinah, lantas bertanya kepada beliau. Maka Rasulullah saw. menjawab: “Bagaimana padahal hal ini telah dikatakan”.Kemudian ‘Uqbah bercerai dengannya, dan perempuan itu menikah lagi dengan laki-laki lainnya. H.r. al-Bukhari. Fathul Bari, I : 184

Lebih tegas lagi dalam alquran diungkapkan :

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Janganlah kamu mendekatizina, sungguh hal itu sangat keji dan sejelek-jeleknya cara”. Q.s. Bani Israil: 32.

Iamam Ar-Raghib menyatakan dalam kitabnya :

الزِّنَاءُ: وطء المرأة من غيرعقد شرعيّ
“Zina ituialah bersebadan (nikah) dengan perempuan tanpa melalui ‘aqad syara’”.

Sehubungan dengan hal tersebut Rasulullah saw.menyatakan :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: أَنْ يُرْفَعَ العِلْمُ وَيَثْبُتَ الجَهْلُ، وَيُشْرَبَ الخَمْرُ، وَيَظْهَرَالزِّنَا "

“dari Anas r.a., Rasulullah saw. bersabda: ”Sesungguhnya diantara tanda-tanda kiamat itu ialah; diangkatnya ilmu, tersebarnya kebodohan diminumnya (secara terang-terangan) khamer dan tersebarnya zina”. H.r. Bukhari, Fathul Bari, I : 178.

Sehubungan dengan pernyataan Rasulullah saw., Allah mengingatkan hamba-hambanya :

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّازَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ

“Dan laki-laki pezina tidak layak kawin kecuali dengan perempuan-perempuan pezina atau musyrikah, dan perempuan-perempuan pezina pun tidak layak kawin kecuali dengan laki-laki pezina atau musyrik”. Q.s. A.-Nur :3.

Sehubungan dengan ayat di atas, Mujahid dan ‘Atha menjelaskan: “Para Muhajir datang ke Madinah, mereka umumnya adalah orang-orang faqir, tidak mempunyai harta atau keluarga. Sedangkan pada masa itu di Madinah ada perempuan-perempuan kotor yang menyewakan dirinya dan keadaan mereka termasuk orang yang subur dalam kehidupannya. Pada setiap rumahnya ada tanda-tanda tertentu untuk memberi tahu perihal mereka. Sedangkan yang masuk kerumah mereka hanyalah para pezina atau orang musyrik. Ternyata hal  tersebut menjadi daya tarik para puqara muslim muhajir, mereka berkata: ”Kami akan menikahi mereka sampai Allah memberi kecukupan kepada kami sebab menikahi mereka”, kemudian meminta idzin kepada Rasulullah, maka turunlah ayat tersebut”. Al-Maraghi, XVIII : 70.

Pada ayat tersebut jelaslah, bahwa pezina itu tidak layak nikah kecuali dengan sejenis dengannya. Hal itu sesuai dengan ungkapan :“Bahwasannya burung-burung itu akan hinggap sesuai dengan jenisnya”

Namun demikian, akan timbul pertanyaan bagaimana jika mereka itu taubat, sebagaimana taubatnya orang musyrik.

Tentu saja mereka itu tidak termasuk “Azzani atau azzaniyatu” lagi sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadis;

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.. أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ، وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌمِنْ أَصْحَابِهِ: «بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا، وَلاَتَسْرِقُوا، وَلاَ تَزْنُوا، وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ ، وَلاَ تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ، وَلاَ تَعْصُوا فِي مَعْرُوفٍ، فَمَنْوَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ، إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ»فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِكَ

“Dari ‘Uqbah bin Shamit, bahwa rasulullah saw. bersabda -dan disekelilingnya ada kelompok para sahabat-“Berbaia’tlah kamu kepadaku bahwa kamu tidak akan menyekutukan sesuatu dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak kamu, tidak akan menyebarkan kabar bohong yang diada-adakan diantara kamu, tidak akan maksiat dalam kebaikan. Maka siapa yang menyempurnakan hal itu, maka ganjarannya terserah kepada Allah. Dan diapa yang melakukan sesuatu dari hal itu, kemudian iadi siksa di dunia, maka hal itu sebagai kaffarah baginya. Dan siapa yang melakukan sesuatu dari hal itu kemudian Allah menutupnya, maka hal itu terserah kepada-Nya, jika ia mau akan menyiksanya dan jika Ia mau akan mengampuninya”. Kemudian kami berbai’at kepadanya atas hal itu. FathulBari, I : 64.

Pelaku zina, telah dimaklumi, ada kemungkinan mereka itu telah menikah, menjadi suami atau istri dan ada juga yang belum pernah menikah.

Berdasarkan ketentuan syara’ mereka harus dikenai hukum had. Namun pada satu saat, hukum itu tidak berlaku (kena) kepada mereka. Mungkin karena ia berada di negara yang tidak memberlakukan hukum Islam, atau karena mereka itu tidak tertangkap tangan. Hal ini sebagaimana dalam hadits diatas, jika Allah menghendaki akan menyiksa atau mengampuninya.

HUKUM MENIKAHKAN ATAU MENIKAHI YANG HAMIL.

Terjadi hamil itu ada dua kemungkinan, karena pernikahan yang dibenarkan oleh syara’dan karena perbuatan zina.

Bagi perempuan yang hamil karena pernikahan, kemudian dicerai atau suaminya wafat, hal ini sudah tidak diragukan lagi hukumnya adalah haram.

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

“Dan perempuan-perempuanyang hamil masa ‘idahnya itu ialah apabila mereka melahirkan”. Q.s. at-Thalaq :4.

Sehubungan dengan ayat di atas, ada dua masalah, pertama karena ada dalam masa i‘ddah dan yang kedua adalah menyiram tanaman orang lain.

Namun akan timbul pertanyaan, bagaimana jika terjadi “Mushibat”,A Seorang perempuan yang hamil karena perbuatan B. Apakah mereka boleh dinikahkan dalam keadaan hamil.?

Kejadian ini berbeda dengan perempuan yang hamil karena pernikahan kemudian suaminya meninggal atau menceraikannya.

Perempuan, A tersebut tidak dalam keadaan ‘iddah dan B tidak menyiram tanaman orang lain.

Dalam satu riwayat diterangkan, bahwa pada zaman Umar bin Khatab seorang yang bernama Siba’ bin Tsabit menikahi seorang perempuan yang bernama Binti Mauhib bin Rabbah; kedua orang tersebut telah mempunyai anak, Siba’ membawa anak laki-laki dan binti Mauhib membawa anak perempuan.

Mungkin karena terlalu dekat, terjadilah apa yang tidak diharapkan, anak perempuannya itu hamil. Kemudian dibawa kepada Umar bin Khatab dan beliau melaksanakan hukuman atas mereka, masing-masing seratus kali deraan.

Umar bin Khatab dalam masalah ini tidak menutup ke’aiban, tetapi dengan tegas beliau menjalankan undang-undang Islam.

Oleh karenanya, sungguh tidak adil apabila perbuatan Umar itu hanya ditiru dalam hal menyeru kawinnya saja, tapi tidak dituntut kesalahannya.

Meskipun kita berada dalam negara yang tidak memberlakukan hukum Islam, adalah selayaknya bila perbuatan semacam itu mendapat imbalannya, agar perbuatan semacam itu tidak terulangi.

Dalam Qa’idah dinyatakan :

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Menolak kerusakan didahulukan daripada menarik kemaslahatan”.

Dalam arti meskipun pernikahannya itu SAH, namun sebaiknya ditangguhkan sampai perempuan tersebut melahirkan.

Mengamankan desa adalah diutamakan daripada membangunnya, memperbaiki bocornya sebuah kapal hendaklah diutamakan daripada merencanakan perjalannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar