KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Sabtu, 28 Maret 2015

MENSYARATKAN TIDAK DIMADU



Tanya  : Assalamu'alaikum ... ustadz Abu Alifa ... saya baru di khitbah oleh seorang pria yang menurut saya calon itu memenuhi syarat terutama saya ketahui bahwa calon itu seorang yang suka menyampakai kajian (mubaligh). Akan tetapi sebagai seorang wanita (entahlah yang lain), saya tidak bersedia jika seandainya nanti, saya mempunyai "madu". Hal ini bukan saya tidak tahu bahwa suami dibenarkan lebih dari satu istri. Yang ingin saya ketahui, bagaimana pandangan ustadz jika saya berbicara melalui orang tua untuk disampaikan kepada calon suami saya, bahwa salah satu syarat menikahi saya tidak diperkenankan suami menikah lagi selama saya masih ada. Apakah hal tersebut dibenarkan? PS 

Jawab : Wa'alaikumussalam ... Ukhty PS, jangan berkesimpulan bahwa mubaligh senantiasa melakukan "taaddud" (bersitri lebih dari satu), sebab taaddud (poligami) itu dikaitkan dengan kemampuan yang akan melaksanakannya. Sekalipun dorongan melaksanakan poligami antara satu dengan yang lain berbeda.

Mengenai hal yang ditanyakan, ada dua pendapat dikalangan para ulama. Pendapat pertama membolehkan seorang calon istri mensyaratkan hal itu, dan kalau suami nanti melanggarnya maka si istri berhak menuntut fasakh pernikahannya (nikahnya batal) dan ia berhak menuntut dipenuhi semua haknya.  Diantara yang berpendapat bolehnya mensyaratkan adalah para fuqaha dikalangan madzhab Hambali seperti misalnya Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Utsaimin, dll. Pendapat ini dipegang juga oleh sebagian shahabat diantaranya Umar bin Al-Khaththab, Abdullah bin Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqash, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ‘Amr bin Al-‘Ash. Dari kalangan tabi’in: Syuraih Al-Qadhi, Umar bin Abdul Aziz, Al-Laits bin Sa’d, Thawus, Az-Zuhri, Al-Auza’I, serta Sa’id bin Jubair.

Sedangkan pendapat kedua tidak membolehkan seorang wanita atau keluarganya menetapkan syarat dalam aqad nikah agar si wanita tidak dipoligami/dimadu. Diantara para ulama yang berpendapat seperti ini adalah para fuqaha dari kalangan Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Pendapat ini dinisbatkan juga kepada Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas serta sebagian fuqaha Tabi’in semisal Sa’id bin Al-Musayyib (Musayyab?), ‘Atha, Asy-Sya’bi, Ats-Tsauri, Al-Hasan Al-Bashri serta Ibrahim An-Nakha’i.Tidak ketinggalan Ibnu Hazm sebagai wakil dari kalangan madzhab Zhahiri ikut berbaris di sini.

Hemat kami syarat perempuan atau dari walinya yang tidak mau dimadu diboleh. Artinya (calon) Istri atau melalui walinya berhak dan boleh meletakkan syarat atas (calon) suami agar tidak dimadu alias suami tidak berpoligami, syarat seperti ini sah, tidak bertentangan dengan dibolehkannya atau disyariatkannya poligami, karena syarat ini hanya membatasi bukan melarang, suami tetap boleh menikah lagi dengan wanita kedua atau ketiga, tetapi karena istri pertama tidak mau, maka dia harus melepasnya, silakan suami menerima atau tidak, kalau suami menerima maka dia harus memegang syarat tersebut, kalau tidak menerima maka seorang laki-laki bisa beralih untuk meminang wanita yang lain.



 عن عقبة بن عامر رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم { إن أحق الشروط أن توفوا به : ما استحللتم به الفروج }

Dari Uqbah bin Amir radhiuallahu anhu berkata. Bersabda Rasulullah saw.  Syarat-syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah syarat yang menghalalkan kemaluan (dalam pernikahan)  (Bukhari: 2721 dan Muslim: 1418)

Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata: “Jika seorang istri memberikan syarat agar tidak dibawa keluar dari rumahnya atau dibawa keluar negeri atau ditinggal jauh atau melakukan poligami, maka suami harus memenuhinya, dan jika ia tidak memenuhinya maka istri berhak untuk memutus ikatan pernikahannya, pendapat ini diriwayatkan dari Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Amr bin ‘Ash –radhiyallahu ‘anhum-. (Al Mughni: 9/483) Allohu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar