Oleh: al-Ustadz Amin Saefullah Muchtar
Sogok/suap dan hadiah merupakan fenomena
yang tidak asing dalam masyarakat kita. Banyak istilah yang digunakan
untuk kedua masalah ini, seperti dari ucapan terima kasih, parsel, money
politik, uang pelicin, pungli dan lain sebagainya. Hanya saja istilah
hadiah di samping mengandung makna positif juga mengandung makna
negatif. Dalam Bahasa Indonesia hadiah bisa diartikan sebagai suatu
penghargaan atas prestasi seseorang dalam suatu kompetisi atau pemberian
atas kebaikan hati seseorang. Selain itu hadiah juga bisa bermakna
sebuah pemberian yang berhubungan dengan kepentingan-kepentingan
pribadi.
Dari sudut pandang hukum Islam, wawasan
masyarakat sangat terbatas mengenai masalah sogok dan hadiah. Sebagian
masyarakat beranggapan bahwa sogok bukan sebuah kejahatan, tetapi hanya
kesalahan kecil. Sebagian lain, walaupun mengetahui bahwa sogok adalah
terlarang, namun mereka tidak peduli dengan larangan tersebut. Apalagi
karena terpengaruh dengan keuntungan yang didapatkan.
Di pihak lain masayarakat menganggap
sogok itu sebagai hadiah atau tanda terima kasih. Bahkan ada yang
beranggapan sebagai uang jasa atas bantuan yang telah diberikan
seseorang, sehingga mereka tidak merasakan hal itu sebagai sebuah
kesalahan atau pelanggaran apalagi kejahatan.
Sudah menjadi rahasia umum betapa banyak
risywah terjadi di bidang peradilan yang diberikan untuk memenangkan
perkara. Demikian pula di bidang pekerjaan, baik Pegawai Negeri Sipil
(PNS), swasta, anggota polisi dan tentara, dan malah di dunia pendidikan
pun hal ini terjadi. Perbuatan tersebut tanpa ada perasaan risih
dilakukan oleh orang yang mengerti hukum dan aturan.
Sejauhmana sebenarnya batas-batas pemisah
antara sogok dan risywah juga hadiah dalam pandangan Hukum Islam? Hal
ini memerlukan kajian yang mendalam dari sudut pandang hukum Islam, agar
umat memahami dan mengerti dengan baik sehingga mereka berbuat sesuai
dengan ajaran Islam.
Pengertian Risywah
Secara haqiqah lughawiyah (hakikat bahasa) kata risywah (رشوةِ) berasal dari kata risya (رشاء) maknanya
الَّذِي يُتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى الْمَاءِ
“tali timba yang berfungsi mengantarkan timba sehingga bisa sampai ke air” (an-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, II:546)
Secara haqiqah ‘urfiyah (hakikat adat kebiasaan) kata risywah (رشوةِ) maknanya
الوُصْلَةُ إِلَى الْحَاجَةِ بِالْمُصَانَعَةِ
“alat penghubung terwujudnya kebutuhan dengan suap” (al-Faiq fi Gharib Al-Hadits, II:60)
Namun dapat bermakna pula al-ja’lu/al-ju’lu, yaitu
مَا يُعْطِيهِ الشَّخْصُ الْحَاكِمَ أَوْ غَيْرَهُ لِيَحْكُمَ لَهُ ، أَوْ يَحْمِلَهُ عَلَى مَا يُرِيْدُ
“Pemberian seseorang kepada hakim atau
yang lainnya supaya memberikan keputusan yang menguntungkannya atau
membuat orang yang diberi melakukan apa yang diinginkan oleh yang
memberi” (Lihat, Tajul ‘Arus min Jawahiril Qamus, XXXVIII:153)
Secara haqiqah syar’iyyah (hakikat syariat) kata risywah (رشوةِ) maknanya
مَا يُعْطَى لإِبْطَالِ حَقٍّ أَوْ لإِحْقَاقِ بَاطِلٍ
“Pemberian untuk membatalkan kebenaran dan membenarkan yang batil” (Lihat, Syarhus Sunnah, X:88)
Berbagai pendekatan di atas menunjukkan
bahwa makna risywah secara istilah syar’i lebih spesifik, yaitu
pemberian kepada seseorang supaya yang benar menjadi salah dan yang
salah menjadi benar. Jadi, secara syariat suatu pemberian dapat
dikategorikan delik risywah jika membuat yang benar menjadi salah dan
yang salah menjadi benar. Tentu saja salah dan benar yang dimaksud di
sini menurut parameter syariat, bukan semata-mata ‘urf atau adat
kebiasaan manusia.
Secara praktek dapat dipastikan bahwa risywah melibatkan dua pihak (ar-rasyi dan al-murtasyi). Namun terkadang melibatkan pula pihak ketiga (ar-Raisy).
Imam Ibnul Jauzi menjelaskan:
الرَّاشِي الَّذِيْ يُعْطِي مَنْ يُعِينُهُ عَلَى البَاطِلِ والمُرْتَشِي الآخِذُ وَالَّذِيْ يَسْعَى بَيْنَهُما يُسَمَّى الرَّائشُ
“Ar-Rasyi adalah orang yang memberikan
harta kepada orang lain yang membantunya pada kebathilan. Al Murtasyi
adalah yang mengambil harta tersebut. Dan yang berperan (perantara) di
antara keduanya disebut ar-Raisy”. (Lihat, Gharib Al-Hadits, I:395)
Imam as-Shan’ani menjelaskan:
والرَاشِي: هُوَ الَّذِي يُبَذِّلُ الْمَالَ لِيَتَوَصَّلُ اِلَى البَاطِلِ.
Ar-Rasyi adalah orang yang memberikan harta agar sampai kepada kebathilan.
وَالْمُرْتَشِي: آخْذُ الرُّشْوَةِ
Al Murtasyi adalah yang mengambil risywah.
وَالرَّائِشُ : وَهُوَ الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا
Ar Raisy adalah yang mengadakan terjadinya risywah (perantara). (Lihat, Subul as-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, III:423)
Keharaman Risywah
Di dalam ayat Alquran istilah risywah
tidak disebutkan secara tersurat. Namun Alquran menggunakan ungkapan
lain yang bermakna risywah, yaitu as-suht. Allah berfirman:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” Q.s. Al Maidah:42
Kalimat akkaaluna lissuhti secara
umum sering diterjemahkan dengan memakan harta yang haram. Namun
konteksnya adalah memakan harta berstatus risywah. Penafsiran ini sesuai
dengan penjelasan Nabi:
كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ بِالسُّحْتِ
فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللَّهِ وَمَا السُّحْتُ
؟ قَالَ الرِّشْوَةُ فِى الْحُكْمِ – رواه ابن جرير عن عمر -
“Setiap daging yang tumbuh karena
as-suht, maka api nereka lebih utama kepadanya” Mereka bertanya, “Wahai
Rasul, apa as-suht itu?” beliau menjawab, “Risywah dalam hukum”(H.r. Ibnu Jarir, dari Umar)
Jadi risywah identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah swt.
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا
فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”Dan janganlah sebahagian kamu memakan
harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (Q.s. Al Baqarah:188)
Sedangkan dalam sunah keharaman risywah diungkap secara sharih (tegas dan jelas), antara lain sebagai berikut:
لَعْنَةُ الله عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي في الحُكْمِ
“Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap dalam hukum” (H.r. Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
لَعْنَةُ الله عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
“Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap” (H.r. al-Khamsah kecuali an-Nasa’i dan di shahihkan oleh at-Tirmidzi)
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا
“Rasulullah saw. melaknat ar-rasyi dan al-murtasyi, yakni yang berjalan (perantara) di antara keduanya ” (H.r. Ahmad)
Dalam riwayat Ahmad, Abu Daud, dan
at-Tirmidzi (dari Abu Hurairah) risywah itu dilarang dalam bidang
peradilan. Akan tetapi dalam riwayat al-khamsah selain an-Nasai (dari
Abdullah bin Amr dan Tsauban) pelarangan risywah berlaku secara umum
tanpa mengkhususkan dalam bidang peradilan. Kedua hadis ini menunjukkan
pelarangan risywah berlaku di bidang apapun. Hanya saja risywah di dunia
peradilan memiliki peluang yang sangat besar, karena dalam bidang
peradilan terjadi perebutan hak bagi bagi orang-orang yang berperkara.
Risywah dalam bidang ini disebut as-suht.
Yang Termasuk Diharamkan Terkait dengan Risywah
Kalau diperhatikan lebih seksama ternyata
hadis-hadis itu bukan hanya mengharamkan memakan harta hasil dari
risywah, melainkan juga mengharamkan peran aktif berbagai pihak yang
terlibat dalam terwujudnya risywah itu. Adapun pihak-pihak yang
diharamkan ada tiga: yaitu (1) rasyi (pemberi sogokan), (2) murtasyi
(penerima sogokan), (3) raisy (Mediator terjadinya sogokan).
Hal itu dapat dimengerti karena tanpa
peran aktif dari ketiga pihak itu “transaksi” risywah tidak akan
berjalan dengan lancar, bahkan tidak terwujud. Artinya, tidak akan
mungkin terjadi seseorang “memakan” harta berstatus risywah, kalau tidak
ada rasyi. Maka rasyi pun termasuk mendapat laknat dari Allah. Karena
pekerjaan dan inisiatif dialah ada orang yang makan harta berstatus
risywah. Dan dalam kasus tertentu selalu ada pihak yang menjadi mediator
atau perantara yang bisa memuluskan jalan. Sebab bisa jadi pihak rasyi
tidak mau menampilkan diri, maka dia akan menggunakan pihak lain sebagai
mediator. Atau sebaliknya, pihak murtasyi tidak mau bertemu langsung
dengan rasyi, maka peran mediator itu penting. Dan sebagai mediator ia
mendapatkan kompensasi tertentu dari hasil kerjanya itu.
Secara praktik kasus suap pada zaman Umar dapat kita jadikan contoh:
عن زيد بن أسلم، عن أبيه: كان
عمر إذا بعثني إلى بعض ولده قال: لا تعلمه لما أبعث إليه مخافة أن يلقنه
الشيطان كذبة. فجاءت امرأة لعبيدالله بن عمر ذات يوم، فقالت: إن أبا عيسى
لا ينفق علي ولا يكسوني.فقال: ويحك ومن أبو عيسى ؟ قالت: ابنك.قال: وهل
لعيسى من أب ؟ فبعثني إليه وقال: لا تخبره. فأتيته وعنده ديك ودجاجة
هنديان، قلت: أجب أباك. قال: وما يريد ؟، قلت: نهاني أن أخبرك. قال: فإني
أعطيك الديك والدجاجة. قال فاشترطت عليه أن لا يخبر عمر، وأخبرته
فأعطانيهما.فلما جئت إلى عمر، قال: أخبرته ؟ – فوالله ما استطعت أن أقول لا
– فقلت: نعم فقال: أرشاك ؟ قلت: نعم، وأخبرته، فقبض على يدي بيساره، وجعل
يمصعني بالدرة وأنا أنزو. فقال: إنك لجليد
Aslam (Maula Umar) berkata: “Umar,
bila mengutus aku kepada sebagian putranya, ia berkata, ‘Janganlah kamu
memberi tahu kepadanya mengapa aku mengutusmu khawatir setan membisikan
kedustaan kepadanya’. Ia berkata, “Pada suatu hari datang istri Ibnu
Umar (menemui Umar), lalu berkata, ‘Sesungguhnya Abu Isa tidak memberi
nafkah dan pakaian kepadaku’ Maka ia berkata, ‘Celaka, siapa Abu Isa
itu?’ Ia menjawab, ‘Putramu’ Ia berkata, ‘Apakah Isa punya bapak!’ Maka
Ia (Umar) mengutusku untuk menemuinya, dan ia berpesan, “Janganlah kamu
memberitahu kepadanya” Ia berkata, “Lalu aku menemuinya dan ia punya
ayam jantan dan ayam betina India” Aku berkata, “Penuhilah panggilan
ayahmu Amirul Mukminin” Ia berkata, “Apa yang dikehendaki beliau
dariku?” Aku berkata, “Beliau melarangku untuk mengabarkannya kepadamu,
aku tidak tahu” Kata Ibnu Umar, “Kalau kamu memberitahuku, aku akan
memberi ayam jantan dan ayam betina” Ia berkata, “Aku menetapkan syarat
kepadanya agar ia tidak memberi tahu Umar (bahwa aku membocorkannya),
maka aku memberitahukannya. Lalu ia memberiku ayam jantan dan betina
sebagai kompensasi pemberitahuanku. Ketika aku mendatangi Umar, ia
berkata, ‘Apakah kamu memberitahunya’ Demi Allah aku tidak sanggup
mengatakan ‘tidak’, maka aku katakan ‘Ya’ Ia berkata, ‘Apakah dia
menyuapmu’ Aku katakan, ‘Ya’ Ia berkata, ‘Apa yang diberikan kepadamu?’
Aku katakan, “ayam jantan dan betina” Maka beliau memegang tanganku
dengan tangan kirinya, lalu memukul aku dengan durrah, dan aku merasa
malu/hina. Maka beliau berkata, ‘Sesungguhnya kamu pasti dijilid’.” (H.r. al-Qa’nabi, Tarikh al-Islam Imam adz-Dzahabi, IV:99-100; H.r Ibnu Syabah, Tarikh al-Madinah, II:321 dengan sedikit perbedaan redaksi. Riwayat ini sahih, sebagaimana dinyatakan pula oleh Abdus Salam bin Muhsin Ali Isa (Dirasah Naqdiyah fil Marwiyat al-waridah fi Syakhshiyah Umar bin al-Khatab, hal. 251)
Risywah untuk Memperoleh Hak & mencegah kezaliman
Jumhur ulama membolehkan risywah yang
dilakukan untuk memperoleh hak dan mencegah kezhaliman seseorang.
Kebolehan itu berdasarkan hadis Nabi saw. dan atsar Ibnu Mas’ud sebagai
berikut:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه
وسلم يَقُوْلُ إنِّي لَأُعْطِي أَحَدَهُمْ الْعَطِيَّةَ فَيَخْرُجُ بِهَا
يَتَأَبَّطُهَا نَارًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلِمَ تُعْطِيهِمْ ؟
قَالَ يَأْبُونَ إلَّا أَنْ يَسْأَلُونِي وَيَأْبَى اللَّهُ لِي الْبُخْلَ
Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya aku
memberi seseorang pemberian, lalu dengan pemberian tersebut dia
terhindar dari api. Lalu sahabat bertanya, ‘Kenapa engkau memberi mereka
ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, “Mereka enggan, kecuali mereka meminta
kepadaku. Allah pun enggan kalau aku bakhil” (H.r. Ahmad)
عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ عَنِ ابْن مَسْعُودٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّهُ لَمَّا
أَتَى أَرْضَ الْحَبَشَةِ أَخَذَ بِشَىْءٍ فَتُعُلِّقَ بِهِ فَأَعْطَى
دِينَارَيْنِ حَتَّى خُلِّىَ سَبِيلُهُ
Dari al-Qasim bin Abdurrahman, dari
Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ketika ia datang ke negeri Habsyah, ia membawa
sesuatu, maka ia ditahan karena sesuatu itu. Lalu ia memberi dua dinar
sehingga ia dibebaskan. (H.r. al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra, juz X:139)
Dalam riwayat Ibnu Abu Syaibah dengan redaksi
لَمَّا أَتَى أَرْضَ الْحَبَشَةِ أُخِذَ فِي شَيْءٍ فَأَعْطَى دِينَارَيْنِ حَتَّى خُلِّي سَبِيلَهُ.
Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ketika
ia datang ke negeri Habsyah, ia ditahan karena sebab sesuatu. Lalu ia
memberi dua dinar sehingga ia dibebaskan. (al-Mushannaf, VI:557)
Dalam konteks ini kita dapat memahami pernyataan Jabir bin Zaid:
لَمْ نَجِدْ فِي ذَلِكَ الزَّمَانِ لَنا شَيْئاً أَنْفَعَ لَنَا مِنَ الرِّشَا.
“Pada zaman itu, kami tidak mendapatkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi kami selain risywah” (H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, VI:557)
Pernyataan ini menunjukkan bahwa pada
saat itu (zaman kekuasaan Ziyad dari Bani Umayyah) risywah merupakan
sarana yang paling efektif untuk melindungi jiwa dan harta dari sikap
penguasa yang bertindak sewenang-wenang.
Sehubungan dengan itu para ulama dari kalangan tabi’in, antara lain Jabir bin Zaid dan as-Sya’bi berpendapat:
لاَ بَأْسَ أَنْ يُصَانِعَ الرَّجُلُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَالِهِ إذَا خَافَ الظُّلْمَ
“Tidak mengapa seseorang menyuap untuk (keselamatan) diri dan hartanya apabila khawatir terhadap kezaliman” (H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, VI:557)
وقيل لوهب بن منبه : الرشوة حرام
فى كل شىء ؟ قال لا إنما يكره من الرشوة أن ترشى لتعطى ما ليس لك ، أو
تدفع حقا قد لزمك ، فأما أن ترشى لتدفع عن دينك ومالك ودمك فليس بحرام
Wahb bin Munabbih ditanya apakah
risywah itu diharamkan pada segala sesuatu, maka ia menjawab: ”Tidak,
risywah itu diharamkan jika engkau memberi sesuatu pada orang lain
supaya engkau diberi sesuatu yang bukan hakmu atau supaya engkau bebas
dari kewajibanmu. Adapun jika engkau melakukan risywah dalam rangka
membela agamamu, nyawamu, atau hartamu maka tidaklah haram”. (H.r. al-Baihaqi)
Meskipun demikian para ulama sepakat
bahwa dalam konteks ini murtasyi (orang yang menerima suap) tetap haram
dan berdosa. Lihat, Kasyaful Qana’, VI:316, Nihayatul Muhtaj, VIII:243, Hasyiah Ibnu Abidin, IV:304.
Adapun yang dimaksud dengan hak disini
adalah hak secara khusus, bukan hak secara umum. Artinya urusan/sesuatu
itu sudah dapat dipastikan menjadi hak orang tersebut. Karena itu, jika
seseorang tidak bisa mendapatkan haknya kecuali dengan syarat harus
membayar uang/barang sejumlah tertentu maka pembayaran itu tidak
dikategorikan risywah yang diharamkan. Sebagai misal:
- bila seseorang dirampas harta miliknya dan tidak akan diberikan kecuali dengan memberikan sejumlah harta, maka pemberian itu tidak dikategorikan risywah yang diharamkan, karena harta itu memang harta miliknya secara khusus.
- Satu perusahaan, karena telah memenuhi persyaratan tertentu, dipastikan memenangkan tender suatu proyek. Berarti proyek itu menjadi hak perusahaan tersebut. Namun proyek itu tidak akan segera turun kecuali dengan memberikan sejumlah harta, maka pemberian itu tidak dikategorikan risywah yang diharamkan, karena proyek itu memang telah menjadi haknya secara khusus.
Kasus Ibnu Mas’ud di atas dapat kita jadikan acuan atau landasan hukum terkait hak secara khsusus.
Sedangkan yang dimaksud dengan hak secara
umum adalah urusan/sesuatu itu berhak dimiliki oleh siapapun selama
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang
terhadap hak umum itu. Karena itu, jika seseorang tidak memenuhi
persyaratan tersebut namun mendapatkan hak umum dengan jalan membayar
uang/barang sejumlah tertentu maka pembayaran itu dikategorikan risywah
yang diharamkan, karena ia bukan termasuk orang yang berhak atas urusan
tersebut. Sebagai misal, menjadi pegawai negeri merupakan hak warga
negara. Artinya siapa saja memang berhak jadi pegawai negeri, jika
benar-benar telah lulus tes sesuai ketentuan. Kalau harus membayar
uang/barang dalam jumlah tertentu maka dapat dikategorikan risywah yang
diharamkan. Karena risywah itulah yang menyebabkan hak umum beralih atau
jatuh ke tangan orang yang bukan “pemilik”nya.
Perbedaan Risywah dengan Hadiah
Risywah dan hadiah memiliki kesamaan juga
perbedaan. Dikatakan sama karena kedua-duanya masuk didalam kategori
pemberian kepada seseorang. Dikatakan beda dilihat dari motif, fungsi,
dan eksesnya.
Kata hadiah (هدِيَّة) berarti إهداء
(pemberian), اللُّهْنَة (oleh-oleh), التَّقدِمَة (hadiah). Sebelum
menjelasan definisi hadiah, perlu dijelaskan beberapa istilah yang
terkadang masih belum dipahami oleh sebagian orang, sehingga sulit
dibedakan. Istilah tersebut adalah: hibah, hadiah dan sadaqah.
Imam asy-Syafi’i membagi kebajikan (tabarru’)
seseorang dengan hartanya kepada dua bentuk. Pertama kebajikan yang
berkaitan dengan kematian, yaitu wasiat. Kedua, kebajikan ketika masih
hidup yang dibedakannya antara kebajikan murni (mahdhah) dengan waqaf.
Kebajikan murni ada tiga macam, yaitu hibah, hadiah dan shadaqah tathawu’.
Selanjutnya dijelaskan, jika kebajikan
harta bertujuan untuk menghormati dan memuliakan seseorang disebut
dengan hadiah. Adapun hibah, pada asalnya dilihat dari jenis harta yang
diberikan, yaitu kalau yang diberikan itu harta tidak bergerak (tetap).
Sedangkan disebut shadaqah kalau kebajikan harta itu bertujuan untuk
pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah dan mengharapkan pahala akhirat.
Dari penjelasan di atas dapat
didefinisikan bahwa hadiah adalah pemberian harta kepada orang lain
dengan tujuan untuk menghormati (ikram), memuliakan (ta’zhim), mengasihi
(tawaddud) dan mencintainya (tahabbub).
Dalil Kebolehan Hadiah
Dalil-dalil yang digunakan oleh ulama dalam pembahasan ini pada umumnya berasal dari hadis, antara lain sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله
عنه، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، إِذَا أُتِيَ
بِطَعَامٍ سَأَلَ عَنْهُ: أَهَدِيَّةٌ أَمْ صَدَقَةٌ فَإِنْ قِيلَ
صَدَقَةٌ، قَالَ لأَصْحَابِهِ: كُلُوا، وَلَمْ يَأْكُلْ وَإِنْ قِيلَ
هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بِيَدِهِ صلى الله عليه وسلم، فَأَكَلَ مَعَهُمْ
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
“Rasulullah saw. apabila diberi makanan beliau bertanya: apakah makanan
ini hadiah atau sadaqah. Jika dijawab: ‘Sadaqah’, beliau mengatakan pada
para sahabatnya, ‘Makanlah oleh kalian’, sedangkan beliau tidak
memakannya. Akan tetapi bila dijawab: ‘Hadiah’, maka beliau (Nabi saw)
mengambil dengan tangannya lalu makan bersama mereka” (H.r. Al-Bukhari)
عَنْ عَلِيِّ قَالَ : إِنَّ
كِسْرى أَهْدَى إِلَى رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم هَدِيَّة مِنْه،
وَإِنَّ الْمُلُوْكَ أَهْدَوْا إِلَيْهِ فَقَبِلَ مِنْهُمْ
Dari Ali, ia berkata, “Sesungguhnya
Kisra memberi hadiah kepada Nabi saw. dan raja-raja lain juga memberi
hadiah kepada beliau dan beliau menerima hadiah tersebut dari mereka” (H.r. At-Tirmidzi)
Anjuran saling memberi hadiah, di
kalangan ulama telah terjadi Ijma’, karena Ia memberikan pengaruh yang
positif di masyarakat; baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Bagi
yang memberi, itu sebagai cara melepaskan diri dari sifat bakhil,
sarana untuk saling menghormati dan sebagainya. Sedangkan kepada yang
diberi, sebagai salah satu bentuk memberi kelapangan terhadapnya,
hilangnya kecemburuan dan kecurigaan, bahkan mendatangkan rasa cinta dan
persatuan dengan sesama.
Hadiah bagi pejabat atau pemegang kebijakan
Jika dalam menjalankan tugas atau jika
terkait dengan tugasnya, seseorang yang memiliki jabatan atau mempunyai
wewenang tertentu diberi hadiah oleh pihak lain dengan harapan pejabat
tersebut dapat memberi kemudahan tertentu atau memberi keringanan
tertentu atas suatu tuntutan, maka hadiah yang demikian dikategorikan
sebagai ghulul (korupsi). Hal ini dapat dipahami secara logis, sebab hadiah, tips,
bingkisan atau parcel tersebut, sedikit atau banyak mempengaruhi
kebijakan dan keputusannya sebagai pejabat/pegawai. Contoh yang paling
nyata adalah pegawai/pejabat tingkat atas yang mendapat bingkisan/hadiah
tertentu dari bawahannya demi memperoleh keuntungan tertentu. Tindakan
demikian dapat merusak sistem yang dilandaskan pada asas keadilan dan
kejujuran dan tentu akan merugikan kepentingan umum.
Terkait hadiah bagi para pejabat atau
pegawai publik, Rasulullah saw. telah memberikan pedoman sebagaimana
dijelaskan pada riwayat sebagai berikut:
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ
السَّاعِدِيّ قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ اللُّتْبِيَّةِ عَلَى
صَدَقَةٍ فَجَاءَ فَقَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي فَقَامَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ
فَقَالَ مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ فَيَجِيءُ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ
وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ
فَيَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ
بِيَدِهِ لَا يَأْتِي أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا بِشَيْءٍ إِلَّا جَاءَ بِهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ
أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ
حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ
ثَلَاثًا
Dari Abu Hamid as-Sa’adi, ia berkata,
“Nabi saw. pernah mengangkat/mempekerjakan seseorang dari Bani al-Azad,
ada yang mengatakan namanya Ibn al-Lutbiyah, untuk mengumpulkan sadaqah.
Setelah kembali ia mengatakan kepada Rasulullah, ‘Ini untukmu dan ini
dihadiahkan untukku’. Lalu Nabi saw. berdiri berkhutbah sambil memuji
Allah swt. Dalam khutbahnya beliau bersabda, ‘Seorang karyawan yang kita
utus mengumpul sadaqah datang dan berkata, ‘Ini untukmu dan ini
untukku’. Kenapa dia tidak duduk saja sambil menunggu di rumah bapaknya
atau ibunya, apakah dia akan diberi hadiah atau tidak ? Demi yang diri
Muhammad di tangan-Nya, tidaklah kami mengutus seseorang di antara kamu
mengambil sesuatu kecuali datang dia pada hari kiamat membawa di
lehernya, jika dia menerima unta akan berbunyi unta, begitu juga sapi
akan berbunyi sapi, kambing akan berbunyi kambing. Kemudian beliau
mengangkat kedua tangannya sehingga terlihat ketiaknya, lalu berdoa, ‘Ya
Allah, apakah aku sudah menyampaikannya’. Doa itu diucapkannya tiga
kali” (H.r. al-Bukhari)
Dalam pemberian sesuatu kepada Pegawai/pejabat publik terbagi dalam tiga bagian:
Pertama, Pemberian yang diharamkan, baik bagi pemberi maupun penerima
Kaidahnya, pemberian tersebut bertujuan
untuk sesuatu yang batil, ataukah pemberian atas sebuah tugas yang
memang wajib dilakukan oleh seorang pegawai. Misalnya pemberian kepada
pegawai setelah ia menjabat atau diangkat menjadi pegawai pada sebuah
instansi. Dengan tujuan mengambil hatinya tanpa hak, baik untuk
kepentingan sekarang maupun untuk masa akan datang, yaitu dengan menutup
mata terhadap syarat yang ada untuknya, dan atau memalsukan data, atau
mengambil hak orang Lain, atau mendahulukan pelayanan kepadanya daripada
orang yang lebih berhak, atau memenangkan perkaranya, dan sebagainya.
Diantara permisalan yang juga tepat dalam
permasalahan ini adalah, pemberian yang diberikan oleh perusahaan atau
toko kepada pegawainya, agar pegawainya tersebut merubah data yang
seharusnya, atau merubah masa berlaku barang, atau mengganti nama
perusahaan yang memproduksi, dan sebagainya.
Kedua, pemberian yang terlarang
mengambilnya, dan diberi keringanan dalam Memberikannya. Kaidahnya,
pemberian yang dilakukan secara terpaksa, karena apa yang menjadi haknya
tidak dikerjakan, atau disengaja diperlambat oleh pegawai bersangkutan
yang seharusnya memberikan pelayanan. Sebagai misal, pemberian seseorang
kepada pegawai atau pejabat, yang ia lakukan karena untuk mengambil
kembali haknya, atau untuk menolak kezhaliman terhadap dirinya. Apalagi
Ia melihat, jika sang pegawai tersebut tidak diberi sesuatu (uang,
misalnya), maka ia akan melalaikan, atau memperlambat prosesnya.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Jika seseorang
memberi hadiah (dengan maksud) untuk menghentikan sebuah kezaLiman atau
menagih haknya yang wajib, maka hadiah ini haram bagi yang mengambil,
dan boleh bagi yang memberi. Sebagaimana Nabi bersabda, “Sesungguhnya
aku seringkali memberi pemberian kepada seseorang, lalu ia keluar
menyandang api (neraka),” ditanyakan kepada beliau,”Ya, Rasulullah.
Mengapa engkau memberi juga kepada mereka?” Beliau menjawab, “Mereka
tidak kecuali meminta kepadaku, dan Allah tidak menginginkanku bakhil.”
Ketiga, pemberian yang
diperbolehkan, bahkan dianjurkan memberi dan mengambilnya. Kaidahnya,
suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Swt. untuk
memperkuat tali silaturahim atau menjalin ukhuwah Islamiah, dan bukan
bertujuan memperoleh keuntungan duniawi.
Di bawah ini ada beberapa permasalahan,
yang hukumnya masuk dalam bagian ini, sekalipun yang afdhal bagi
pegawai, tidak menerima hadiah tersebut, sebagai upaya untuk menjauhkan
diri dari tuduhan dan sadduz zari’ah (tindakan preventif) baginya dari pemberian yang haram.
- Hadiah seseorang yang tidak mempunyai kaitan dengan pekerjaan (usahanya). Sebelum orang tersebut menjabat, ia sudah sering juga memberi hadiah, karena hubungan kerabat atau yang lainnya. Dan pemberian itu tetap tidak bertambah, meskipun yang ia beri sekarang sedang menjabat.
- Hadiah orang yang tidak biasa memberi hadiah kepada seorang pegawai yang tidak berlaku persaksiannya, seperti Qodi bersaksi untuk anaknya, dan hadiah tersebut tidak ada hubungannya dengan usahanya.
- Hadiah yang telah mendapat izin dari pemerintah atau instansinya.
- Hadiah atasan kepada bawahannya.
- Hadiah setelah ia meninggalkan jabatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar