KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Rabu, 12 Desember 2012

FOREPLAY (MULA'ABAH) SAAT MAU JIMA'



Tanya : Assalamu’alaikum …sebelumnya saya mohon maaf jika pertanyaan yang diajukan kurang sopan. Tetapi karena keingintahuan sebelum pada tataran pelaksanaan, saya mengajukan pertanyaan. Adakah dalam Islam cara berhubungan dengan suami, dan bagaimana caranya menurut sunnah Nabi saw. Apakah diperkenankan suami istri melihat auratnya? Dan bolehkan suami atau istri memegangnya? Sekali lagi saya mohon maaf jika pertanyaan ini tidak layak? (mohon email jgn dicantumkan). Wassalam


Jawab : Wa’alaikumussalam … tidak perlu merasa malu jika hal itu bertalian dengan syariat yang akan dilakukan. Sebab berhubungan suami istri merupakan syariat dan bernilai ibadah! Sabda Nabi saw :

“…Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah.


Diantara anjuran Nabi saw yang merupakan pedoman saat berhubungan dengan pasangan kita (suami istri), diantaranya : Pertama, berdoa sebelum akan memulai berhubungan, bahkan sebaiknya istri kita diajak shalat 2 rakaat (dulu).


Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata: Aku memberi nasehat kepada seorang pria yang hendak menikahi pemudi yang masih gadis, karena ia takut isterinya akan membencinya jika ia mendatanginya, yaitu perintahkanlah (diajak) agar ia melaksanakan sholat 2 rakaat dibelakangmu dan berdoa : Ya Allah berkahilah aku dan keluargaku dan berkahilah mereka untukku. Ya Allah satukanlah kami sebagaimana telah engkau satukan kami karena kebaikan dan pisahkanlah kami jika Engkau pisahkan untuk satu kebaikan (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Thabrani dngan sanad Sahih).


Adapun do’a sebelum melakukan hubungan adalah :


لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِىَ أَهْلَهُ فَقَالَ بِاسْمِ اللَّهِ ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا . فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِى ذَلِكَ لَمْ يَضُرُّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا


“Jika salah seorang dari kalian ingin berhubungan intim dengan istrinya, lalu ia membaca do’a: [Bismillah Allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa], “Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami”, kemudian jika Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya” (HR. Bukhari no. 6388 dan Muslim no. 1434).


As-Shan’ani (Subulu as-Salam Bab Nikah), Ibnu Hajar Al-Asqalany dalam Fathul Bari (9: 228) mengatakan bahwa do’a tersebut diucapkan sebelum memulai berhubungan.


Kedua, melakukan mula’abah. Diantara salah satu unsure penting ketika akan melakukan jima (hubungan suami istri) adalah pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (saya menggunakan istilah mula’abah/saling memainkan). Karena dianggap sangat penting,”prolog” sebelum berjima’ sampai Nabi saw menganjurkannya, dengan sabdanya :


“Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu,” (HR. At-Tirmidzi).


Ciuman dalam hadits tersebut tentu bukan kiasan, akan tetapi makna yang sesunggguhnya. Hal ini bias dilihat dari hadits yang lain ketika seorang shahabat (Jabir ra) sudah melangsungkan akad nikah, kata beliau “Mengapa engkau tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria? Berciuma yang dapat saling mengigit bibir denganmu,” (HR. Bukhari no. 5079 dan Muslim II:1087).


Sedangkan rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan yang dapat memikat pasangan, menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima’. Dalam istilah fiqih kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats, yang tentu saja haram diucapkan kepada selain istrinya.


Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat. Sedangkan Syaikh Nashirudin Al-Albany, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali

“Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat dan meraba (termasuk memegang) seluruh lekuk tubuh pasangannya, dan kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu. Itulah diantara pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.” Sebab istri (pasangan) diibaratkan kebun.



Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (QS.2 : 223)



Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.


Ketiga, ada kain yang menutupi. Sekalipun suami istri sudah halal baik melihat dan bahkan bertelanjang bulat, namun Nabi saw menganjurkan ditengah ketelanjangan itu hendaknya ditutupi oleh kain (selimut).


Dari ‘Atabah bin Abdi As-Sulami bahwa apabila kalian mendatangi istrinya (berjima’), maka hendaklah menggunakan penutup dan janganlah telanjang seperti dua ekor himar. (HR Ibnu Majah).
 
Keempat, jangan cepat meniggalkan/melepaskan istri.  

Kelima, selesai berhubungan mencuci kemaluan dan berwudhu (dahulu) jika ingin mengulanginya lagi. Dari  semua itu kita harus keyakinan bahwa berjima antara suami istri merupakan bentuk ibadah! Allohu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar