Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada
tanggal 12 Agustus 2007 menggelar Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta.
Konferensi yang diisi dengan orasi-orasi, khususnya dari tokoh-tokoh Hibut
Tahrir dalam dan luar negri. Perhelatan itu digelar bertepatan dengan tanggal
28 Rajab 1428 H, yang merupakan tanggal berakhirnya kekhalifahan Islam, dimana
pada tanggal tersebut Khilafah Utsmaniyyah dihapuskan oleh penguasa sekuler
Turki. Kemal Ataturk, pada tahun 1924. Jargon yang selalu diusung HTI adalah
" Khilafah is solution ".
Banyak pihak berasumsi bahwa dengan
digelarnya konferensi tersebut, kondisi umat Islam Indonesia akan segera
berubah drastis, khilafah akan langsung berdiri, dan syari'at Islam akan segera
berlaku di seluruh Indonesia. Tapi tidak sedikit pula pihak yang skeptis dengan
ide dan gagasan khilafah dengan membentuk satu kekuasaan politik tunggal bagi
seluruh umat Islam di muka bumi. Mereka menilai ide khilafah tersebut adalah
sebuah utopia atau ilusi, sebagai sebuah romantisme dan idealisasi sejarah
belaka. Mereka mempertanyakan relevansi, kelayakan, dan viability ide tersebut
di tengah realitas dunia muslim Indonesia dan internasional saat ini.
Istilah atau sebutan khalifah sudah
diberikan pertama kali oleh Allah kepada Nabi Adam as, seperti disebutkan di
QS. Al-Baqarah : 30. Lebih populer lagi pasca Nabi Muhammad saw. Dalam hadits
yang diriwayatkan imam Al-Bukhari Nabi saw mengisyaratkan bahwa Bani Israel
adalah sebuah bangsa yang secara terus menerus dibimbing oleh para nabi, setiap
kali seorang nabi wafat Allah mengutus nabi pengganti, tapi sesudah Nabi
Muhammad saw tidak akan ada lagi nabi, yang akan ada adalah para khalifah yang
jumlahnya banyak. (HR. Ahmad dari Abu Hurairah ra).
Para sejarawan membagi khilafah
Islam menjadi empat masa :1) Khulafaur Rasyidin ( 632-661 M ); 2) Khilafah Bani
Umayah ( 661-750 M); 3) Khilafah Bani Abasiyah ( 750-1517 M ); dan 4) Khilafah
Utsmaniyyah ( 1517-1924 M ). Walhasil Khilafah Islam merupakan fakta sejarah
yang pernah bertahan selama 13 abad, dan itu tidak bisa dipungkiri, sebuah usia
yang sangat panjang untuk ukuran sebuah negara ideologis, yang wilayah
kekuasaannya meliputi lebih dari setengah bagian dunia. Sistem khilafah pernah
menjadi sebuah kekuatan besar yang sangat disegani, dan mempersatukan banyak
negara dan bangsa dalam satu payung kekuasaan. Memang ada yang menilai bahwa
kekhilafahan berakhir dengan wafatnya Nabi saw. Seperti pandangan kaum syi'ah,
karena diyakini semua sahabat sepeninggal Nabi saw. murtad, kecuali hanya : Salman
Al-Farisi, Al-Mikdad bin Al-Aswad, dan Abu Dzar al-Ghifari. Ada juga yang
menyatakan bahwa kekhalifahan berakhir sampai khulafaur Rasyidin yang empat,
karena selebihnya tidak dipilih berdasar syura, tapi lebih mirip kerajaan
(monarkhi) yang turun temurun. Ada juga yang menilai kekhilafahan berakhir
dengan jatuhnya khilafah Bani Abasiyah, karena setelah itu khilafah tidak lagi
di tangan Bangsa Quresy.
Gagasan untuk menghidupkan kembali
sistem khilafah nampaknya tidak pernah padam. Jamaluddin Al-Afghani pernah
mengusung ide khilafah (politik) di Istambul dan khilafah (keagamaan) di
Makkah. Demikian juga para pemikir Islam lainnya seprti Abdurahman Al-Kawakibi
( Suriah ), Abul 'Ala Al-Maududi ( Pakistan ), Taqi al-Din Al-Nabhani (
Palestina ) pendiri Hizbut Tahrir, dsb.
Istilah demokrasi berasal dari
bahasa Yunani yang merupakan gabungan dari dua kata : yaitu Demos yang artinya
rakyat, dan kratos yang berarti pemerintahan. Jadi demokrasi bermakna
pemerintahan atau kekuatan rakyat ( power or strength of the people ). Abraham
Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, yang
dijalankan oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat ( goverment of the people,
by the people, and for the people ). DR. Abdul Wahab Al-Kiyali menyebutkan
bahwa negara demokrasi berdiri di atas satu dasar pemikiran, yaitu bahwa
kekuasaan kembali kepada rakyat, dan rakyatlah yang berdaulat. ( Mausu'atus
siyasah II:756). DR. Hamid Mutawali menjelaskan : Demokrasi adalah
perundang-undangan yang dibangun di atas prinsip kedaulatan rakyat, sedangkan
kedaulatan sesuai dengan pengertiannya adalah kekuasaan tertinggi yang tidak
ada kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya ( Tandimatul Hukmi Fid Dualin
Namiyyah, 1985). Dalam konsep Demokrasi, dinyatakan bahwa suara rakyat adalah suara
Tuhan (vox populi vox Dei).
Abu A'la Al-Maududi membedakan
antara " Kedaulatan Rakyat " dalam konsep demokrasi Barat ( western
democracy ) dengan " Khilafah Rakyat " dalam konsep Islam. Dalam
konsep Kedaulatan Rakyat, rakyat berdaulat atas segala-galanya dan menjadi
tujuan akhir yang tertinggi, sedangkan Khilafah Rakyat berarti kedaulatan milik
Allah, rakyat adalah khalifah yang dituntut melaksanakan ketentuan dan kemauan
Allah. Pemerintah dan rakyat bersama-sama memenuhi kehendak dan tujuan Allah.
Konsep demokrasi menghendaki rakyatlah yang membuat undang-undang, menurut kemauannya masing-masing. Rakyat bebas sebebas-bebasnya menjalankan kehendaknya dan menentukan garis hidupnya. Pemerintah hanya berkewajiban untuk memenuhi apa yang dikehendaki rakyatnya. Dalam konsep Islam, menurut Maududi, rakyat menaati undang-undang yang telah digariskan oleh Allah lewat syari'at-Nya yang sempurna, potensi kreatif dan kebebasan melahirkan undang-undang tetap diakui, namun harus merujuk pada ketentuan-ketentuan universal syari'at. Dengan kata lain, Sumber Hukum dalam sistem demokrasi adalah Undang-Undang Dasar (UUD) yang dibuat oleh rakyat, sementara dalam sistem khilafah sumber hukum adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dari segi Azas, demokrasi azasnya adalah sekularisme ( pemisahan agama dari kehidupan publik ), sedang dalam sistem khilafah asasnya adalah akidah Islamiyyah yang mewajibkan menerapkan syariat Islam dalam segala bidang kehidupan. Disinilah letak perbedaannya, suara rakyat dalam demokrasi adalah absolut, sedangkan dalam sistem khilafah yang absolut adalah suara dan kemauan Allah, Konsekwensinya, menurut HAR. Gibb dalam Modern Trends in Islam, Vox Populi (Suara Rakyat) dalam pandangan Islam harus tunduk pada Vox Dei ( Suara Tuhan ) dan Vox Propethei ( Kemauan Nabi ).
Pihak-pihak yang tidak setuju dengan
sistem khilafah sering berargumen dengan fakta sejarah, bahkan fragmentasi
sejarah kekhilafahan, yang memang diwarnai dengan deviasi atau penyimpangan
dari tuntunan syari'at, dengan terjadinya pembunuhan, perebutan kekuasan dengan
pertumpahan darah. Atau mereka mengukur sistem khilafah dengan sistem demokrasi
Barat. Sementara dalam realitanya sistem demokrasi yang konon mengharuskan
penggunaan cara-cara damai ( non violence ) dan menjunjung tinggi HAM mengalami
banyak sekali deviasi. Apa yang dilakukan AS dan sekutunya di Irak menghapus
rezim otoriter dan mengakkan demokrasi tapi dengan cara barbar dan biadab,
Kemenangan FIS di Aljazair dan Hamas di Palestina yang menang secara mutlak
dengan cara demokratis tapi kemudian tidak diakui, merupakan secuil contoh dari
penyimpangan itu. Dari dua contoh kasus terakhir ini, nampak menjadi
antagonistik, ketika mayoritas rakyat menghendaki penerapan syariat Islam,
justru Negara-negara pengasong demokrasi yang keras menentangnya. Kalangan
cendekiawan Muslim seperti Prof. Abdullah Ahmad Na'im asal Sudan dalam karyanya
: Towards an Islamic Reformation menolak intervensi Negara dalam penerapan
syari'at Islam, karena hal itu dinilai bertentangan dengan sifat dan tujuan
syariat itu sendiri yang hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh
penganutnya. Syaria'h kata Na'im akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya
bila diterapkan melalui Negara. Ia menekankan perlunya netralitas Negara
terhadap agama dan pemisahan kelembagaan antara Islam dengan Negara. Pemikiran
Na'im ini menjadi aneh, sebab beberapa perangkat hukum dalam syariat Islam
meniscayakan campur tangan Negara, untuk mencegah terjadinya kekacauan. Dalam
pelaksanaan hukum kriminal, pengaturan ekonomi, pernikahan, warits, dan
sebagainya rasanya sulit membayangkan Negara untuk tetap netral. Di Indonesia
saja urusan pernikahan, zakat, haji, wakaf, dan sebagainya telah melibatkan
campur tangan Negara, dan itu berjalan biasa-biasa saja. Banyak cendekiawan
yang menolak sistem yang ditawarkan Islam dengan merelatiftak syari'ah sebagai
produk fikiran manusia terhadap al-Qur'an dan as-Sunnah yang tidak bisa lepas
dari pengaruh ruang dan waktu, konteks historis, sosial, dan politik
penafsirnya. Tapi dalam waktu yang bersamaan mereka malah mengabsolutkan dan
mengidealkan HAM dan Demokrasi yang jelas-jelas itu produk pikiran manusia yang
dipengaruhi oleh setting sosial-politik dan kerangka filosofis sekuler para
Pencetusnya ? Wallahu A'lam bis showab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar