
Tanya : Assalamu’alaikum Wr. Wb. Pak
Ustad, saya ingin menanyakan kejadian yang menimpa saudara saya. Dia seorang
laki-laki, sudah menikah (mereka menikah tanpa paksaan) dan dikaruniai 2
orang anak. Karena saudara saya mendapat pekerjaan di luar kota, maka
tinggallah dia di luar kota. Istrinya tidak ikut ke luar kota karena dia dinas
di puskesmas di Jakarta. Sebenarnya suaminya menyuruh si istri untuk tetap
tinggal di rumah (rumah tersebut milik keluarga suami, yang kosong) yang sudah
beberapa tahun mereka tempati di dekat tempat istrinya bekerja. Namun ibu
mertuanya (ibu dari istrinya) menyuruh untuk tinggal bersama ibunya. Akhirnya
si istri pindah ke rumah ibunya. Setiap mendapatkan cuti dari kantor saudara
saya selalu menengok istri dan anak-anaknya. Pernah juga istri dan anak-anaknya
diajak menginap di kota tempat suaminya bekerja. Setahun setelah saudara saya
bekerja di luar kota, dia membeli mobil yang tujuan awalnya untuk dikendarai
oleh istrinya bekerja. Di tahun kedua, istri mulai bertingkah aneh… kalau
suaminya datang ke Jakarta menengoknya, si istri menghindar dan tidak mau
disentuh oleh suaminya. Pada saat suaminya bertanya apa penyebabnya, si istri
diam saja tidak menjawab. Pada suatu ketika saudara saya mempunyai firasat
tidak enak mengenai istrinya, kemudian dia datang ke Jakarta dan mendapati
istrinya menginap di sebuah hotel/wisma dengan menggunakan mobil yang dibeli
oleh suaminya, sedangkan anak-anaknya ditinggal dirumah ibunya. Setelah suami
istri ini berada di dalam mobil, suami bertanya apa keperluannya nginap di
wisma dan dengan siapa, si istri tidak menjawab…bahkan si istri marah dan
memaksa minta turun di jalan. Setelah istrinya turun di jalan, saudara saya
menjemput anak-anaknya di rumah mertuanya dan membawa anak-ankanya ke kota
tempat saudara saya bekerja dengan menggunakan mobil yang awalnya dibeli untuk
istrinya. Beberapa bulan kemudian saudara saya menerima surat panggilan dari
DepKes, karena istrinya mengajukan permohonan cerai. Karena pekerjaannya tidak
bisa ditinggal saudara saya baru bisa datang beberapa minggu kemudian setelah
surat panggilan tersebut , namun pejabat Depkes tidak bisa ditemui saat itu.
Akhirnya saudara saya membuat surat yang ditujukan ke pejabat Depkes yang
intinya…apabila istrinya minta cerai, hendaknya segera dikabulkan.
Dua
bulan setelah itu, saudara saya sakit parah yang membuatnya tidak bisa makan
dan berat badannya terus menurun. Pada saat itu saudara saya keluar dari
kerjaannya dan bersama kedua anaknya pulang ke rumah orang tuanya di Jakarta.
Dalam keadaan sakit, si istri pernah 2 kali datang ke rumah orang tua saudara
saya untuk mengambil anak-anaknya dengan cara yang tidak baik. Akhirnya anak
pertama berusia 8 tahun tetap ikut bapaknya, anak ke dua berusia 6 tahun ikut
ibunya. Saat si istri datang dan melihat suaminya dalam keadaan sakit, tidak
sedikitpun dia menanyakan kesehatan suaminya. Beberapa bulan kemudian saudara
saya mendapat surat panggilan lagi dari Depkes untuk dimintai keterangan
sehubungan permintaan cerai istrinya…Namun karena penyakit yang diderita
saudara saya bertambah parah (tidak bisa bangun dari tempat tidur), maka
saudara saya tidak memenuhi panggilan tersebut.
Empat
bulan kemudian saudara saya meninggal dunia. Dan sampai saat ini belum ada
surat cerai dari Pengadilan Agama. Saat ini anak yang berusia 8 tahun tinggal
dengan adik kandung almarhum.
Yang
ingin saya tanyakan adalah :
1.
Apakah si perempuan ini masih layak disebut sebagai istri almarhum, mengingat
sejak suaminya masih sehat perempuan ini sudah mengajukan permohonan cerai,
hanya karena dia seorang dokter maka dia harus minta ijin dari Depkes lebih
dulu. Dan selama suaminya sakit parah dia tidak pernah merawat suaminya.
2.
Apakah perempuan ini masih berhak atas mobil dan tabungan milik almarhum atau
haknya jatuh ke anaknya.
Mohon
kiranya Pak Ustad bisa memberi masukan untuk kami. Terima kasih sebelumnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb. Ita P.
Jawab : Wa’alaikumussalam wr.wb. Pertama, selama belum
jatuh thalaq dari suami, maka secara hukum dia masih sah sebagai istrinya.
Mengenai tidak merawat (melaksanakan kewajibannya) terhadap suami, itu
merupakan dosa bagi istri tersebut.
Kedua,
masalah mobil (kendaraan), jika hal itu diberikan untuk istrinnya maka itu
haknya, tapi jika mobil itu dibeli suami untuk kepentingan istri, maka
kendaraan itu merupakan waritsan dari suami untuk para ahli warits suami.
Diantara ahli warits itu adalah istri dan anak-anaknya. Begitupun harta
peninggalan yang lainnya termasuk tabungan. Allohu
A’lam