KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Minggu, 08 Desember 2013

MENITIP "SALAM"


Tanya : Assalamu’alaikum ... Kang Abu Alifa, apakah dibenarkan kita titip “salam”? Bagaimana jika ada yang titip salam? Apa pernah hal ini dicontohkan? Dhiyah
 
Jawab : Wa’alaikumussalam ... ada beberapa dalil menyebutkan tentang masalah yang dek Dhiyah tanyakan. 
Diantaranya :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا عَائِشَةُ، هَذَا جِبْرِيْلُ يَقْرَأُ عَلَيْكِ السَّلاَمَ. قَالَتْ: قُلْتُ: وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ، تَرَى مَا لاَ نَرَى.
 
Dari Aisyah ra ia berkata: Rasulullah saw  pernah berkata: “Wahai Aisyah, ini ada Jibril, dia titip salam untukmu.” Aisyah berkata: “Aku jawab, wa ‘alaihissalam wa rahmatullah (semoga keselamatan dan rahmat Allah tercurah untuknya), engkau dapat melihat apa yang tidak kami lihat.” (HR. al-Bukhari, no. 2217, Muslim, no. 2447)

عَنْ غَالِبٍ قَالَ: إِنَّا لَجُلُوْسٌ بِبَابِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ إِذْ جَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ: حَدَّثَنِيْ أَبِيْ عَنْ جَدِّيْ قَالَ: بَعَثَنِيْ أَبِيْ إِلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: اِئْتِهِ فَأَقْرِئْهُ السَّلاَمَ. قَالَ: فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ: أَبِيْ يُقْرِئُكَ السَّلاَمَ. فَقَالَ: عَلَيْكَ وَعَلَى أَبِيْكَ السَّلاَمَ.
 
Dari Ghalib rahimahullah ia berkata: Sesungguhnya kami pernah duduk-duduk di depan pintu (rumah) al-Hasan al-Bashri, tiba-tiba seseorang datang (kepada kami) dan bercerita: Ayahku bercerita dari kakekku, ia (kakekku) berkata: Ayahku pernah mengutusku untuk menemui Rasulullah saw lalu ia berkata: Datangilah beliau dan sampaikan salamku kepadanya. Ia (kakekku) berkata: Maka aku menemui beliau dan berkata: Ayahku titip salam untukmu. Maka beliau menjawab: “Wa ‘alaika wa ‘ala abikassalam (semoga keselamatan tercurah kepadamu dan kepada ayahmu).” (Sunan Abi Dawud, no. 5231)
Dari hadits diatas ada beberapa point yang bisa kita simpulkan :
1. Nabi saw pernah menyampaikan salam (titip salamnya) Jibril yang dialamatkan kepada Aisyah ra. Dengan begitu bahwa titip salam masyru’. 

2.Menjawab salam kepada yang nitip salam bisa sebanding atau lebih sesuai dengan lafadz salam yang masyru’.
Hal ini sesuai dengan firman Allah swt :

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوْهَا.
 
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang semisalnya). (QS. an-Nisa: 86)

Asy-Syaukani berkata: “Penghormatan di sini adalah ucapan salam, dan makna inilah yang dimaksudkan pada ayat ini.” (Tafsir Fath al-Qadir, surat an-Nisa` ayat 86)

Sedangkan Al-Qurthubi berpendapat bahwa: “Ulama sepakat bahwa memulai salam hukumnya sunnah yang sangat dianjurkan, sedangkan menjawab salam hukumnya wajib.” (Tafsir Fath al-Qadir, surat an-Nisa` ayat 86)

3. Disyariatkan juga menjawab salam bukan hanya kepada juga kepada yang menyampaikannya.
 
Kesimpulannya menitip salam dan menyampaikan salam serta menjawab salam adalah  masyru' (disyari'atkan). Allohu A'lam

Kamis, 05 Desember 2013

HUKUM MEMELIHARA BURUNG




Tanya : Assalamu’alaikum ... Ustadz Abu Alifa, mohon dijelaskan hukum memelihara burung pake sangkar, apakah dibolehkan? Terima kasih

Jawab : Wa’alaikumussalam....
Dalam sebuah hadis yang mengisyaratkan bolehnya memelihara burung. Hadis itu dari sahabat Anas bin Malik ra. Beliau memiliki adik laki-laki yang masih kanak-kanak, bernama Abu Umair. Si Adik memiliki burung kecil paruhnya merah, bernama Nughair
Anas menceritakan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا، وَكَانَ لِي أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ   – قَالَ: أَحْسِبُهُ – فَطِيمًا، وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ: «يَا أَبَا عُمَيْرٍ، مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ» نُغَرٌ كَانَ يَلْعَبُ بِهِ 

Nabi saw adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Saya memiliki seorang adik lelaki, namanya Abu Umair. Usianya mendekati usia baru disapih. Apabila Rasulullah saw datang, beliau memanggil, ‘Wahai Abu Umair, ada apa dengan Nughair?’ Nughair adalah burung yang digunakan mainan Abu Umair. (HR. Bukhari 6203, Muslim 2150)

Al-Hafidz Ibnu Hajar memberikan kesimpulan diantaranya: 

جواز إمساك الطير في القفص ونحوه 

“(Hadis ini dalil) bolehnya memelihara burung dalam sangkar atau semacamnya.” (Fathul Bari, 10/584).

Tidak ada larangan memelihara burung, tentu dengan syarat dipeliharanya dengan baik, seperti diberi makan dan lainnya. Dalam riwayat lain juga memberikan isyarat bolehnya memelihara hewan (tentu hewan yang tidak diharamkan).

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قال : ( عُذّبت امرأة في هرّة ، سجنتها حتى ماتت ، فدخلت فيها النار ؛ لا هي أطعمتها ، ولا سقتها إذ حبستها ، ولا هي تركتها تأكل من خشاش الأرض ) متفق عليه  .

Dari Abdullah ibn Umar ra, bahwasannya Rasulullah saw  bersabda : Seorang wanita disiksa disebabkan seekor kucing. Ia kurung (kucing itu) sampai mati, maka wanita itupun masuk neraka. Saat mengurung (kucing tersebut) wanita itu tidak memberinya makan dan minum, dan tidak pula melepaskannya supaya kucing itu mencari serangga bumi. (Mutafaq ‘Alaih)

Dari keterangan diatas hemat kami, bukan masalah memelihara atau dikandangin binatang itu, melainkan karena tidak diurusnya (yaitu) memberikan hak hidup dengan diberi makan dan minumnya .

Jadi secara hukum boleh kita memelihara hewan termasuk burung. Allohu A’lam

Selasa, 03 Desember 2013

NIKAH DENGAN SAUDARA SESUSUAN




Tanya : Assalamu’alaikum...! Pak ustadz, sebelumnya saya mau cerita bahwa ditempat tinggal saya ada yang sudah menikah kurang lebih satu tahun, bahkan sudah punya anak satu. Akan tetapi ada yang bilang (dulu tetangga dekat sekarang sudah pindah) mengatakan bahwa yang menikah itu adalah saudara sesusu, sebab katanya si B (yang menikah) kepada si A pernah dititipkan selama satu minggu dan dia melihatnya sering disusui oleh orang tua si A. Pak ustadz, bagaimana hukumnya sekarang jika benar ia itu saudara sesusu. Apa yang mesti dilakukan? (Mohon nama jangan dicantumkan). Wassalam.

Jawab : Wa’alaikumussalam . Diantara perempuan yang diharamkan untuk dinikahi adalah saudara sesusuan. Firman Allah swt :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا                  

“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perem-puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [An-Nisaa' : 23]

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، عَنْ عَمْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ "‏ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Basysyar, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya dari Malik dari Abdullah bin Abi Bakr dari 'Urwah dari Aisyah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Apa yang haram karena nasab adalah haram karena persusuan (Sunan an-Nasa'i 3302)

Maka  jika sudah pasti yang menikah itu adalah saudara sesusu, maka tentu harus dipisahkan (harus diceraikan) sekalipun ia sudah mempunyai anak. Hal inipun pernah terjadi pada masa Nabi saw.


عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ، أَنَّهُ تَزَوَّجَ ابْنَةً لأَبِي إِهَابِ بْنِ عَزِيزٍ، فَأَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ إِنِّي قَدْ أَرْضَعْتُ عُقْبَةَ وَالَّتِي تَزَوَّجَ بِهَا‏.‏ فَقَالَ لَهَا عُقْبَةُ مَا أَعْلَمُ أَنَّكِ أَرْضَعْتِنِي وَلاَ أَخْبَرْتِنِي‏.‏ فَرَكِبَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِالْمَدِينَةِ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ "‏ كَيْفَ وَقَدْ قِيلَ ‏"‏‏.‏ فَفَارَقَهَا عُقْبَةُ، وَنَكَحَتْ زَوْجًا غَيْرَهُ‏.‏

Dari 'Uqbah bin Al Harits; bahwasanya dia menikahi seorang perempuan putri  Ibnu Ihab bin 'Aziz. Lalu datanglah seorang perempuan dan berkata: "Aku pernah menyusui 'Uqbah dan wanita yang dinikahinya itu". Maka 'Uqbah berkata kepada perempuan itu: "Aku tidak tahu kalau kamu pernah menyusuiku dan kamu tidak memberitahu aku." Maka 'Uqbah mengendarai kendaraannya menemui Rasul saw di Madinah dan menyampaikan masalahnya. Maka Rasul saw bersabda: "harus bagaimana lagi, dia sudah mengatakannya (begitu)".  Maka 'Uqbah menceraikannya dan menikah dengan wanita yang lain. (HR. Bukhari).

Dengan demikian ia wajib untuk menceraikannya! Allohu A’lam

Senin, 04 November 2013

PERAYAAN BULAN MUHARRAM



Tanya : Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

Awalan saya haturkan terima kasih kepada saudara yang berkenan menyediakan semacam yaaaa layanan publikan yang menurut saya membantu. Saya ingin bertanya serta ingin tahu kegiatan apa yang menjadi tradisi masyarakat Yaman dalam memperingati bulam muharram? Seperti di Indonesia layaknya masyarakat di Pulau Jawa melakukan agenda Grebek Syuro memperingati 10 Assyuro dan apa pandangan anda terhadap kegiatan tersebut dilihat dari kaca mata Syariah?
Sekian pertanyaan yang saya ajukan dengan harapan saya mendapatkan jawaban guna menambah khazanah keilmuan saya.Akiron al-afu minkum wa aqululakum syukron kastiron. Ahmad Wildan Al-Jufri

Jawab : Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh

Bulan Muharram merupakan salah satu bulan dalam penanggalan Islam, bahkan bulan pertama dalam hitungan bulan-bulan Islam. Bulan ini termasuk salah satu dari empat bulan yang dijadikan Allah sebagi bulan haram, sebagaimana firman Allah swt :

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram.” (Q.S. at Taubah :36).
Dalam hadis Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda :

“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaiman bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan, diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada Tsaniah dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perayaan demi perayaan yang dilakukan pada bulan Muharam belum ditemukan landasan dalil yang kuat, baik yang dilakukan di Yaman atau di bumi nusantara (Indonesia). Belum didapatkan Nabi saw pernah menganjurkan perayaan-perayaan seperti yang marak belakangan ini. Ada yang mengaitkannya dengan peristiwa berdarah di Karbala, yaitu terbunuhnya cucu Nabi saw., ada juga yang dikaitkan dengan lebaran anak yatim dan sebagainya. Namun hal itu semua bukan merupakan bagian dari syariat yang mesti dijalankan.

Adapun syariat yang dianjurkan pada 10 Muharram itu adalah melaksanakan ibadah shiyam (puasa). Hal ini berdasarkan beberapa keterangan :

“Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah saw- pun melakukannya pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa.” (Hadits Shahih Riwayat Bukhari 3/454, 4/102-244, 7/147, 8/177,178, Ahmad 6/29, 30, 50, 162, Muslim 2/792, Tirmidzi 753, Abu Daud 2442, Ibnu Majah 1733, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/319,320, Al-Humaidi 200, Al-Baihaqi 4/288, Abdurrazaq 4/289, Ad-Darimy 1770, Ath-Thohawi 2/74 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5/253)

“Nabi saw tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :”Apa ini?” Mereka menjawab :”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :”Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.” (Hadits Shahih Riwayat Bukhari 4/244, 6/429, 7/274, Muslim 2/795, Abu Daud 2444, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/318, 319, Ahmad 1/291, 310, Abdurrazaq 4/288, Ibnu Majah 1734, Baihaqi 4/286,)

Yang disyariatkan pada tanggal 10 Muharam adalah melaksanakan shiyam (puasa), bahkan ditambah sehari sebelumnya yaitu tanggal 9 Muharam (Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445) sebagai bentuk perbedaan dengan orang-orang Yahudi. Allohu A’lam

Minggu, 27 Oktober 2013

MASALAH IQAMAH

Tanya : Bismillah... Afwan ustadz, saya simpatisan Persis, karena orang tua saya asli Persis. Dralam ta'lim yang diasuh oleh ustadz (Kajian Fiqh yang kebetulan sudah masuk bab Adzan dan Iqamah), kalau tidak salah ustadz menjelaskan bahwa Iqamah yang dua kali (Allohu Akbar-Allohu Akbar) itu disyari'atkan. Padahal seingat saya, Persis hanya mengajarkan Iqamah satu kali. Apakah hal ini tidak termasuk menyalahi jamiyyah Persis? HRI

Jawab : Terima kasih atas perhatian dari akhi ... semoga dengan ikut kajian, ilmu kita semakin bertambah, terlebih amal kita cocok dengan syariat.

Maaf sebelumnya akhi, sepengetahuan dan seingat ana Persis (dalam hal ini Dewan Hisbah) tidak pernah mempersoalkan (membahas) lafadz Iqamah yang dua kali, sebab tidak ada perbedaan (khilafiah) dalam masalah ini. Mengingat dalilnya qathi yang memjelaskan lafadz adzan maupun iqamahnya. Justru Dewan Hisbah Persis sudah beberapa kali membahas tentang kedudukan iqamah yang SATU KALI. Dan keputusan DH itu adalah bahwa iqamah yang satu kali disyariatkan. Allohu A'lam







Selasa, 22 Oktober 2013

KEDUDUKKAN HADITS MENYEMBELIH QURBAN DI HARI TASYRIQ


Hadits yang dijadikan dasar utk membolehkan menyembelih qurban pada hari Tasyriq adalah sebagai berikut :

(1) – عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنِ النَّبيّ ص قَالَ : .... كُلُّ اَيَّامِ التَّشْرِيْقِ ذَبْحٌ
(2) – عَنْ نَافِعٍ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ اَبِيْهِ أّنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ : اَيَّامُ التَّشْرِيْقِ كُلُّهَا ذَبْحٌ
(3) – عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : الأَضْحَى ثَلاَثَةَ اَيَّامٍ بَعْدَ يَوْمِ النَّحْرِ
(4) – عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنِ التَّبِيِّ ص قَالَ : كُلُّ مِنًى مَنْحَرٌ ، وَكُلُّ اَيَّامِ التَّشْرِيْقِ ذَبْحٌ

Penjelasan
v  Hadits no 1 diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnadnya hadits no 16151, Bai haqi dalam Sunan Kubra 9:295 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 6:62.
Pada sanad hadits ini terdapat rawi bernama  Sulaiman bin Musa al-Umawi  yang dibicarakan ulama hadits.
Tentang rawi ini Abu Hatim berkata : Dalam haditsnya terdapat idh-thirab (kegoncangan). Bukhari mengatakan : Ia meriwayatkan hadits munkar. Kata imam Nasaa`i : Ia tidak kuat dalam hadits. Ibnu Madini mengatakan : Hafalannya rusak menjelang wafatnya ( di akhir usianya ) .
(Lihat Tahdzibut Tahdzib 2:226-227; al-Kasyif 1:40 ; al-Mughni fi Dhu`afa` 1:284 ; Mizanul I`tidal  2:225; Lisanul Mizan 7:238; Diwanud Dhu`afa` wal Matrukin 1:358 al-Jarhu wat Ta`dil 4:141 dan Kitab Dhu`afa` wal Matrukin halaman 122)

v  Hadits no 2 diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan Kubra 9:296 dan Ibnu Adi dalam al-Kamil 6:400. Pada sanad hadits ini terdapat rawi Mu`awiyah bin Yahya ash-Shadafi.
       Tentang  rawi ini Abu Zur`ah mengatakan : Ia tidak kuat, hadits-haditsnya
       seakan-akan munkar. Ibnu Ma`in berkata : Haalikul hadits dan tidak teranggap.
       Imam al-   Jurjani menyebutnya :  Dzahibul Hadits dan Abu Hatim mengatakan :
       Ia lemah dan  dalam haditsnya terdapat kemunkaran.
       (Lihat Tahdzibut Tahdzib 10:219 ; al-Majruhin 3:3 ; al-Jarhu wat Ta`dil 8:383 ;
       al-Kasyif 3:141 ; al-Mughni fi Dhu`afaa` 2:66 ; Mizanul I`tidal 4:133 dan Lisanul
       Mizan 7:392 )

v  Hadits ke 3 diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan Kubra 9:296. Di samping ke mauqufannya , pada sanad hadits ini juga terdapat rawi Thalhah bin `Amr al-Hadhrami yang dilemahkan ulama hadits
Imam Ahmad dan Nasaa`i berkata: Matrukul Hadits. Bukhari menyebutnya : Ia bukan apa-apa, sedang Ibnu Ma`in mengatakan : Ia rawi yang dha`if.
(Lihat Tahdzibut Tahdzib 5:23 ; adh-Dhu`afa` wal Matrukin 1:408; al-Mughni fi Dhu`afaa` 1:316 ; al-Majruhin 1:378 dan Mizanul I`tidal 2:340 )

v  Hadits no 4 diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan Kubra 5:239, hadits ini juga lemah karena pada sanadnya terdapat rawi Sulaiman bin Musa al-Umawi.  Tentang kelemahannya lihat point 1.


Kesimpulan
  1. Oleh karena semua hadits yang menerangkan tentang adanya penyembelihan qurban pada hari Tasyriq tidak terlepas dari kelemahan , maka hadits-hadits tersebut tidak boleh diamalkan.
  2. Penyembelihan qurban hanya ada tanggal 10 Dzil Hijjah, adapun pembagian dagingnya boleh setelah itu.