KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Sabtu, 18 April 2015

MANDI BERSAMA SUAMI ISTRI




Tanya  : Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Perkenalkan nama saya Isna H asal Kalimantan tinggal di Jakarta Selatan. Saya baru mendapatkan blog ini dua minggu lalu yang benar-benar saya cari terutama kedalaman pembahasan, terima kasih atas ilmunya. Sebelumnya saya mohon maaf karena mungkin kedangkalan ilmu yang saya miliki sehingga ikut serta menyampaikan pertanyaan. Ustadz Abu Alifa Shihab, saya sering mandi bersama dengan suami saya dalam keadaan (maaf) telanjang, yang terkadang suami suka minta berhubungan. Yang ingin saya tahu :
1. Apakah mandi bersama dalam keadaan tidak sehelai benangpun melakat, dibenarkan dalam Islam?
2. Bagaimana hukumnya berhubungan ditempat dan saat sedang mandi
Wassalam Isna H 

Jawab : Wa'alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh ...
Dalam beberapa keterangan dijelasakan :


حدثنا عبد الله بن مسلمة أخبرنا أفلح بن حميد عن القاسم عن عائشة قالت كنت أغتسل أنا والنبي صلى الله عليه وسلم من إناء واحد تختلف أيدينا فيه - صحيح البخاري » كتاب الغسل-

"... Dari Aisyah berkata. Aku pernah mandi bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam satu bejana (wadah) dan saling bergantian (mengambil) airnya. (Shahih Bukhary lihat juga Muslim 321)
وَحَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، جَمِيعًا عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ، قَالَ قُتَيْبَةُ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: أَخْبَرَتْنِي مَيْمُونَةُ: «أَنَّهَا كَانَتْ تَغْتَسِلُ هِيَ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ» 

"... Dari Ibnu Abbas berkata, telah memberitahuku Maemunah (istri nabi), sesungguhnya ia pernah mandi bersama Nabi shallalahu alaihi wa sallam dalam satu wadah (Shahih Muslim Kitab Haid)

Sekalipun dalam hadits diatas tidak ada kalimat keduanya terbuka (telanjang), tapi oleh para ulama hadits tersebut menjadi dalil disamping mandi bersama antara suami istri dibolehkan, juga menjadi dalil suami dibolehkan melihat aurat istrinya, begitupun sebaliknya (Fathu al-Baary 1 : 364)

Begitupun masalah berhubungan, jika itu menjadi gairah dalam hubungan suami istri dan tempatnya "aman", maka tak ada larangan melakukannya. Allahu A'lam

Fathul Bari (1/364)
Fathul Bari (1/364)

Jumat, 17 April 2015

MEMBACA SURAT DI DUA RAKAAT TERAKHIR








Tanya  : Bismillah ... Ustadz Abu Alifa, selama ini yang ana lakukan dalam shalat dhuhur dan ashar, ataupun dua rakaat terakhir yang jumlah rakaat dalam shalat wajib itu lebih dari dua rakaat, bacaan shalatnya adalah hanya membaca surat al-fathihah. Akan tetapi ditempat pegajian ada seorang mubaligh yang membahas masalah ini bahwa ada haditsnya juga setelah al-fathihah dicontohkan membaca lagi surat yang lain. Artinya beliau membolehkannya. Bagaimana pandangan ustadz Abu Alifa mengenai hal ini? Hatur Nuhun MD Pangandaran



Jawab : Apa yang bapak MD lakukan dalam shalat dhuhur dsb yang hanya membaca surat al-fathihah di dua rakaat terakhir, berdasarkan beberapa keterangan diantaranya :



حدثنا أبو نعيم قال حدثنا شيبان عن يحيى عن عبد الله بن أبي قتادة عن أبيه قال كان النبي صلى الله عليه وسلم يقرأ في الركعتين الأوليين من صلاة الظهر بفاتحة الكتاب وسورتين يطول في الأولى ويقصر في الثانية ويسمع الآية أحيانا وكان يقرأ في العصر بفاتحة الكتاب وسورتين وكان يطول في الأولى وكان يطول في الركعة الأولى من صلاة الصبح ويقصر في الثانية



Dari Abdillah bin Abi Qatadah radhiyallahu anhum berkata. Bahwa Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallam membaca di dua rakaat pertama shalat dhuhur surat al-fathihah dan dua surat yang lain, (cukup) panjang dirakaat pertama, dan memendekkan di rakaat kedua (suratnya), dan terkadang kedengaran bacaannya. Dan beliau juga membaca di shalat Ashar al-fatihah dan dua surat, begitupun rakaat pertama panjang bacaannya, dan mengurangi (panjang) dirakaat kedua. Dan di dua rakaat akhir (hanya) membaca surat al-fatihah. Dan keadaan Nabi-pun membaca surat yang panjang dirakaat awal shalat shubuh dan mengurangi (panjangnya) dirakaat kedua (Shahih Bukhary)



حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا هَمَّامٌ وَأَبَانُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَيَيْنِ مِنْ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَةٍ وَيُسْمِعُنَا الْآيَةَ أَحْيَانًا وَيَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُخْرَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ



"...Dari Abi Qatadah dari bapaknya, bahwasannya Nabi shallallahu alaihi wa sallam membaca di dua rakaat pertama shalat dhuhur dan ashar dengan al-afathihah dan surat (yang lainnya), bahkan terkadang suka diperdengarkan bacaan ayat-ayat itu. Dan beiau (hanya) membaca di dua rakaat terakhir dengan al-fathihah (HR.Muslim)

 
"...أن ابن مسعود كان يقرأ في الظهر والعصر في الركعتين الأوليين بفاتحة الكتاب وما تيسر وفي الأخريين بفاتحة الكتاب 



Sesungguhnya Ibnu Mas'ud membaca dalam shalat dhuhur dan ashar di dua rakaat pertama al-fatihah dan (surat) yang mudah (hafal selain al-fatihah). Dan di dua rakaat terakhir hanya membaca al-fatihah (Ibn Abi Syaibah)



Sedangkan yang "membolehkan" membaca surat selain al-fatihah didua rakaat akhir, diantaranya didasarkan pada keterangan :


عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه ، قال : كنا نحزر قيام رسول الله صلى الله عليه وسلم في الظهر والعصر ، فحزرنا قيامه في الركعتين الأوليين من الظهر قدر قراءة : الم تنزيل السجدة - وفي رواية - : في كل ركعة قدر ثلاثين آية ، وحزرنا قيامه في الأخريين قدر النصف من ذلك ، وحزرنا في الركعتين الأوليين من العصر على قدر قيامه في الأخريين من الظهر ، وفي الأخريين من العصر على النصف من ذلك ، رواه مسلم 



Dari Abi Sa'id al-Khudri radhiyallahu anh berkata : Kami memperhatikan berdirinya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di shalat dhuhur dan ashar. Kami perhatian berdirinya beliau di dua rakaat pertama dhuhur seukuran membaca (surat) alif lam mim tanzil as-Sajdah- dalam satu riwayat- tiap rakaat seukuran 30 ayat- dan kami perhatikan lamanya berdiri didua rakaat akhir setengahnya dari dua rakaat pertama. Sedangkan kami perhatikan lamanya berdiri dalam shalat ashar di dua rakaat pertama seukuran lamanya dua rakaat akhir shalat dhuhur. Dan lamanya dua rakaat akhir shalat ashar setengahnya dari dua rakaat pertamanya. (HR.Muslim)



Dengan demikian sebagian  ulama membolehkan membaca di dua rakaat terahir untuk shalat dzuhur dan ashar lebih dari surat al-Fatihah. Ini termasuk perbedaan pendapat ulama yang sifatnya mubah. Bukan perbedaan yang satu hukumnya terlarang dan yang satu mubah. Boleh saja di dua rakaat terakhir, pada masing-masing rakaat seseorang membaca al-Fatihah saja. Boleh juga di dua rakaat terakhir dia tambahi dengan surat lain setelah al-Fatihah (lihat Ibnu Khuzaimah1/256). Hemat ana boleh membaca surat selain al-fatihah di dua rakaat terakhir . Allohu A'lam

Kamis, 16 April 2015

"NIKAH MUT'AH" (KAWIN KONTRAK) SYI'AH RAFIDHAH



Jika kaum muslimin memiliki pandangan bahwa pernikahan yang sah menurut syariat Islam merupakan jalan untuk menjaga kesucian harga diri mereka, maka kaum Syi’ah Rafidhah memiliki pandangan lain. Perzinaan justru memiliki kedudukan tersendiri di dalam kehidupan masyarakat mereka.

Bagaimana tidak, perzinaan tersebut mereka kemas dengan nama agama yaitu nikah mut’ah. Tentu saja mereka tidak ridha kalau nikah mut’ah disejajarkan dengan perzinaan yang memang benar-benar diharamkan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenyataan-lah yang akan membuktikan hakekat nikah mut’ah ala Syi’ah Rafidhah.

Definisi Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah adalah sebuah bentuk pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi, untuk kemudian terjadi perceraian apabila telah habis masa kontraknya tanpa terkait hukum perceraian dan warisan. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi dengan beberapa tambahan)

Hukum Nikah Mut’ah

Pada awal tegaknya agama Islam nikah mut’ah diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam beberapa sabdanya, di antaranya hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dan Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui kami kemudian mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah.” (HR. Muslim)

Al-Imam Al-Muzani rahimahullah berkata: “Telah sah bahwa nikah mut’ah dulu pernah diperbolehkan pada awal-awal Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah tersebut tidak diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman nikah tersebut.” (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi)

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah ‘azza wa jalla telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)

Adapun nikah mut’ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu, maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut’ah selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An-Nawawi)

Gambaran Nikah Mut’ah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jelas sekali gambaran nikah mut’ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4. Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)

Nikah Mut’ah menurut Tinjauan Syi’ah Rafidhah

Dua kesalahan besar telah dilakukan kaum Syi’ah Rafidhah ketika memberikan tinjauan tentang nikah mut’ah.
Dua kesalahan tersebut adalah:

A. Penghalalan Nikah Mut’ah yang Telah Diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya

Bentuk penghalalan mereka nampak dari kedudukan nikah mut’ah itu sendiri di kalangan mereka. Ash-Shaduq di dalam kitab Man Laa Yahdhuruhul Faqih dari Ash-Shadiq berkata: “Sesungguhnya nikah mut’ah itu adalah agamaku dan agama pendahuluku. Barangsiapa mengamalkannya maka dia telah mengamalkan agama kami. Sedangkan barangsiapa mengingkarinya maka dia telah mengingkari agama kami dan meyakini selain agama kami.”

Di dalam halaman yang sama, Ash-Shaduq mengatakan bahwa Abu Abdillah pernah ditanya: “Apakah nikah mut’ah itu memiliki pahala?” Maka beliau menjawab: “Bila dia mengharapkan wajah Allah (ikhlas), maka tidaklah dia membicarakan keutamaan nikah tersebut kecuali Allah tulis baginya satu kebaikan. Apabila dia mulai mendekatinya maka Allah ampuni dosanya. Apabila dia telah mandi (dari berjima’ ketika nikah mut’ah, pen) maka Allah ampuni dosanya sebanyak air yang mengalir pada rambutnya.”

Bahkan As-Sayyid Fathullah Al Kasyaani di dalam Tafsir Manhajish Shadiqiin 2/493 melecehkan kedudukan para imam mereka sendiri ketika berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa melakukan nikah mut’ah satu kali maka derajatnya seperti Al-Husain, barangsiapa melakukannya dua kali maka derajatnya seperti Al-Hasan, barangsiapa melakukannya tiga kali maka derajatnya seperti Ali radhiyallahu ‘anhu, dan barangsiapa melakukannya sebanyak empat kali maka derajatnya seperti aku.”

B. Betapa Keji dan Kotor Gambaran Nikah Mut’ah Ala Syi’ah Rafidhah

1. Akad nikah
Di dalam Al Furu’ Minal Kafi 5/455 karya Al-Kulaini, dia menyatakan bahwa Ja’far Ash-Shadiq pernah ditanya seseorang: “Apa yang aku katakan kepada dia (wanita yang akan dinikahi, pen) bila aku telah berduaan dengannya?” Maka beliau menjawab: “Engkau katakan: Aku menikahimu secara mut’ah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, namun engkau tidak mendapatkan warisan dariku dan tidak pula memberikan warisan apapun kepadaku selama sehari atau setahun dengan upah senilai dirham demikian dan demikian.” Engkau sebutkan jumlah upah yang telah disepakati baik sedikit maupun banyak.” Apabila wanita tersebut mengatakan: “Ya” berarti dia telah ridha dan halal bagi si pria untuk menggaulinya. (Al-Mut’ah Wa Atsaruha Fil-Ishlahil Ijtima’i hal. 28-29 dan 31)

2. Tanpa disertai wali si wanita
Sebagaimana Ja’far Ash-Shadiq berkata: “Tidak apa-apa menikahi seorang wanita yang masih perawan bila dia ridha walaupun tanpa ijin kedua orang tuanya.” (Tahdzibul Ahkam 7/254)

