Tanya : Assalamu’alaikum …sebelumnya saya mohon maaf jika
pertanyaan yang diajukan kurang sopan. Tetapi karena keingintahuan sebelum pada
tataran pelaksanaan, saya mengajukan pertanyaan. Adakah dalam Islam cara
berhubungan dengan suami, dan bagaimana caranya menurut sunnah Nabi saw. Apakah
diperkenankan suami istri melihat auratnya? Dan bolehkan suami atau istri
memegangnya? Sekali lagi saya mohon maaf jika pertanyaan ini tidak layak?
(mohon email jgn dicantumkan). Wassalam
Jawab : Wa’alaikumussalam … tidak perlu merasa malu jika hal itu bertalian
dengan syariat yang akan dilakukan. Sebab berhubungan suami istri merupakan
syariat dan bernilai ibadah! Sabda Nabi saw :
“…Dalam kemaluanmu itu
ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat
pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika
kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga
sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu
Khuzaimah.
Diantara anjuran Nabi saw yang merupakan pedoman saat
berhubungan dengan pasangan kita (suami istri), diantaranya : Pertama, berdoa sebelum akan memulai
berhubungan, bahkan sebaiknya istri kita diajak shalat 2 rakaat (dulu).
Dari Abdullah bin
Mas’ud ia berkata: Aku memberi nasehat kepada seorang pria yang hendak menikahi
pemudi yang masih gadis, karena ia takut isterinya akan membencinya jika ia
mendatanginya, yaitu perintahkanlah (diajak) agar ia melaksanakan sholat 2
rakaat dibelakangmu dan berdoa : Ya Allah berkahilah aku dan keluargaku dan
berkahilah mereka untukku. Ya Allah satukanlah kami sebagaimana telah engkau
satukan kami karena kebaikan dan pisahkanlah kami jika Engkau pisahkan untuk
satu kebaikan (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Thabrani dngan sanad Sahih).
Adapun do’a sebelum melakukan hubungan adalah :
لَوْ أَنَّ
أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِىَ أَهْلَهُ فَقَالَ بِاسْمِ اللَّهِ ،
اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا .
فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِى ذَلِكَ لَمْ يَضُرُّهُ شَيْطَانٌ
أَبَدًا
“Jika salah seorang dari kalian ingin berhubungan intim
dengan istrinya, lalu ia membaca do’a: [Bismillah Allahumma jannibnaasy
syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa], “Dengan (menyebut) nama
Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari
rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami”, kemudian jika Allah menakdirkan
(lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan
anak tersebut selamanya” (HR. Bukhari no. 6388 dan Muslim no. 1434).
As-Shan’ani (Subulu as-Salam Bab Nikah), Ibnu Hajar
Al-Asqalany dalam Fathul Bari (9: 228) mengatakan bahwa do’a tersebut diucapkan
sebelum memulai berhubungan.
Kedua, melakukan mula’abah. Diantara salah satu unsure penting ketika akan melakukan jima (hubungan suami istri) adalah pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (saya menggunakan istilah mula’abah/saling memainkan). Karena dianggap sangat penting,”prolog” sebelum berjima’ sampai Nabi saw menganjurkannya, dengan sabdanya :
“Janganlah salah
seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia
terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu,” (HR. At-Tirmidzi).
Ciuman dalam hadits tersebut tentu bukan kiasan, akan tetapi
makna yang sesunggguhnya. Hal ini bias dilihat dari hadits yang lain ketika
seorang shahabat (Jabir ra) sudah melangsungkan akad nikah, kata beliau
“Mengapa engkau tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling
bercanda ria? Berciuma yang dapat saling mengigit bibir denganmu,” (HR. Bukhari
no. 5079 dan Muslim II:1087).
Sedangkan rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan yang dapat memikat pasangan, menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima’. Dalam istilah fiqih kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats, yang tentu saja haram diucapkan kepada selain istrinya.
Selain
ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra.
Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk
disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat
jima’. Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat. Sedangkan Syaikh Nashirudin
Al-Albany, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali
“Diperbolehkan
bagi suami istri untuk melihat dan meraba (termasuk memegang) seluruh lekuk
tubuh pasangannya, dan kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang
boleh dinikmati dalam bercumbu. Itulah diantara pandangan Imam Malik dan ulama
lainnya.” Sebab istri (pasangan) diibaratkan kebun.
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu
bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana
saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan
berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (QS.2 : 223)
Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya
suami istri mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah
pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai
antara pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar
menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.
Ketiga, ada kain yang menutupi. Sekalipun suami istri sudah halal baik melihat dan bahkan bertelanjang bulat, namun Nabi saw menganjurkan ditengah ketelanjangan itu hendaknya ditutupi oleh kain (selimut).
Dari ‘Atabah bin Abdi
As-Sulami bahwa apabila kalian mendatangi istrinya (berjima’), maka hendaklah
menggunakan penutup dan janganlah telanjang seperti dua ekor himar. (HR Ibnu Majah).
Keempat, jangan cepat meniggalkan/melepaskan istri.
Kelima, selesai berhubungan mencuci kemaluan dan berwudhu (dahulu) jika ingin mengulanginya lagi. Dari semua itu kita harus keyakinan bahwa berjima antara suami istri merupakan bentuk ibadah! Allohu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar