KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Kamis, 28 Maret 2013

MENYALAHI WASIAT (?)



Tanya : Bismillah … pak ustadz punten (maaf) saya mau bertanya mengenai wasiat. Begini ustadz, saya merupakan tiga saudara, 2 laki-laki dan 1 perempuan. Saudara saya yang perempuan sudah lama meninggal dua bulan setelah ayah kami meninggal. Dan saudara perempuan itu mempunyai dua orang anak. Kurang lebih dua minggu yang lalu ibu kami meninggal. Pada saat mau dibagikan waritsan peninggalan ibu, saya dan kakak bersepakat untuk memberikan sebagian waritsan (yang tentu merupakan bagian kami berdua) kepada kedua anak saudara perempuan kami kurang lebih 2/4 dari waritsan itu karena untuk mereka berdua. Artinya kami dan keponakan sama-sama menerima 1/4 dari waritsan ibu. Apakah hal tersebut menyalahi wasiat? DG
 
Jawab : Bapak DG, perlu dipahami bahwa wasiat itu bukan kesepakatan dan bukan datang dari ahli warits. Wasiat merupakan amanat yang disampaikan dari yang akan meninggal bertalian dengan harta yang akan ditinggalkannya.


كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ


Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. 2:180)


Artinya wasiat itu (kalau dalam peristiwa bapak) adalah yang disampaikan atau ditulis oleh ibu sebelum meninggal. Jadi, kesepakatan bapak berdua bukan wasiat dan juga tidak menyalahi wasiat. Bahkan jika bapak berdua bersepakat mau memberikan semua harta untuk kedua anak saudara perempuan tersebut, hal itu tidak menyalahi aturan hukum warits. Allohu A’lam

Sabtu, 23 Maret 2013

SIAPA WALI NIKAH SAYA (?)

Tanya : Assalamu’alaikum pak ustadz … saya seorang gadis yang malang yang tidak mengetahui siapa ayah saya dan keluarga ayah saya. Namun belakangan ada informasi bahwa kelahiran saya… (hiks..) dari hubungan gelap (zina) alias Anak Haram. Seandainya menikah siapa yang akan menjadi wali saya? (Maaf Ukhti (N)… Abu cut sebagian yg ukhti paparkan)
 
Jawab : Wa’alaikumussalam … ukhti (N) dalam Islam tidak dikenal istilah anak haram, sebab semua bayi yang lahir dalam keadaan fitrah (suci). Yang haram itu jelas yang dilakukan oleh dua orang yang berzina itu.

Mengenai posisi wali nikah ukhti, insya Allah syariat Islam mempuyai cara jika nantinya ukhti mau menikah! Sabda Nabi saw :

“….. Sulthan (penguasa) adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali.” (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah dari ‘Aisyah ra)

Jika dikaitkan dengan Negara kita, maka sulthan adalah Presiden. Artinya ukhti berhak dinikahkan oleh Presiden atau oleh orang yang ditunjuk dan diberi kuasa oleh presiden untuk menikahkan. Allohu A’lam

Senin, 18 Maret 2013

Sabtu, 09 Maret 2013

MEMANDANG GADIS MEMBATALKAN WUDHU (?)

Tanya : Assalamu’alaikum pak ustadz Abu Alifa … Begini ustadz, waktu saya selesai wudhu, diberitahu oleh teman saya bahwa ada wanita cantik. Kemudian saya melihatnya (maaf lama sekali) sampai gadis itu tidak terlihat. Kemudian saya bermaksud masuk ke masjid hendak shalat. Tiba-tiba teman saya bilang bahwa wudhu kamu batal karena barusan dengan sengaja melihat gadis tersebut lama sekali, hal tersebut haram dilakukan dan menyebabkan wudhu juga batal. Apakah benar ustadz bahwa melihat gadis atau wanita cantik seperti yang saya lakukan dapat membatalkan wudhu?
 
Jawab : Wa’alaikumussalam … melihat wanita baik sengaja atau tidak sengaja bukanlah termasuk dari hal-hal yang membatalkan wudhu. Jadi wudhu anda tidak batal.

Mengenai memandang wanita dengan sengaja dan bukan muhrim merupakan perbuatan yang diharamkan.

قلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُوْنَ وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ…

Katakanlah kepada para lelaki yang beriman, “Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”, dan katakanlah kepada para wanita yang beriman, “Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka…..(QS. An-Nuur 30)

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجَاءَةِ, فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِيْ

“Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang pandangan yang tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau memerintahan aku untuk memalingkan pandanganku” (HR.Muslim no 45 dari Jabir bin Abdillah ra)
Dari Buraidah, dia berkata, “Rasulullah saw berkata kepada Ali ra
 

يَا عَلِيّ ُ! لاَتُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ, فَإِنَّمَا لَكَ الأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الأَخِيْرَةُ

“Wahai Ali janganlah engkau mengikuti pandangan (pertama yang tidak sengaja) dengan pandangan (berikutnya), karena bagi engkau pandangan yang pertama (tidak dosa) dan dosa bagimu pandangan yang berikutnya (pandangan yang kedua)” (HR Abu Dawud no 2149 Kitabun Nikah, At-Tirmidzi no 2777 Kitabul-Adab, Syaikh Al-Albani memandang sebagai hadits Hasan)

Dengan demikian memandang wanita (bukan muhrim) tidak membatalkan wudhu. Dan memandang wanita bukan muhrim termasuk perbuatan yang dilarang (haram). Allohu A’lam

Jumat, 08 Maret 2013

UJIAN SARINGAN TIGA LAPIS SOCRATES

Suatu hari seorang pria bertemu dengan Socrates dan berkata, “Tahukah Anda apa yang baru saja saya dengar mengenai salah seorang teman Anda?” Tunggu sebentar, jawab Socrates. “Sebelum memberitahukan sesuatu, saya ingin Anda melewati sebuah ujian kecil. Ujian tersebut saya namakan Ujian Saringan Tiga Lapis.” Saringan Tiga Lapis? Tanya pria tersebut. Betul …! Lanjut Socrates.
 
Sebelum anda mengatakan kepada saya mengenai teman saya, merupakan ide yang bagus untuk menyediakan waktu sejenak dan menyaring apa yang akan anda katakan tentang teman saya. Itulah kenapa saya sebut sebagai Ujian Saringan Tiga Lapis.

Saringan yang pertama adalah KEBENARAN. Sudah pastikah Anda bahwa apa yang akan Anda katakan kepada saya benar? “Tidak”, kata pria tersebut. “Sesungguhnya saya baru saja mendengarnya dan ingin memberitahukannya kepada Anda”. “Baiklah”, kata Socrates. “Jadi anda sungguh tidak tahu hal ini benar atau tidak”.

Sekarang mari kita coba saringan kedua, yaitu KEBAIKAN. Apakah yang akan Anda katakana kepada saya mengenai teman saya adalah suatu yang baik? Tanya Socrates. “Tidak, sebaliknya mengenai hal yang buruk”. Jawab pria tersebut. Jadi, lanjut Socrates, anda ingin mengatakan sesuatu yang buruk mengenai dia, tapi Anda sendiri tidak yakin kalau itu benar!

Anda mungkin masih bias lulus ujian selanjutnya, yaitu KEGUNAAN. Apakah yang akan Anda beri tahukan kepada saya tentang teman saya tersebut akan berguna buat saya? Tanya Socrates. “Tidak, sungguh tidak”, jawab pria tersebut. Kalau begitu, simpul Socrates. “Jika apa yang Anda ingin beri tahukan kepada saya tidak benar, tidak juga baik, bahkan tidak berguna untuk saya, mengapa Anda ingin menceritakannya kepada saya?” (sumber : Manajemen Alhamdulillah)

Rabu, 06 Maret 2013

KHITBAH (MEMINANG) DALAM ISLAM


Tanya : Assalamu’alaikum pak ustadz sebenarnya kedudukan melamar perempuan dalam Islam itu bagaimana? Apakah jika tidak melamar dulu dan langsung aqad nikah dibolehkan?

Jawab : Wa’alaikumussalam .. Dalam Al-Quran sebenarnya sudah disinggung adanya masalah melamar atau meminang (khitbah).

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِۦ مِنْ خِطْبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنتُمْ فِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُوا۟ قَوْلًۭا مَّعْرُوفًۭا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا۟ عُقْدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ ٱلْكِتَٰبُ أَجَلَهُۥ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ فَٱحْذَرُوهُ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌۭ

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang suaminya telah meninggal dan masih dalam ‘iddah) itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf (sindiran yang baik). Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya. (QS.2 : 235)

Khitbah atau melamar, meski bagaimanapun tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya atau menentukan waktu untuk melaksanakan akad nikah saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

“Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)

Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sampai terjadinya aqad nikah.

Melamar atau khitbah diibaratkan sebagai sebuah tangga yang bias saja dilewati, jika mampu untuk loncat atau naik keatas. Artinya jika ia datang dan langsung aqad nikah, maka tentu hal tersebut tidak menyalahi syariat. Dengan catatan kedua belah pihak setuju untuk dilangsungkan aqad nikah. Allohu A’lam