3. Tanpa disertai saksi (Al-Furu’ Minal Kafi 5/249)

4. Dengan siapa saja nikah mut’ah boleh dilakukan?
Seorang pria boleh mengerjakan nikah mut’ah dengan:
- wanita Majusi. (Tahdzibul Ahkam 7/254)
- wanita Nashara dan Yahudi. (Kitabu Syara’i'il Islam hal. 184)
- wanita pelacur. (Tahdzibul Ahkam 7/253)
- wanita pezina. (Tahriirul Wasilah hal. 292 karya Al-Khumaini)
- wanita sepersusuan. (Tahriirul Wasilah 2/241 karya Al-Khumaini)
- wanita yang telah bersuami. (Tahdzibul Ahkam 7/253)
- istrinya sendiri atau budak wanitanya yang telah digauli. (Al-Ibtishar 3/144)
- wanita Hasyimiyah atau Ahlul Bait. (Tahdzibul Ahkam 7/272)
- sesama pria yang dikenal dengan homoseks. (Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 54)

5. Batas usia wanita yang dimut’ah
Diperbolehkan bagi seorang pria untuk menjalani nikah mut’ah dengan seorang wanita walaupun masih berusia sepuluh tahun atau bahkan kurang dari itu. (Tahdzibul Ahkam 7/255 dan Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 37)

6. Jumlah wanita yang dimut’ah
Kaum Rafidhah mengatakan dengan dusta atas nama Abu Ja’far bahwa beliau membolehkan seorang pria menikah walaupun dengan seribu wanita karena wanita-wanita tersebut adalah wanita-wanita upahan. (Al-Ibtishar 3/147)

7. Nilai upah
Adapun nilai upah ketika melakukan nikah mut’ah telah diriwayatkan dari Abu Ja’far dan putranya, Ja’far yaitu sebesar satu dirham atau lebih, gandum, makanan pokok, tepung, tepung gandum, atau kurma sebanyak satu telapak tangan. (Al-Furu’ Minal Kafi 5/457 dan Tahdzibul Ahkam 7/260)

8. Berapa kali seorang pria melakukan nikah mut’ah dengan seorang wanita?
Boleh bagi seorang pria untuk melakukan mut’ah dengan seorang wanita berkali-kali. (Al-Furu’ Minal Kafi 5/460-461)

9. Bolehkah seorang suami meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada orang lain?
Kaum Syi’ah Rafidhah membolehkan adanya perbuatan tersebut dengan dua model:
a. Bila seorang suami ingin bepergian, maka dia menitipkan istri atau budak wanitanya kepada tetangga, kawannya, atau siapa saja yang dia pilih. Dia membolehkan istri atau budak wanitanya tersebut diperlakukan sekehendaknya selama suami tadi bepergian. Alasannya agar istri atau budak wanitanya tersebut tidak berzina sehingga dia tenang selama di perjalanan!!!
b. Bila seseorang kedatangan tamu maka orang tersebut bisa meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada tamu tersebut untuk diperlakukan sekehendaknya selama bertamu. Itu semua dalam rangka memuliakan tamu!!!
(Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 47)

10. Nikah mut’ah hanya berlaku bagi wanita-wanita awam.
Adapun wanita-wanita milik para pemimpin (sayyid) Syi’ah Rafidhah tidak boleh dinikahi secara mut’ah. (Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 37-38)

11. Diperbolehkan seorang pria menikahi seorang wanita bersama ibunya, saudara kandungnya, atau bibinya dalam keadaan pria tadi tidak mengetahui adanya hubungan kekerabatan di antara wanita tadi. (Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 44)

12. Sebagaimana mereka membolehkan digaulinya seorang wanita oleh sekian orang pria secara bergiliran.
Bahkan, di masa Al-’Allamah Al-Alusi ada pasar mut’ah, yang dipersiapkan padanya para wanita dengan didampingi para penjaganya (germo). (Lihat Kitab Shobbul Adzab hal. 239)


Para pembaca, bila kita renungkan secara seksama hakikat nikah mut’ah ini, maka tidaklah berbeda dengan praktek/transaksi yang terjadi di tempat-tempat lokalisasi. Oleh karena itu di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim diriwayatkan tentang penentangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu –yang ditahbiskan kaum Syi’ah Rafidhah sebagai imam mereka- terhadap nikah mut’ah. Beliau radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah mut’ah dan daging keledai piaraan pada saat perang Khaibar.” Beliau (Ali radhiyallahu ‘anhu) juga mengatakan bahwa hukum bolehnya nikah mut’ah telah dimansukh atau dihapus sebagaimana di dalam Shahih Al-Bukhari hadits no. 5119.

Wallahu A’lam Bish Showab.
Sumber: Buletin Islam Al Ilmu Edisi 33/IV/II/1425