KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Jumat, 26 Februari 2016

Keharusan Judicial Review UU Pidana untuk Pelaku LGBT


Oleh : DR.H.Jeje Zainuddin. MAg



Perkembangan gerakan para pengidap kelainan seksual LGBT di seluruh dunia semakin mengkhawtirkan. Mereka memaksakan agar pandangan masyarakat berubah terhadap mereka. Perilaku mereka ingin dianggap normal. Bukan hanya itu, mereka juga bergerak untuk mengubah hukum dan perundang-undangan agar melindungi perilaku bejat mereka. Hasilnya: Belgia, Belanda, Lima Puluh Negara bagian Amerika Serikat, dan belasan negara lainnya akhirnya menerima dan mengakui eksistensi keabsahan komunitas LGBT dengan mengubah hukum di negara masing-masing. Gerakan hukum ini juga tengah diperjuangkan aktivis LGBT di Indonesia. Tulisan ini akan mencoba melihat melihat celah yang mereka gunakan untuk berusaha melegalkan perbuatan nista mereka.



Pandangan Hukum Positif Indonesia terhadap LGBT



Selama ini peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagian besarnya masih berpihak kepada keyakinan agama dan budaya masyarakat yang menolak perilaku LGBT. Hal itu dapat dilihat di antaranya dalam beberapa UU berikut.



Pertama, dalam Undang-Undang No.1 Thaun 1974 Pasal 1 Tentang Perkawinan. Di sana disebutkan “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal ini dengan jelas dan terang menyatakan bahwa Indonesia hanya mengakui perkawinan secara heteroseksual, yaitu perkawinan yang dilakukan antara dua orang yang berbeda jenis kelamin, tegasnya adalah seorang pria dan seorang wanita. Selain itu ditambahkan bahwa perkawinan bukan semata memenuhi hasrat biologis tetapi bertujuan suci sebagai bagian dari ibadah kepada Allah untuk membangun rumah tangga bahagia dan kekal.



Kedua, pada Pasal ke-2nya disebutkan lebih rinci, antara lain: (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedang peraturan yang lebih khusus bagi umat Islam dalam masalah perkawinan ini diatur juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada Pasal 2 KHI dinyatakan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mîtsâqan ghalîzhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.



Ketiga, pasal ke-3 dan ke-4 juga semakin menguatkan lagi model perkawinan di atas: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.”; Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.



Ketentuan undang-undang Perkawinan di atas menutup pintu rapat-rapat kemungkinan terjadinya perkawinan yang diajukan atau dilakukan oleh pasangan sesama jenis. Undang-undang tersebut juga menolak perkawinan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga pelaku perkawinan yang tidak mencatatkan perkawinannya dinyatakan sebagai pelanggaran hukum. Maka pelaku LGBT yang berkeinginan mendapatkan pengakuan hukum yang mengabsahkan ikatan antara dua manusia yang berjenis kelamin sama adalah mustahil dan melakukannya secara sembunyi-sembunyi juga sebagai suatu pelanggaran hukum.



Oleh sebab itulah kelompok pembela HAM Liberal dan pendukung perilaku menyimpang LGBT selalu mencari cara dan peluang untuk melakukan judicial review atau revisi terhadap undang-undang perkawinan ini. Mereka menilai undang-undang ini penuh diskriminasi. 



Menutup Celah Hukum Legalisasi LGBT



Dalam usaha merombak penolakan hukum Indonesia terhadap LGBT, mereka kemudian membenturkannya dengan perundang-undangan lain yang memang berpotensi ditafsirkan sebagai dukungan terhadap perilaku LGBT. Di antara yang mereka gunakan adalah mengenai HAM dan KUH Pidana. Oleh sebab itu, penting juga kita memahami bagaimana mereka menggunakan celah hukum ini dan bagaimana kita menutupnya.



Pertama, penunggangan HAM



Di antara upaya para pendukung LGBT dalam mencari legitimasi dari perundang-undangan, mereka gencar mensosialisasikan pentingnya menghormati hak-hak asasi manusia tanpa membedakan ras, suku, agama, maupun kecenderungan orentasi seksual. Di sini kita mesti memahami secara cerdas bagaimana mereka membangun opini sesat. Misalnya mengubah istilah LGBT dari yang biasa disebut “penyimpangan orentasi seksual” menjadi “perbedaan orentasi seksual”. Jika suatu perilaku adalah “menyimpang” maka maknanya jelas ia adalah sesuatu penyakit yang tidak normal dari apa yang seharusnya karenanya harus dicarikan obat penyembuhannya. Tetapi dengan ungkapan “perbedaan” maka LGBT dikesankan sebagai sesuatu perilaku yang normal meskipun berbeda dari keumuman masyarakat, dan oleh karena itu ia harus diakui dan ditolerir. Pada akhirnya mereka mengkampanyekan perilaku LGBT sebagai bagian dari hak asasi seseorang warga negara yang harus dihormati oleh masyarakat dan dilindungi secara hukum.



Bagaimanakah sebetulnya HAM Indonesia mengatur masalah LGBT ini? Sebenarnya tidak ada pasal peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit menyebutkan maupun mengaturnya. Hanya saja, dalam Undang-undang Dasar RI 1945 yang telah diamandemen, Pasal 28J tentang Hak Asasi Manusia dikatakan: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasaannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.



Jadi kebebasan atas nama HAM di Indonesia haruslah berdasarkan pembatasan yang diatur oleh Undang-Undang yang pertimbangan pembatasan tersebut di antaranya berdasar nila-nilai moral dan agama. Tidak ada satu pun adat istiadat, moral. apalagi agama yang ada di Indonesia yang mengakui perilaku LGBT sebagai sesuatu yang normal.



Pengertian HAM Sendiri berdasar Undang-undang No. 39. Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Pasal 1, poin 1 adalah “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manus ia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;”



Sementara pada poin 3 diskriminasi didefinisikan sebagai “setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.”



Jadi apabila di Indonesia saat ini kaum LGBT belum mendapat perlindungan HAM seperti yang mereka inginkan, karena memang HAM di Indonesia berbeda dnegan pengertian HAM yang dipahami masyaraat barat yang liberal. Melainkan HAM yang bersendikan nilai-nilai moral dan agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia. 



Kedua, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).



Sebagaimana tercermin dalam UU Perkawinan dan UU HAM di atas, sepatutnya dalam UU Hukum Pidana ada pasal yang tegas memberi sanksi hukuman bagi para pelaku LGBT. Sayangnya, KUHP yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih warisan Belanda yang secara filosofis, yuridis, dan sosiologis banyak sekali bertentangan dengan falsafah dasar negara dan nilai-nilai agama. Oleh sebab itu, pasal pidana bagi pelaku LGBT hanya diatur jika pelaku LBGT ini seorang dewasa yang melakukan pencabulan kepada anak di bawah umur atau belum dewasa.



KUHP Pasal 292 hanya menyatakan: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.



Pasal ini sungguh sangat menjijikan dari beberapa aspek. Pertama, dari aspek spirit pasal ini pada prinsipnya membolehkan pencabulan pada sesama jenis asal kedua-duanya sama-sama dewasa dan suka sama suka. Kedua, perbuatan cabul itu sendiri tidak masuk katagori pelanggaran hukum pidana. Ketiga, perlindungan hukum bagi korban pencabulan sesama jenis hanya diberikan ketika korbannya belum dewasa, bukan karena perbuatan cabulnya itu sendiri. Keempat, pasal ini sangat menyinggung nilai moralitas dan perasaan kita sebagai bangsa Indonesia yang beragama yang secara konstitusional telah dijamin oleh UUD 1945.



Oleh sebab itu sepatutnya Pasal 292 KUHP ini dipersoalkan dan dimohonkan uji materi hukum kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alasan bertentangan dengan Falsafah Negara dan UUD 1945. Dalam Mukadimah dan Pasal 29 UUD 1945 dengan terang benderang dinyatakan bahwa negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsekwensinya, segala hukum yang diundangkan dan berlaku di Indonesia adalah hukum yang bersumber dari Agama dan segala hukum yang bertentangan denga hukum Agama di Indonesia harus dihapus dan digantikan. (Sumber : www.persis.or.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar