KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Selasa, 14 April 2015

TA'ADDUD ZAWAJ (POLIGAMI) DALAM TINJAUAN SYARI'AT


Oleh : Abu Alifa Shihab


وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisaa: 3)

1. Pendahuluan

Ta'addud zawaj atau poligami merupakan problem sosial klasik yang selalu menarik diperbincangkan sekaligus diperdebatkan di kalangan masyarakat muslim di seluruh dunia. Perdebatan pada tingkat wacana itu selalu berakhir tanpa pernah melahirkan kesepakatan. Kesimpulan dari perdebatan ini memunculkan tiga pandangan. Pertama pandangan yang membolehkan poligami secara longgar. Sebagian dari pandangan ini bahkan menganggap poligami sebagai ”sunnah”, yakni mengikuti perilaku Nabi Muhammad saw. Syarat keadilan yang secara eksplisit disebutkan Alquran cenderung diabaikan atau hanya sebatas argumen verbal belaka. Pandangan kedua membolehkan poligami secara ketat dengan menetapkan sejumlah syarat, antara lain adalah keadilan formal-distributif, yakni pemenuhan hak ekonomi dan seksual (gilir) para istri secara (relatif) sama serta keharusan mendapat izin istri dan beberapa syarat lainnya. Ketiga, pandangan yang melarang poligami secara mutlak.

Keberagaman pandangan kaum muslimin dalam isu poligami ini tentu saja menarik, karena di dalamnya memperlihatkan sebuah dinamika pemikiran yang terus berkembang. Perkembangan ini menunjukkan bahwa mereka tengah menghadapi perubahan-perubahan sosial yang terus bergerak.

Hal yang menarik dari perdebatan dan kontroversi poligami adalah bahwa masing-masing pendapat merujuk pada sumber yang sama, yakni ayat Alquran surah An-Nisaa 3, dan 129, dan sejumlah hadis Nabi Muhammad saw. Hal itu menunjukkan bahwa teks-teks keagamaan selalu menyediakan kemungkinan bagi sejumlah tafsir (interpretasi). Teks-teks adalah huruf-huruf yang perlu disuarakan. Ibnu ’Arabi mungkin merupakan tokoh paling ”berani” ketika mengatakan; ”Fa mâ fi al kaun kalâm lâ yuta’awwal” (tidak ada satupun teks di dunia ini yang tidak bisa ditafsir). Karena itu ia memang harus dimaknai dan dipahami oleh akal pikiran manusia yang tidak selalu menghasilkan kesimpulan sama. Perbedaan memahami dan cara pandang orang terhadap teks juga terjadi karena perbedaan ruang dan waktu. Setiap pandangan dan pikiran manusia selalu merupakan refleksi ruang dan waktu (sejarah sosial) di mana dan kapan mereka hidup. Perbedaan pendapat juga terjadi akibat dari cara-cara yang digunakan untuk menganalisis teks, dan lain-lain. Bahkan perbedaan penafsiran juga bisa terjadi karena perbedaan kepentingan dan ideologi.

Demikianlah, dalam soal poligami masing-masing pandangan tetap merujuk pada ketentuan agama dan masing-masing kemudian mengklaim atau menganggap bahwa pandangannya dimaksudkan untuk menegakkan ajaran agama. Yang diperlukan oleh masing-masing pihak kemudian adalah sikap saling menghargai pendapat pihak lainnya. Masing-masing pihak juga tidak boleh melakukan klaim kebenaran sepihak, dengan mencap atau menuduh pihak lain sebagai kelompok sesat, anti-Islam atau melawan hukum Allah. Sejak Nabi Muhammad saw. wafat, kaum muslimin di seluruh dunia tidak lagi memiliki tokoh paling otoritatif yang dapat memutuskan kebenaran suatu hukum Allah (agama, syarî’ah) secara tunggal dan final sebagaimana Nabi saw.

Berbicara dan mengkaji masalah ta'addud tentu tidak akan lepas dari syari'at Nikah. Sekalipun dikalangan ulama ada perbedaan pandangan tentang hukum dan kedudukan dalam masalah ta'addud, namun tentu semua sepakat bahwa Nikah itu merupakan bagian dari syariat Islam dan bernilai ibadah. 

Sebagian ulama, setelah mengkaji ayat-ayat tentang poligami,  menetapkan bahwa menurut asalnya, Islam sebenamya ialah monogami. Terdapat ayat yang mengandungi peringatan agar poligami ini tidak disalahgunakan. Tetapi sebagian lagi memandang bahwa hukum nikah pada awal perintahnya adalah ta'addud (berbilang/poligami). Hal ini bisa dilihat dari perintah nikah dalam al-Quran diawal surat An-Nisa.

Terlepas dari perbedaan pandangan diatas ta'addud atau poligami yang telah Allah syari'atkan dalam firman-Nya, tentu padanya terdapat manfaat yang sangat besar walaupun sebagian ada yang menganggap poligami merupakan pintu darurat. Sebab ada beberapa mudarat yang ditimbulkan yang  dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dengan syariat tersebut. Sebagai contoh misalnya: terkadang terjadi kasus saling cemburu di antara para istri karena beberapa permasalahan, maka hal ini adalah mudarat yang ditimbulkan dari praktek poligami. Namun, manfaat yang didapatkan dengan berpoligami untuk kaum muslimin berupa bertambahnya banyaknya jumlah kaum muslimin dan terjaganya kehormatan wanita-wanita muslimah baik yang belum menikah maupun para janda merupakan kebaikan dan maslahat yang sangat besar bagi kaum muslimin.

2. Wahyu Yang Banyak Ditentang (?)

Ta'addud zawaj seolah tak pernah berhenti menjadi arena  perdebatan yang sangat sengit di tengah kaum muslimin dan bahkan sampai terjadi penolakan terhadap hukum poligami itu sendiri. Ta'addud (poligami) sifatnya tidaklah memaksa. Kalau pun seorang wanita tidak mau di madu atau seorang lelaki tidak mau berpoligami dalam Islam tidak ada masalah. Hanya hal ini tidak perlu diikuti dengan menolak hukum poligami (menggugat hukum poligami). Seakan-akan ingin menjadi pahlawan bagi wanita, kemudian mati-matian untuk menolak konsep poligami. Di antara mereka mengatakan bahwa poligami adalah sumber kesengsaraan dan kehinaan wanita. Poligami juga dianggap sebagai biang keladi rumah tangga yang berantakan. Dan berbagai alasan lainnya yang muncul di tengah masyarakat saat ini sehingga dianggap cukup jadi alasan agar poligami di negeri ini dilarang. Yang hakikatnya hal tersebut merupakan gambaran penolakan terhadap syari'at yang dibenarkan dalam agama (Islam).
Dalam  koran “Kompas”, edisi 11 Desember 2006, memuat sebuah tulisan dengan judul, “Wabah itu Bernama Poligami”. Dalam uraian tulisan itu penulis seolah memuntahkan kebenciannya, dan penolakannya kepada syari’at poligami, maka ia pun tidak tanggung-tanggung membawakan hadits untuk menguatkan pendapatnya. Bahwa dilaporkan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- marah ketika beliau mendengar putrinya Fatimah akan di poligami suaminya, Ali bin Abi Thalib. Beliau bergegas menuju mesjid, naik mimbar dan menyampaikan pidato, “Keluarga Bani Hasim bin Al-Mughiroh telah meminta izinku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali Bin Abi Thalib saya tidak mengizinkan sama sekali kecuali Ali menceraikan putri Saya terlebih dahulu”. Kemudian Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melanjutkan, “Fatimah adalah bagian dari-ku. Apa yang menggamggu dia adalah menggangguku dan apa yang menyakiti dia adalah menyakitiku juga”. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib tetap monogami hingga Fatimah wafat.
Setelah membaca peristiwa Nabi dengan Fathimah diatas, mungkin kita akan menganggukkan kepala dan membenarkan, ia lupa riwayat lain dalam Shohih Muslim (2449), “Sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Tapi, demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan putri musuh Allah selamanya”. Artinya, Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak mengharamkan atas umatnya sesuatu yang halal, yaitu poligami.

3. Pandangan Mufassirin 

Ta'addud zawaj/Poligami bukan praktik yang dilahirkan Islam. Islam tidak menginisiasi Poligami. Jauh sebelum Islam datang tradisi poligami telah menjadi salah satu bentuk praktik peradaban Arabia patriarkhis. Peradaban patriarkhi adalah peradaban yang memposisikan laki-laki sebagai aktor yang menentukan seluruh aspek kehidupan. Nasib hidup kaum perempuan dalam sistem ini didefinisikan oleh laki-laki dan untuk kepentingan mereka. Peradaban ini sesungguhnya telah lama bercokol bukan hanya di wilayah Jazirah Arabia, tetapi juga dalam banyak peradaban kuno lainnya seperti di Mesopotamia dan Mediterania bahkan di bagian dunia lainnya. Dengan kata lain perkawinan poligami sejatinya bukan khas peradaban Arabia, tetapi juga peradaban bangsa-bangsa lain.

Di dunia Arab, tempat kelahiran Islam, sebelum Nabi Muhammad saw. lahir, perempuan dipandang rendah dan entitas yang tak berarti. Alquran dalam sejumlah ayatnya menginformasikan realitas sosial ini. Umar bin Khattab pernah mengungkapkan kenyataan ini dengan mengatakan : ”Dalam dunia kelam (jahiliyah), kami tidak menganggap perempuan sebagai makhluk yang perlu diperhitungkan”. Perbudakan manusia terutama perempuan, dan poligami menjadi praktik kebudayaan yang lumrah dalam masyarakat Arabia saat itu. Ketika Nabi Islam hadir di tengah-tengah mereka, praktik-praktik ini tetap berjalan dan dipandang tidak bermasalah, sebagaimana tidak bermasalahnya tradisi ”kasur, dapur, dan sumur” bagi peran perempuan dalam masyarakat Jawa.

Meskipun Nabi Muhammad saw. mengetahui bahwa poligami yang dipraktikkan bangsa Arab ketika itu sering dan banyak merugikan kaum perempuan, tetapi bukanlah cara Islam untuk menghapuskan praktik ini dengan cara-cara revolusioner. Bahasa yang digunakan Alquran tidak pernah provokatif apalagi radikal. Transformasi Islam selalu bersifat gradual, akomodatif dan dalam waktu yang sama sangat kreatif. Alquran dan Nabi Muhammad saw. selalu berusaha memperbaiki keadaan ini secara persuasif dan mendialogkannya dengan intensif. Bukan hanya isu poligami, seluruh praktik kebudayaan yang tidak menghargai manusia selalu diupayakan Nabi saw. untuk diperbaiki secara bertahap dan terus-menerus untuk pada akhirnya tercapai sebuah kondisi yang paling ideal. Kondisi ideal adalah keadilan dan penghargaan terhadap martabat manusia. Ini adalah kehendak logis dari sistem kepercayaan Islam: Tauhid.

Jika kita membaca teks-teks Alquran secara holistik, kita melihat bahwa perhatian kitab suci terhadap eksistensi perempuan secara umum dan isu poligami dalam arti khusus, muncul dalam rangka reformasi sosial dan hukum. Alquran tidak ujug-ujug (tiba-tiba) turun untuk mengafirmasi perlunya poligami. Pernyataan Islam atas praktik poligami, dilakukan dalam rangka mengeliminasi praktik ini, selangkah demi selangkah. Dua cara dilakukan Alquran untuk merespon praktik ini; mengurangi jumlahnya dan memberikan catatan-catatan penting secara kritis, transformatif dan mengarahkannya pada penegakan keadilan. Sebagaimana diketahui dari berbagai sumber, sebelum Islam laki-laki dipandang sah saja untuk mengambil istri sebanyak yang dikehendaki, tanpa batas. Laki-laki juga dianggap wajar saja memperlakukan kaum perempuan sesuka hatinya. Logika mainstream saat itu memandang poligami dengan jumlah perempuan yang dikehendaki sebagai sesuatu yang lumrah, sesuatu yang umum, dan bukan perilaku yang salah dari sisi kemanusiaan. Bahkan untuk sebagian komunitas, poligami merupakan kebanggaan tersendiri. Previlase, kehormatan dan kewibawaan seseorang atau suatu komunitas seringkali dilihat dari seberapa banyak dia mempunyai istri, budak atau selir. Dan kaum perempuan menerima kenyataan itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berdaya melawan realitas yang sejatinya merugikan dirinya itu. Boleh jadi, karena keadaan yang lumrah dan mentradisi ini, mereka sendiri alih-alih tidak menganggapnya sebagai hal yang merugikan dirinya, malahan mungkin menguntungkan. Ketidakadilan menjadi tak terpikirkan lagi. Alquran kemudian turun untuk mengkritik dan memprotes keadaan tersebut dengan cara meminimalisasi jumlah yang tak terbatas itu sehingga menjadi dibatasi hanya empat orang saja di satu sisi, dan menuntut perlakuan yang adil terhadap para istri, pada sisi yang lain.

Informasi mengenai realitas sosio-kultural dan tindakan mereduksi praktik poligami ini terungkap dalam sejumlah hadits Nabi saw. Beberapa di antaranya hadis Ibnu Umar. Ia berkata: “Ghilan al-Saqafi ketika masuk Islam mempunyai sepuluh orang istri. Mereka semua masuk Islam bersamanya. Nabi Muhammad saw. kemudian menyarankan dia untuk hanya mengambil empat orang saja”.(H.R. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirimizi). Qais bin Haris juga mengalami hal yang sama. Dia mengatakan ; “Aku masuk Islam dan aku mempunyai delapan orang istri. Aku kemudian mendatangi dan menceritakannya kepada Nabi saw. Kemudian Nabi saw. mengatakan: “Pilih empat di antara mereka”. (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Ayat Alquran yang membicarakan soal dan menjadi dasar keabsahan poligami sampai empat orang tersebut terdapat pada surat an Nisa: 2-3 

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.(2). Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat bagi kamu untuk tidak berbuat aniaya”(3).

Dilihat dari latarbelakang turunnya, ayat ini secara lebih spesifik berdasarkan banyak tafsir diketahui bahwa ia tengah merespons kasus ketidakadilan para pengasuh (wali) anak-anak yatim. Anak-anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayah dalam usia mereka yang belum dewasa. Pada usia ini mereka sangat tergantung kepada orang lain, membutuhkan perlindungan, pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan baik finansial (ekonomi) maupun kasih sayang. Melalui ayat ini Tuhan menyerukan agar para pengasuh anak-anak yatim, memberikan perlindungan, pengasuhan dan pemeliharaan terhadap mereka dengan serius, dengan kata lain memperlakukan mereka dengan baik dan adil. Jika mereka mempunyai kekayaan, para pengasuh (wali) harus menyerahkannya ketika mereka dewasa. Para wali tidak dibolehkan memanipulasi atau mengkorupsi harta mereka. Para wali hanya diberi hak untuk menggunakan harta mereka sepanjang diperlukan bagi kepentingan mereka. Mujahid, Sa’id bin Jubair, Ibnu Sirin, Muqatil bin Hayyan, al Siddi dan Sufyan bin Husein berkomentar tentang: “Jangan kamu campuradukkan hartamu dan harta mereka lalu kamu memakannya” dengan mengatakan: “jangan anda berikan kepadanya yang kurus sementara anda mengambil yang gemuk”.2

Seorang ahli tafsir paling terkemuka, Ibnu Jarir al-Thabari, mengutip para ahli yang berbeda, antara lain istri Nabi saw. Siti Aisyah, mengemukakan bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan kasus seorang laki-laki yang menjadi wali anak yatim yang kaya. Dia ingin mengawininya demi kekayaannya, dan memperlakukannya dengan tidak wajar. Padahal anak yatim tersebut tidak menyukainya.
Praktik pengasuhan anak-anak yatim pada saat itu cenderung tidak adil. Para wali tidak mengelola hak-hak sosial dan ekonomi mereka secara proporsional. Di samping itu, mereka juga ingin mengawini anak-anak yatim perempuan di bawah asuhannya dengan tidak membayarkan mas kawinnya sama sekali atau membayar tetapi tidak wajar. Ketika hal itu terjadi, Alquran membolehkan para wali mengawini perempuan yang sah selain anak-anak yatim dua, tiga atau empat.

Dengan mengetahui latar belakang spesifik turunnya ayat ini sesungguhnya telah jelas bagi kita untuk mengemukakan sekali lagi bahwa maksud pertama dan misi utama ayat ini pada waktu diturunkannya adalah peringatan sekaligus penekanan kepada para pengasuh anak-anak yatim untuk melindungi mereka yang keberadaannya memang lemah atau tak berdaya itu melalui cara-cara yang adil. Jadi ayat ini tidak dimaksudkan untuk menganjuran poligami. Tegasnya, poligami bukanlah tujuan dari turunnya ayat ini dan bukan pula inisiatif Alquran. Hal ini karena, seperti sudah disinggung, perkawinan poligami sudah eksis dan telah berlangsung lama di tengah masyarakat Arabia ketika itu. Kalaupun ayat ini menyinggung dan membolehkan poligami, maka sebenarnya hanya membiarkannya dan sekaligus sedang mengkritik praktik poligami yang tidak adil.
Pendapat bahwa poligami dilarang dalam Islam dengan alasan poligami yang dibolehkan adalah dengan syarat mampu berbuat adil. Sedangkan berbuat adil kepada beberapa orang isteri merupakan sesuatu yang tidak mungkin mampu dilakukan oleh laki-laki. 

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu cenderung dalam semua kecenderungan (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain seperti perempuan yang terkatung-katung (tidak mempunyai suami tetapi bukan janda) dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q. S. an-Nisa’ : 129)

Pendapat ini dibantah dengan mengutip penafsiran ulama tafsir yang mu’tabar mengenai ayat di atas, antara lain: Dalam Tafsir Ibnu Katsir di jelaskan bahwa ayat di atas diturunkan mana kala Rasulullah SAW lebih mencintai Asiyah r.a. dibanding isteri beliau yang lain. Sementara Al-Khazin dalam menafsirkan ayat di atas berkata :
“Yakni kamu tidak sekali-kali mampu berlaku adil di antara isteri-isterimu dalam hal cinta dan kecenderungan hati, karena yang demikian itu termasuk dalam hal-hal yang kamu tidak akan kuasa dan mampu atasnya”.
 

Sementara dalam tafsir Jalalain dikatakan :

“Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu dalam hal cinta, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu cenderung dalam semua kecenderungan kepada isteri yang kamu cintai dalam hal pembagian malam dan nafkah”.


ولا يجب على الزوج التسوية بين الزوجات فيما لا يملكه كالمحبة ونحوها لحديث عائشة الآتي . وقد ذهب أكثر الأئمة إلى وجوب القسم بين الزوجات 
Tidaklah wajib bagi suami berbuat adil (sama) dalam hal yang tidak mungkin seperti rasa cinta dan semacamnya. Akan tetap mayoritas ulama mewajibkan suami berlaku adil (sama) dalam menggilir istri-istrinya.

Menurut penafsiran dan asbabun nuzul ayat yang tersebut di atas, jelaslah bahwa ketidak mampuan berlaku adil itu adalah dalam hal cinta, karena cinta merupakan kecenderungan hati. Kecenderungan hati tentunya tidak mungkin ditolak dan dipaksa-paksa. Pada saat hati mengatakan lebih mencintai salah seorang isteri, tentunya kita tidak dapat menolaknya. Namun demikian perasaan lebih mencintai salah seorang isteri itu tidak boleh merembes dalam hal pembagian malam dan nafkah. Pembagian malam dan nafkah ini tetap wajib diberlakukan dengan adil. Oleh karena itu, Allah selanjutnya berfirman :

“Janganlah kamu cenderung dalam semua kecenderungan (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain seperti perempuan yang terkatung-katung”.

Jadi yang dilarang adalah kecenderungan dalam semua hal kepada salah seorang isteri. Yaitu kecenderungan kepada salah seorang isteri dalam hal cinta saja yang dibolehkan, sedangkan pembagian malam dan nafkah tetap wajib berlaku adil dan sama di antara isteri-isteri. Inilah perkataan As-Shawy dalam tafsirnya, 6 yaitu : Adapun kecenderungan hati kepada salah seorang isteri adalah tidak mengapa. Inilah isyarat Nabi shallallahu alaihi wa sallam akan hal tersebut :

اللهم إن هذا القسمي فيما أملك فلا تؤاخذني فيما لا املك

Ya Allah, sesungguhnya ini adalah pembagianku yang aku miliki, maka janganlah Engkau menyiksaku dalam hal-hal yang tidak aku miliki.

Maksud do’a Rasulullah SAW di atas adalah beliau telah melakukan pembagian secara adil diantara isteri-isteri beliau dalam hal pembagian malam dan nafkah, karena pembagian tersebut mampu beliau lakukan, sedangkan pembagian cinta secara adil tentunya sebagaimana manusia, beliau tidak mampu melakukannya, oleh karena itu beliau berdo’a semoga Allah mengampuninya.


4. Ta'addud Zawaj "Sunnah" Nabi saw (?)

Dalam catatan sejarah (sirah), Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  mengakhiri masa lajangnya di usia 25 tahun dengan menikahi seorang perempuan mulia bernama Khadijah binti Khuwalid yang saat itu merupakan seorang janda empat anak dari perkawinan sebelumnya dan telah berusia 40 tahun. Ini adalah pernikahan yang ditunjuk Allah karena Khadijah merupakan wanita mulia dan yang pertama memeluk Islam. Dari Rasulullah SAW, Khadijah mendapat 6 orang anak lagi.

Sepeninggal Khadijah radhiyallahu anha, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat bersedih hati. Namun kesedihan ini tidak dipendam lama-lama karena dakwah Islam yang masih berusia sangat muda memerlukan penanganan yang teramat serius. Sebab itu, Rasulullah  memerlukan pendamping hidup sepeninggal Khadijah. Maka beliau pun, atas izin Allah azza wa jalla, menikah kembali. Diantara wanita yang beliau nikahi adalah :

Saudah binti Zum’ah

Ketika dilamar Rasulullah SAW, Saudah telah berusia 70 tahun dengan 12 anak. Perempuan berkulit hitam dari Sudan ini merupakan janda dari sahabat Nabi bernama As-Sukran bin Amral Al-Anshari yang menemui syahid keran menjadikan dirinya perisai hidup bagi Rasulullah di medan perang. Rasulullah yang ketika melamar Saudah telah berusia 56 tahun menikahi wanita itu agar Saudah bisa terjaga keimanannya dan terhindar dari gangguan kaum Musyirikin yang tengah hebat-hebatnya memusuhi umat Islam yang ketika itu masih sangat sedikit jumlahnya.


Zainab binti Jahsy

Tak lama setelah menikahi Saudah, Rasulullah mendapat perintah dari allah SWT untuk menikahi Zainab binti Jahsy, seorang janda berusia 45 tahun yang berasal dari keluarga terhormat. Pernikahan dengan Zainab ini merupakan suatu pelaksanaan perintah Allah SWT bahwa pernikahan haruslah sekufu. Zainab merupakan mantan isteri dari Zaid bin Haritsah.


Ummu Salamah binti Abu Umayyah

Setelah menikahi Saudah dan Zainab, Rasulullah kembali mendapat perintah Allah SWT agar menikahi puteri dari bibinya yang pandai mengajar dan juga pandai berpidato. Ummu Salamah binti Abu Umayyah, seorang janda berusia 62 tahun. Setelah menikah dengan Rasulullah SAW, Ummu Salamah kelak banyak membantu Nabi dalam medan dakwah dan pendidikan bagi kaum perempuan.


Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan

Dalam pengembangan dakwah Islam yang masih sangat terbatas, umat Islam mendapat cobaan ketika salah seorang darinya, Ubaidillah bin Jahsy, murtad dan menjadi seorang Nasrani. Secara syar’i, murtadnya Ubaidillah ini menyebabkan haram dan putusnya ikatan suami-isteri dengan Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan. Untuk menyelamatkan akidah janda berusia 47 tahun ini, Rasulullah mengambil langkah cepat dengan menikahi Ummu Habibah. Kelak langkah Rasulullah SAW ini terbukti tepat dengan aktifnya Ummu Habibah di dalam menunjang dakwah Islam. 


Juwairiyyah binti Al-Harits al-Khuzaiyyah

Juwairiyyah adalah seorang janda berusia 65 tahun dengan 17 anak. Perempuan ini merupakan budak dan tawanan perang yang dibebaskan Rasulullah. Setelah dibebaskan Rasulullah SAW, Juwairiyyah dengan ke-17 orang anaknya tentu akan kebingungan karena dia sama sekali tidak memiliki seorang kerabat pun. Allah SWT memerintahkan Nabi SAW agar menikahi perempuan ini sebagai petunjuk agar manusia mau membebaskan budak dan memerdekakannya dari perbudakan dan penghambaan kepada selain Allah SWT.


Shafiyyah binti Hayyi Akhtab

Setahun setelahnya, saat berusia 58 tahun, Rasulullah kembali menikahi Shafiyah binti Hayyi Akhtab, seorang janda dua kali berusia 53 tahun dan memiliki 10 orang anak dari pernikahan sebelumnya. Shafiyyah merupakan seorang perempuan Muslimah dari kabilah Yahudi Bani Nadhir. KeIslaman Shafiyyah diboikot orang-orang Yahudi lainnya. Untuk menolong janda tua dengan 10 orang anak inilah Rasulullah SAW menikahinya.


Maimunah binti Al-Harits

Dakwah Islam tidak hanya diperuntukkan bagi orang-orang Arab semata, tetapi juga kepada manusia lainnya termasuk kepada orang-orang Yahudi. Sebab itu, Rasulullah kemudian menikahi Maimunah binti Al-Harits, seorang janda berusia 63 tahun, yang berasal dari kabilah Yahudi Bani Kinanah. Pernikahan ini dilakukan semata untuk mengembangkan dakwah Islam di kalangan Yahudi Bani Nadhir.


Zainab binti Khuzaimah bin Harits

Zainab binti Khuzaimah merupakan seorang janda bersuia 50 tahun yang sangat dermawan dan banyak mengumpulkan anak-anak yatim, orang-orang lemah, serta para fakir miskin di rumahnya, sehingga masyarakat sekitar menjulukinya sebagai “Ibu Fakir Miskin”. Guna mendukung secara aktif aktivitas janda tua ini maka Rasulullah menikahinya. Dengan pernikahannya ini Rasulullah ingin mencontohkan kepada umat-Nya agar mau bersama-sama menyantuni anak-anak yatim dan orang-orang lemah, bahkan dengan hidup dan kehidupannya sendiri.


Mariyah al-Kibtiyyah

Setelah delapan pernikahannya dengan para janda-janda tua dengan banyak anak, barulah Rasulullah SAW menikahi seorang gadis bernama Mariyah al-Kibtiyah. Namun pernikahannya ini pun bertujuan untuk memerdekakan Mariyah dan menjaga iman Islamnya. Mariyah merupakan seorang budak berusia 25 tahun yang dihadiahkan oleh Raja Muqauqis dari Iskandariyah Mesir.


Hafshah binti Umar bin Khattab

Dia merupakan puteri dari Umar bin Khattab, seorang janda pahlawan perang Uhud yang telah berusia 35 tahun. Allah SWT memerintahkan Rasulullah untuk menikahi perempuan mulia ini karena Hafshah merupakan salah seorang perempuan pertama di dalam Islam yang hafal dengan seluruh surat dan ayat al-Qur’an (Hafidzah). Pernikahan ini dimaksudkan agar keotentikan al-Qur’an bisa tetap terjaga.


Aisyah binti Abu Bakar

Puteri dari Abu Bakar Ash-Shiddiq ini merupakan seorang perempuan muda yang cantik, cerdas, dan penuh izzah. Allah memerintahkan langsung kepada Rasululah agar menikahi gadis ini. Pernikahan Rasululah dengan Aisyah. Merupakan perintah langsung Allah SWT kepada Rasulullah SAW lewat mimpi yang sama tiga malam berturut-turut (Hadits Bukhari Muslim). Tentang usia pernikahan Aisyah yang katanya masih berusia 9 tahun, ini hanya berdasar satu hadits dhaif yang diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah saat beliau sudah ada di Iraq, dalam usia yang sangat tua dan daya ingatnya sudah jauh menurun. Mengenai Hisyam, Ya’qub ibn Syaibah berkata, “Apa yang dituturkan oleh Hisyam sangat terpercaya, kecuali yang dipaparkannya ketika ia sudah pindah ke Iraq. ” Malik ibnu anas pun menolak segala penuturan Hisyam yang sudah berada di Iraq.

Oleh para orientalis, hadits dhaif ini sengaja dibesar-besarkan untuk menjelek-jelekan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Padahal menurut kajian-kajian semacam al-Maktabah Al-Athriyyah (jilid 4 hal 301) dan juga kajian perjalanan hidup keluarga dan anak-anak dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, maka akan diperoleh keterangan kuat bahwa Asiyah sesungguhnya telah berusia 19-20 tahun ketika menikah dengan Rasululah SAW. Suatu usia yang cukup matang untuk menikah
 (maaf blm tamat!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar