KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Minggu, 08 Desember 2013

MENITIP "SALAM"


Tanya : Assalamu’alaikum ... Kang Abu Alifa, apakah dibenarkan kita titip “salam”? Bagaimana jika ada yang titip salam? Apa pernah hal ini dicontohkan? Dhiyah
 
Jawab : Wa’alaikumussalam ... ada beberapa dalil menyebutkan tentang masalah yang dek Dhiyah tanyakan. 
Diantaranya :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا عَائِشَةُ، هَذَا جِبْرِيْلُ يَقْرَأُ عَلَيْكِ السَّلاَمَ. قَالَتْ: قُلْتُ: وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ، تَرَى مَا لاَ نَرَى.
 
Dari Aisyah ra ia berkata: Rasulullah saw  pernah berkata: “Wahai Aisyah, ini ada Jibril, dia titip salam untukmu.” Aisyah berkata: “Aku jawab, wa ‘alaihissalam wa rahmatullah (semoga keselamatan dan rahmat Allah tercurah untuknya), engkau dapat melihat apa yang tidak kami lihat.” (HR. al-Bukhari, no. 2217, Muslim, no. 2447)

عَنْ غَالِبٍ قَالَ: إِنَّا لَجُلُوْسٌ بِبَابِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ إِذْ جَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ: حَدَّثَنِيْ أَبِيْ عَنْ جَدِّيْ قَالَ: بَعَثَنِيْ أَبِيْ إِلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: اِئْتِهِ فَأَقْرِئْهُ السَّلاَمَ. قَالَ: فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ: أَبِيْ يُقْرِئُكَ السَّلاَمَ. فَقَالَ: عَلَيْكَ وَعَلَى أَبِيْكَ السَّلاَمَ.
 
Dari Ghalib rahimahullah ia berkata: Sesungguhnya kami pernah duduk-duduk di depan pintu (rumah) al-Hasan al-Bashri, tiba-tiba seseorang datang (kepada kami) dan bercerita: Ayahku bercerita dari kakekku, ia (kakekku) berkata: Ayahku pernah mengutusku untuk menemui Rasulullah saw lalu ia berkata: Datangilah beliau dan sampaikan salamku kepadanya. Ia (kakekku) berkata: Maka aku menemui beliau dan berkata: Ayahku titip salam untukmu. Maka beliau menjawab: “Wa ‘alaika wa ‘ala abikassalam (semoga keselamatan tercurah kepadamu dan kepada ayahmu).” (Sunan Abi Dawud, no. 5231)
Dari hadits diatas ada beberapa point yang bisa kita simpulkan :
1. Nabi saw pernah menyampaikan salam (titip salamnya) Jibril yang dialamatkan kepada Aisyah ra. Dengan begitu bahwa titip salam masyru’. 

2.Menjawab salam kepada yang nitip salam bisa sebanding atau lebih sesuai dengan lafadz salam yang masyru’.
Hal ini sesuai dengan firman Allah swt :

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوْهَا.
 
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang semisalnya). (QS. an-Nisa: 86)

Asy-Syaukani berkata: “Penghormatan di sini adalah ucapan salam, dan makna inilah yang dimaksudkan pada ayat ini.” (Tafsir Fath al-Qadir, surat an-Nisa` ayat 86)

Sedangkan Al-Qurthubi berpendapat bahwa: “Ulama sepakat bahwa memulai salam hukumnya sunnah yang sangat dianjurkan, sedangkan menjawab salam hukumnya wajib.” (Tafsir Fath al-Qadir, surat an-Nisa` ayat 86)

3. Disyariatkan juga menjawab salam bukan hanya kepada juga kepada yang menyampaikannya.
 
Kesimpulannya menitip salam dan menyampaikan salam serta menjawab salam adalah  masyru' (disyari'atkan). Allohu A'lam

Kamis, 05 Desember 2013

HUKUM MEMELIHARA BURUNG




Tanya : Assalamu’alaikum ... Ustadz Abu Alifa, mohon dijelaskan hukum memelihara burung pake sangkar, apakah dibolehkan? Terima kasih

Jawab : Wa’alaikumussalam....
Dalam sebuah hadis yang mengisyaratkan bolehnya memelihara burung. Hadis itu dari sahabat Anas bin Malik ra. Beliau memiliki adik laki-laki yang masih kanak-kanak, bernama Abu Umair. Si Adik memiliki burung kecil paruhnya merah, bernama Nughair
Anas menceritakan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا، وَكَانَ لِي أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ   – قَالَ: أَحْسِبُهُ – فَطِيمًا، وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ: «يَا أَبَا عُمَيْرٍ، مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ» نُغَرٌ كَانَ يَلْعَبُ بِهِ 

Nabi saw adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Saya memiliki seorang adik lelaki, namanya Abu Umair. Usianya mendekati usia baru disapih. Apabila Rasulullah saw datang, beliau memanggil, ‘Wahai Abu Umair, ada apa dengan Nughair?’ Nughair adalah burung yang digunakan mainan Abu Umair. (HR. Bukhari 6203, Muslim 2150)

Al-Hafidz Ibnu Hajar memberikan kesimpulan diantaranya: 

جواز إمساك الطير في القفص ونحوه 

“(Hadis ini dalil) bolehnya memelihara burung dalam sangkar atau semacamnya.” (Fathul Bari, 10/584).

Tidak ada larangan memelihara burung, tentu dengan syarat dipeliharanya dengan baik, seperti diberi makan dan lainnya. Dalam riwayat lain juga memberikan isyarat bolehnya memelihara hewan (tentu hewan yang tidak diharamkan).

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قال : ( عُذّبت امرأة في هرّة ، سجنتها حتى ماتت ، فدخلت فيها النار ؛ لا هي أطعمتها ، ولا سقتها إذ حبستها ، ولا هي تركتها تأكل من خشاش الأرض ) متفق عليه  .

Dari Abdullah ibn Umar ra, bahwasannya Rasulullah saw  bersabda : Seorang wanita disiksa disebabkan seekor kucing. Ia kurung (kucing itu) sampai mati, maka wanita itupun masuk neraka. Saat mengurung (kucing tersebut) wanita itu tidak memberinya makan dan minum, dan tidak pula melepaskannya supaya kucing itu mencari serangga bumi. (Mutafaq ‘Alaih)

Dari keterangan diatas hemat kami, bukan masalah memelihara atau dikandangin binatang itu, melainkan karena tidak diurusnya (yaitu) memberikan hak hidup dengan diberi makan dan minumnya .

Jadi secara hukum boleh kita memelihara hewan termasuk burung. Allohu A’lam

Selasa, 03 Desember 2013

NIKAH DENGAN SAUDARA SESUSUAN




Tanya : Assalamu’alaikum...! Pak ustadz, sebelumnya saya mau cerita bahwa ditempat tinggal saya ada yang sudah menikah kurang lebih satu tahun, bahkan sudah punya anak satu. Akan tetapi ada yang bilang (dulu tetangga dekat sekarang sudah pindah) mengatakan bahwa yang menikah itu adalah saudara sesusu, sebab katanya si B (yang menikah) kepada si A pernah dititipkan selama satu minggu dan dia melihatnya sering disusui oleh orang tua si A. Pak ustadz, bagaimana hukumnya sekarang jika benar ia itu saudara sesusu. Apa yang mesti dilakukan? (Mohon nama jangan dicantumkan). Wassalam.

Jawab : Wa’alaikumussalam . Diantara perempuan yang diharamkan untuk dinikahi adalah saudara sesusuan. Firman Allah swt :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا                  

“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perem-puanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [An-Nisaa' : 23]

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، عَنْ عَمْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ "‏ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Basysyar, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya dari Malik dari Abdullah bin Abi Bakr dari 'Urwah dari Aisyah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Apa yang haram karena nasab adalah haram karena persusuan (Sunan an-Nasa'i 3302)

Maka  jika sudah pasti yang menikah itu adalah saudara sesusu, maka tentu harus dipisahkan (harus diceraikan) sekalipun ia sudah mempunyai anak. Hal inipun pernah terjadi pada masa Nabi saw.


عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ، أَنَّهُ تَزَوَّجَ ابْنَةً لأَبِي إِهَابِ بْنِ عَزِيزٍ، فَأَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ إِنِّي قَدْ أَرْضَعْتُ عُقْبَةَ وَالَّتِي تَزَوَّجَ بِهَا‏.‏ فَقَالَ لَهَا عُقْبَةُ مَا أَعْلَمُ أَنَّكِ أَرْضَعْتِنِي وَلاَ أَخْبَرْتِنِي‏.‏ فَرَكِبَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِالْمَدِينَةِ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ "‏ كَيْفَ وَقَدْ قِيلَ ‏"‏‏.‏ فَفَارَقَهَا عُقْبَةُ، وَنَكَحَتْ زَوْجًا غَيْرَهُ‏.‏

Dari 'Uqbah bin Al Harits; bahwasanya dia menikahi seorang perempuan putri  Ibnu Ihab bin 'Aziz. Lalu datanglah seorang perempuan dan berkata: "Aku pernah menyusui 'Uqbah dan wanita yang dinikahinya itu". Maka 'Uqbah berkata kepada perempuan itu: "Aku tidak tahu kalau kamu pernah menyusuiku dan kamu tidak memberitahu aku." Maka 'Uqbah mengendarai kendaraannya menemui Rasul saw di Madinah dan menyampaikan masalahnya. Maka Rasul saw bersabda: "harus bagaimana lagi, dia sudah mengatakannya (begitu)".  Maka 'Uqbah menceraikannya dan menikah dengan wanita yang lain. (HR. Bukhari).

Dengan demikian ia wajib untuk menceraikannya! Allohu A’lam