KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Rabu, 07 Januari 2015

QASHAR BAGI MUSAFIR (Fiqh Ikhtilaf-3)

C. Safar & Batasannya

1. Ma'na Safar

Dalam bahasa Arab, safar berarti menempuh perjalanan. Adapun secara syariat safar adalah meninggalkan tempat sendiri dimana ia bermukim dengan niat menempuh perjalanan menuju suatu tempat. (lihat Lisanu al-arab, 6/277,   Fiqhu al-Sunnah, 1/472). 

Kata sufru adalah bentuk jamak dari kata safir, sedangkan kata musafirun adalah bentuk jamak dari kata musafir. Kedua kata tersebut yaitu sufru dan musafir mempunyai arti yang sama nampak atau kenal. Seseorang yang bepergian dinamakan musafir karena musafir itu bisa dikenal wajahnya oleh banyak orang; bepergian juga menyebabkan mengenal tempat-tempat yang belum dia ketahui, jati dirinya yang sebenarnya bisa dikenal orang dan menyebabkan dia keluar melalui tempat yang tidak berpenghuni.

Bepergian dinamakan safar, karena dengan bepergian itu para musafir bisa dikenali akhlaqnya sehingga akan tampak jelas sifat-sifat yang tersembunyi dalam diri mereka. Dari keterangan di atas jelas bagi kita, bahwa safar adalah menempuh perjalanan. Menempuh perjalanan dinamakan dengan safar, karena dengan bepergian itu akhlak musafir bisa diketahui. Ada ungkapan orang-orang Arab: “Safarat al mar’atu ‘an wajhiha”, yang artinya seorang wanita tersebut menampakkan mukanya. 

Jadi safar adalah keluar bepergian meninggalkan kampung halaman (tempat ia tinggal) dengan maksud menuju suatu tempat, dan akan kembali ketempat ia berangkat. Dan bukanlah termasuk safar jika menjadi rutinitas harian. Sehingga jarak atau lamanya yang ditempuh itu bukanlah yg membatasi seseorang itu safar atau bukan.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Al-Qur`an dan as-Sunnah tidak mengkhususkan satu jenis safar untuk mengqashar shalat,...". Nabi saw juga tidak membatasi jarak safar yang boleh qashar dengan batasan waktu dan tempat tertentu. Juga tidak mungkin hal itu dapat dibatasi dengan batasan yang shahîh, karena bumi tidak bisa diukur dengan ukuran yang baku dalam keumuman safar. Demikian juga gerak musafir berbeda-beda. Barang siapa yang membagi safar dengan safar dekat dan jauh, dan mengkhususkan sebagian hukum safar dengannya, dan sebagian lain dengan yang lain, serta menjadikannya berhubungan dengan safar yang jauh, maka ia tidak memiliki hujjah yang wajib dirujuk".

2. Jarak Safar

Terjadi perbedaan dikalangan para ulama ketika menentukan jarak yang ditempuh sehingga dikatakan sebagai safar. Ash-Shan’ani menyebutkan ada sekitar 20 pendapat dalam permasalahan ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Mundzir(Subulu as-Salam, 3/109). Bisa dilihat juga dalam Fiqih Lima Mazhab karya Muhammad Jawad Mughniyah (terjemahan)


Diantara perbedaan jarak tempuh yang dapat dikatakan safar adalah :
Pertama,  minimal suatu perjalanan dianggap/disebut safar adalah 4 barid = 16 farsakh = 48 mil = 85 km. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan Al-Bashri, Az-Zuhri, Malik, Ahmad, dan Asy-Syafi’i. Dalilnya adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas :

كَانَا يُصَلِّيَانِ رَكْعَتَيْنِ وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةٍ بُرُدٍ فَمَا فَوْقَ ذَلِكَ

“Adalah beliau berdua (Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas) shalat dua rakaat (qashar) dan tidak shaum dalam perjalanan 4 barid atau lebih dari itu.” (Diriwayatkan Al-Baihaqi) 

Mereka juga berdalil dengan sabda Nabi saw :

يَا أَهْلَ مَكَّةَ، لاَ تَقْصُرُوا الصَّلَاةَ فِي أَقَلِّ مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عَسْفَانَ

“Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar shalat (dalam perjalanan) kurang dari 4 barid dari Makkah ke ‘Asfan” (Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi). 

Kedua, minimal sebuah perjalanan dianggap/disebut safar adalah sejauh perjalanan 3 hari 3 malam (berjalan kaki atau naik unta). Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Suwaid bin Ghafalah, Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar ra:

لاَ تُسَافِرُ الْـمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ


“Tidak boleh seorang wanita safar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya." (HR. Al-Bukhari, Kitabul Jum’ah, Bab Fi Kam Yaqshuru Ash-Shalah no. 1034
 

Ketiga, minimal sebuah perjalanan dianggap safar adalah sejauh perjalanan sehari penuh. Pendapat ini dipilih oleh Al-Auza’i dan Ibnul Mundzir.


Keempat, bahwa qashar tidak memiliki jarak tertentu.Ini adalah madzhab Zhahiriyah, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu al-Qayyim.(Al-Muhalla (V/10), Majmu' al-Fatawa (XXIV/12-35), Zad al-Ma'ad dan Fath al-Bari (Il/660) dan al-Mughni (Il/44). 

Ibnu Taimiyah mengatakan “Setiap nama dimana tidak ada batas tertentu baginya dalam bahasa maupun agama, maka dalam hal itu dikembalikan kepada pengertian umum saja, sebagaimana ‘bepergian” dalam pengertian kebanyakan orang yaitu bepergian dimana Allah mengaitkannya dengan suatu hukum.  

Hujjah mereka adalah sebagai berikut:

Firman Allah swt: "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu) ... "(an-Nisa': 101)


Zhahir ayat diatas menunjukkan bahwa qashar berlaku untuk setiap orang yang melakukan perjalanan tanpa adanya batasan jarak tertentu. Nabi saw tidak membatasi qashar dengan batasan waktu dan tempat. Maka secara syar'i hanya mengaitkan qashar dengan safar secara mutlak. Sehingga tidak dibenarkan membedakan satu jenis safar dengan safar lainya.

Sedangkan Ibnul-Qayyim berkata: "Semua yang diriwayatkan dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang pembatasan safar dengan satu hari, dua hari atau tiga hari, maka tidak ada yang shahîh sedikitpun darinya"

3. Batas Waktu Safar


Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:

Sahabat Jabir ra meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat.(HR. Ahmad)


Sahabat Ibnu Abbas ra meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah saw tinggal di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar shalat.(HR.Bukhary)

Nafi' rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar ra tinggal di Azzerbaijan selama enam bulan mengqashar shalat.(HR.al-Baihaqy)



Hasan berkata : Aku pernah tinggal bersama Abdurrahman bin Samurah (shahabat Nabi) di Kabul selama dua tahun, yang senantiasa mengqashar tapi tidak menjama' (lihat A.Zakaria Al-Hidayah h.9)
Berkata Anas : Para shahabat Nabi pernah tinggal pernah menetap di Rum Hurmuz selama tujuh bulan, dan mereka senantiasa mengqashar shalatnya (Ibid)


Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah saw tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir (perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerah perantauan tersebut (Majmu' Fatawa, Fiqhu al-Sunnah 1/309-312)

Hemat kami seorang musafir boleh mengqashar (meringkas) shalatnya sepanjang ia tidak berniat pindah untuk menetap atau muqim di daerah yang ia tuju.

Bersambung...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar