Oleh : KH.Ikin Sodikin
Manusia adalah makhluk ijtima’i yang
palingbanyak keperluannya, diantaranya ialah keperluan biologis pada lain
jenis.
Oleh karenanya, agar tidak timbul hal yang
tidak diharapkan, masalah ini telah diatur oleh syar’i sejak manusia pertama.
Namun demikian, dalam diri manusia ada sifat
israf, diantaranya dalam masalah “NIKAH”.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Siti
Aisyah r.a., istri Nabi saw. : “Pernikahan pada masa jahiliyyah itu ada empat macam
;
Pertama : pernikahan sebagaimana yang
berlaku sekarang, seseorang datang kepada wali wanita kemudia melamar, dan
jika lamarannya diterima lantas ia menikahinya.
Kedua : seorang suami berkata kepada
istrinya apabila bersih dari haidl-:”Pergilah kepada si fulan dan lakukanlah
“Istibdla” dengannya. Maka sejak itu suaminya tidak melakukan hubungan badan
sampai telah jelas bahwa istrinya itu hamil dari hasil hubungan badan dengan
orang yang disebutkan tadi. Hal ini dilakukan oleh mereka karena diharapkan adanya keturunan
dari laki-laki itu.
Ketiga : beberapa orang, kurang dari
sepuluh orang bersebadan dengan seorang wanita. Apabila ia hamil kemudian
melahirkan. Maka setelah beberapa hari dari kelahiran, ia mengutus kepada semua
laki-laki yang berhubungan dengannya, mereka tidak ada yang menolak untuk
datang. Kemudian panitia tersebut berkata: “kalian telah tahu akibat dari
perbuatan kalian terhadapku, dan aku telah melahirkan.” Kemudian ia menunjuk
salah seorang dari mereka sambil berkata:”ini adalah anakmu”. Sejak itu ia
hubungkan anak itu dengan laki-laki tersebut.
Keempat : seseorang perempuan menerima
semua laki-laki yang datang kepadanya sampai hamil dan melahirkan. Mereka itu
adalah para pezina.
Maka tatkala Allah mengutus Muhammad saw.
membawa haq, Ia musnahkan semua acara nikah jahiliyyah dan berlakulah cara
pernikahan yang berlaku sekarang ini (syara’)”. H.r. Bukhari, Abu Daud : Nailul
Authar, VI :300.
Sehubungan dengan penjelasan di atas,
Rasulullah saw. menyatakan :
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“…, maka siapa yang tidak menyenangi
sunnahku, dia bukanlah dari golonganku”. H.r.Muttafaq Alaih, Nailul Authar, VI
: 225.
Pengertian sunnah tentu dalam segala
bentuk kaifiyyah kehidupan termasuk masalah NIKAH dengan permasalahannya.
Sehubungan dengan itu baiklah kita perhatikan beberapa masalah yang ada
hubungannya dengan masalah yang akan kita bahas bersama.
YANG HARAM DINIKAHI ATAU DINIKAHKAN.
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًاوَسَاءَ
سَبِيلًا . حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ
الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ
الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُنِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“dan
janganlah kamu nikahi perempuan yang telah dinikahi oleh bapak-bapakmu, kecuali
yang telah terjadi pada masa lalu. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci Allah dan seburuk-buruknya cara”. Dan diharamkan atas kamu (menikahi)
ibu-ibumu, anak-anakmu perempuan, saudara-saudaramu perempuan, saudara-saudara
bapakmu perempuan, anak-anak ibumu perempuan, anak-anak perempuan dari
saudara perempuan, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki, ibu-ibumu yang menyusui kamu,
saudara-saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak
istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tapi jika
kamu belum bercampur dengan istrimu itu, maka kamu tidak berdosa
menikahinya (dan diharamkan bagimu)Istri-istri anak kandungmu (menantu), dan
menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
terjadi pada masa lalu, sesungguhnya Allah Maha pengampuan lagi Maha Penyayang”.
Q.s. an-Nisa : 23.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِإِلَّا مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Dan(diharamkan menikahi) perempuan
yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamumiliki (tawanan)”. Q.s. an-Nisa :
24.
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى
يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ
أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ
مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى
النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُوإِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ
وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita muslim) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang yang musyrik walaupun
mereka menarik hatimu.” Q.s. al-Baqarah : 221.
HUKUM MENIKAHKAN DAN MENIKAHI YANG HARAM.
Menikahi atau menikahkan yang haram
hukumnya adalah haram. Jika telah terlamjur karena ketidak tahuan, maka mereka
tetap harus berpisah setelah ada yang memberi tahu kepada mereka. Jika mereka
memaksakan kelangsungan rumah tangganya, maka hukumnya adalah ZINA. Sehubungan
dengan hal tersebut, pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الحَارِثِ،أَنَّهُ
تَزَوَّجَ ابْنَةً لِأَبِي إِهَابِ بْنِ عُزَيْزٍ فَأَتَتْهُ امْرَأَةٌ
فَقَالَتْ:إِنِّي قَدْ أَرْضَعْتُ عُقْبَةَ وَالَّتِي تَزَوَّجَ، فَقَالَ لَهَا
عُقْبَةُ: مَاأَعْلَمُ أَنَّكِ أَرْضَعْتِنِي، وَلاَ أَخْبَرْتِنِي، فَرَكِبَ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ فَسَأَلَهُ،
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كَيْفَ وَقَدْ قِيلَ»
فَفَارَقَهَا عُقْبَةُ، وَنَكَحَت ْزَوْجًا غَيْرَهُ
“Dari
‘Uqbah bin Al-Harits r.a., bahwasannya ia menikahi anak perempuan Abi Ihab bin
Aziz, kemudianseorang perempuan mendatanginya lantas berkata: “Sungguh aku
pernah menyusui ‘Uqbah dan perempuan yang dinikahinya”. ‘Uqbah berkata
kepadanya: “Aku tidak tahu bahwa engkau pernah menyusuiku dan (kenapa) engkau
tidak memberitahuku”. Kemudian ia pergi menemui Rasulullah saw. di Madinah,
lantas bertanya kepada beliau. Maka Rasulullah saw. menjawab: “Bagaimana padahal
hal ini telah dikatakan”.Kemudian ‘Uqbah bercerai dengannya, dan
perempuan itu menikah lagi dengan laki-laki lainnya. H.r. al-Bukhari. Fathul
Bari, I : 184
Lebih tegas lagi dalam alquran diungkapkan :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ
فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Janganlah kamu mendekatizina, sungguh
hal itu sangat keji dan sejelek-jeleknya cara”. Q.s. Bani Israil: 32.
Iamam Ar-Raghib menyatakan dalam kitabnya :
الزِّنَاءُ: وطء المرأة من غيرعقد شرعيّ
“Zina ituialah bersebadan (nikah)
dengan perempuan tanpa melalui ‘aqad syara’”.
Sehubungan dengan hal tersebut Rasulullah
saw.menyatakan :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ:قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ:
أَنْ يُرْفَعَ العِلْمُ وَيَثْبُتَ الجَهْلُ، وَيُشْرَبَ الخَمْرُ،
وَيَظْهَرَالزِّنَا "
“dari Anas r.a., Rasulullah saw.
bersabda: ”Sesungguhnya diantara tanda-tanda kiamat itu ialah; diangkatnya
ilmu, tersebarnya kebodohan diminumnya (secara terang-terangan) khamer
dan tersebarnya zina”. H.r. Bukhari, Fathul Bari, I : 178.
Sehubungan dengan pernyataan Rasulullah
saw., Allah mengingatkan hamba-hambanya :
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّازَانِيَةً أَوْ
مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ
“Dan laki-laki pezina tidak layak kawin
kecuali dengan perempuan-perempuan pezina atau musyrikah, dan perempuan-perempuan
pezina pun tidak layak kawin kecuali dengan laki-laki pezina atau musyrik”. Q.s.
A.-Nur :3.
Sehubungan dengan ayat di atas, Mujahid dan
‘Atha menjelaskan: “Para Muhajir datang ke Madinah, mereka umumnya adalah
orang-orang faqir, tidak mempunyai harta atau keluarga. Sedangkan pada masa itu
di Madinah ada perempuan-perempuan kotor yang menyewakan dirinya dan keadaan
mereka termasuk orang yang subur dalam kehidupannya. Pada setiap rumahnya
ada tanda-tanda tertentu untuk memberi tahu perihal mereka. Sedangkan yang
masuk kerumah mereka hanyalah para pezina atau orang musyrik. Ternyata hal
tersebut menjadi daya tarik para puqara muslim muhajir, mereka berkata: ”Kami
akan menikahi mereka sampai Allah memberi kecukupan kepada kami sebab menikahi
mereka”, kemudian meminta idzin kepada Rasulullah, maka turunlah ayat tersebut”.
Al-Maraghi, XVIII : 70.
Pada ayat tersebut jelaslah, bahwa pezina
itu tidak layak nikah kecuali dengan sejenis dengannya. Hal itu sesuai
dengan ungkapan :“Bahwasannya burung-burung itu akan hinggap sesuai dengan
jenisnya”
Namun demikian, akan timbul pertanyaan
bagaimana jika mereka itu taubat, sebagaimana taubatnya orang musyrik.
Tentu saja mereka itu tidak termasuk “Azzani
atau azzaniyatu” lagi sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadis;
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ.. أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ،
وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌمِنْ أَصْحَابِهِ: «بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوا
بِاللَّهِ شَيْئًا، وَلاَتَسْرِقُوا، وَلاَ تَزْنُوا، وَلاَ تَقْتُلُوا
أَوْلاَدَكُمْ ، وَلاَ تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ
وَأَرْجُلِكُمْ، وَلاَ تَعْصُوا فِي مَعْرُوفٍ، فَمَنْوَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ
عَلَى اللَّهِ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا
فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ
اللَّهُ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ، إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ
عَاقَبَهُ»فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِكَ
“Dari ‘Uqbah bin Shamit,
bahwa rasulullah saw. bersabda -dan disekelilingnya ada kelompok para
sahabat-“Berbaia’tlah kamu kepadaku bahwa kamu tidak akan menyekutukan sesuatu
dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh
anak-anak kamu, tidak akan menyebarkan kabar bohong yang diada-adakan diantara
kamu, tidak akan maksiat dalam kebaikan. Maka siapa yang menyempurnakan hal itu,
maka ganjarannya terserah kepada Allah. Dan diapa yang melakukan sesuatu dari
hal itu, kemudian iadi siksa di dunia, maka hal itu sebagai kaffarah baginya.
Dan siapa yang melakukan sesuatu dari hal itu kemudian Allah menutupnya, maka
hal itu terserah kepada-Nya, jika ia mau akan menyiksanya dan jika Ia mau akan
mengampuninya”. Kemudian kami berbai’at kepadanya atas hal itu. FathulBari, I :
64.
Pelaku zina, telah dimaklumi, ada
kemungkinan mereka itu telah menikah, menjadi suami atau istri dan ada juga yang
belum pernah menikah.
Berdasarkan ketentuan syara’ mereka harus
dikenai hukum had. Namun pada satu saat, hukum itu tidak berlaku (kena) kepada
mereka. Mungkin karena ia berada di negara yang tidak memberlakukan hukum Islam,
atau karena mereka itu tidak tertangkap tangan. Hal ini sebagaimana dalam hadits
diatas, jika Allah menghendaki akan menyiksa atau mengampuninya.
HUKUM MENIKAHKAN ATAU MENIKAHI YANG HAMIL.
Terjadi hamil itu ada dua kemungkinan, karena
pernikahan yang dibenarkan oleh syara’dan karena perbuatan zina.
Bagi perempuan yang hamil karena pernikahan,
kemudian dicerai atau suaminya wafat, hal ini sudah tidak diragukan lagi
hukumnya adalah haram.
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan perempuan-perempuanyang hamil masa
‘idahnya itu ialah apabila mereka melahirkan”. Q.s. at-Thalaq :4.
Sehubungan dengan ayat di atas, ada dua
masalah, pertama karena ada dalam masa i‘ddah dan yang kedua adalah menyiram
tanaman orang lain.
Namun akan timbul pertanyaan, bagaimana
jika terjadi “Mushibat”,A Seorang perempuan yang hamil karena perbuatan B. Apakah
mereka boleh dinikahkan dalam keadaan hamil.?
Kejadian ini berbeda dengan perempuan yang
hamil karena pernikahan kemudian suaminya meninggal atau menceraikannya.
Perempuan, A tersebut tidak dalam keadaan
‘iddah dan B tidak menyiram tanaman orang lain.
Dalam satu riwayat diterangkan, bahwa pada
zaman Umar bin Khatab seorang yang bernama Siba’ bin Tsabit menikahi seorang
perempuan yang bernama Binti Mauhib bin Rabbah; kedua orang tersebut telah
mempunyai anak, Siba’ membawa anak laki-laki dan binti Mauhib membawa anak
perempuan.
Mungkin karena terlalu dekat, terjadilah apa
yang tidak diharapkan, anak perempuannya itu hamil. Kemudian dibawa kepada Umar
bin Khatab dan beliau melaksanakan hukuman atas mereka, masing-masing seratus
kali deraan.
Umar bin Khatab dalam masalah ini tidak
menutup ke’aiban, tetapi dengan tegas beliau menjalankan undang-undang Islam.
Oleh karenanya, sungguh tidak adil apabila
perbuatan Umar itu hanya ditiru dalam hal menyeru kawinnya saja, tapi tidak
dituntut kesalahannya.
Meskipun kita berada dalam negara yang
tidak memberlakukan hukum Islam, adalah selayaknya bila perbuatan semacam
itu mendapat imbalannya, agar perbuatan semacam itu tidak terulangi.
Dalam Qa’idah dinyatakan :
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak kerusakan didahulukan daripada
menarik kemaslahatan”.
Dalam arti meskipun pernikahannya itu SAH,
namun sebaiknya ditangguhkan sampai perempuan tersebut melahirkan.
Mengamankan desa adalah diutamakan
daripada membangunnya, memperbaiki bocornya sebuah kapal hendaklah diutamakan
daripada merencanakan perjalannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar