KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Minggu, 03 Juni 2012

HAK ISTRI YANG MINTA CERAI


Tanya : Assalamu’alaikum Wr. Wb.  Pak Ustad, saya ingin menanyakan kejadian yang menimpa saudara saya. Dia seorang laki-laki, sudah menikah  (mereka menikah tanpa paksaan) dan dikaruniai 2 orang anak. Karena saudara saya mendapat pekerjaan di luar kota, maka tinggallah dia di luar kota. Istrinya tidak ikut ke luar kota karena dia dinas di puskesmas di Jakarta. Sebenarnya suaminya menyuruh si istri untuk tetap tinggal di rumah (rumah tersebut milik keluarga suami, yang kosong) yang sudah beberapa tahun mereka tempati di dekat tempat istrinya bekerja. Namun ibu mertuanya (ibu dari istrinya) menyuruh untuk tinggal bersama ibunya. Akhirnya si istri pindah ke rumah ibunya. Setiap mendapatkan cuti dari kantor saudara saya selalu menengok istri dan anak-anaknya. Pernah juga istri dan anak-anaknya diajak menginap di kota tempat suaminya bekerja. Setahun setelah saudara saya bekerja di luar kota, dia membeli mobil yang tujuan awalnya untuk dikendarai oleh istrinya bekerja. Di tahun kedua, istri mulai bertingkah aneh… kalau suaminya datang ke Jakarta menengoknya, si istri menghindar dan tidak mau disentuh oleh suaminya. Pada saat suaminya bertanya apa penyebabnya, si istri diam saja tidak menjawab. Pada suatu ketika saudara saya mempunyai firasat tidak enak mengenai istrinya, kemudian dia datang ke Jakarta dan mendapati istrinya menginap di sebuah hotel/wisma dengan menggunakan mobil yang dibeli oleh suaminya, sedangkan anak-anaknya ditinggal dirumah ibunya. Setelah suami istri ini berada di dalam mobil, suami bertanya apa keperluannya nginap di wisma dan dengan siapa, si istri tidak menjawab…bahkan si istri marah dan memaksa minta turun di jalan. Setelah istrinya turun di jalan, saudara saya menjemput anak-anaknya di rumah mertuanya dan membawa anak-ankanya ke kota tempat saudara saya bekerja dengan menggunakan mobil yang awalnya dibeli untuk istrinya. Beberapa bulan kemudian saudara saya menerima surat panggilan dari DepKes, karena istrinya mengajukan permohonan cerai. Karena pekerjaannya tidak bisa ditinggal saudara saya baru bisa datang beberapa minggu kemudian setelah surat panggilan tersebut , namun pejabat Depkes tidak bisa ditemui saat itu. Akhirnya saudara saya membuat surat yang ditujukan ke pejabat Depkes yang intinya…apabila istrinya minta cerai, hendaknya segera dikabulkan.
Dua bulan setelah itu, saudara saya sakit parah yang membuatnya tidak bisa makan dan berat badannya terus menurun. Pada saat itu saudara saya keluar dari kerjaannya dan bersama kedua anaknya pulang ke rumah orang tuanya di Jakarta. Dalam keadaan sakit, si istri pernah 2 kali datang ke rumah orang tua saudara saya untuk mengambil anak-anaknya dengan cara yang tidak baik. Akhirnya anak pertama berusia 8 tahun tetap ikut bapaknya, anak ke dua berusia 6 tahun ikut ibunya. Saat si istri datang dan melihat suaminya dalam keadaan sakit, tidak sedikitpun dia menanyakan kesehatan suaminya. Beberapa bulan kemudian saudara saya mendapat surat panggilan lagi dari Depkes untuk dimintai keterangan sehubungan permintaan cerai istrinya…Namun karena penyakit yang diderita saudara saya bertambah parah (tidak bisa bangun dari tempat tidur), maka saudara saya tidak memenuhi panggilan tersebut.
Empat bulan kemudian saudara saya meninggal dunia. Dan sampai saat ini belum ada surat cerai dari Pengadilan Agama. Saat ini anak yang berusia 8 tahun tinggal dengan adik kandung almarhum.
Yang ingin saya tanyakan adalah :
1. Apakah si perempuan ini masih layak disebut sebagai istri almarhum, mengingat sejak suaminya masih sehat perempuan ini sudah mengajukan permohonan cerai, hanya karena dia seorang dokter maka dia harus minta ijin dari Depkes lebih dulu. Dan selama suaminya sakit parah dia tidak pernah merawat suaminya.
2. Apakah perempuan ini masih berhak atas mobil dan tabungan milik almarhum atau haknya jatuh ke anaknya.
Mohon kiranya Pak Ustad bisa memberi masukan untuk kami. Terima kasih sebelumnya. Wassalamu’alaikum Wr.Wb. Ita P.

Jawab : Wa’alaikumussalam wr.wb. Pertama, selama belum jatuh thalaq dari suami, maka secara hukum dia masih sah sebagai istrinya. Mengenai tidak merawat (melaksanakan kewajibannya) terhadap suami, itu merupakan dosa bagi istri tersebut.  

Kedua, masalah mobil (kendaraan), jika hal itu diberikan untuk istrinnya maka itu haknya, tapi jika mobil itu dibeli suami untuk kepentingan istri, maka kendaraan itu merupakan waritsan dari suami untuk para ahli warits suami. Diantara ahli warits itu adalah istri dan anak-anaknya. Begitupun harta peninggalan yang lainnya termasuk tabungan. Allohu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar