KEL.BESAR ABU ALIFA

KEL.BESAR ABU ALIFA

Selasa, 03 Februari 2015

METODE DEWAN HISBAH DALAM MENENTUKAN HUKUM




Metode (manhaj) resmi yang dipergunakan oleh Dewan Hisbah dalam memutuskan atau mengambil keputusan hukum, dengan dasar utama adalah al-Qur’an al-Karîm dan al-Hadîts shahîh, dengan rumusan sebagai berikut:


Dalam beristidlâl dengan al-Qur’an:


1.
Mendahulukan zhahîr ayat al-Qur’an daripada ta’wîl dan memilih cara-cara tafwîdl dalam hal-hal yang menyangkut masalah i’ti-qâdiyah.
2.
Menerima dan meyakini isi kandungan al-Qur’an sekalipun tampaknya bertentangan dengan ‘aqli dan ‘ady, seperti masalah Isra dan Mi’raj.
3.
Mendahulukan makna haqîqi daripada makna majâzi kecuali jika ada alasan (qarînah), seperti kalimat: “Aw lamastumun nisa” de-ngan pengertian bersetubuh.
4.
Apabila ayat al-Qur’an bertentangan dengan al-Hadits, maka didahulukan ayat al-Qur’an sekalipun Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muttafaq ‘Alaih, seperti dalam hal menghajikan orang lain.
5.
Menerima adanya nasîkh dalam al-Qur’an dan tidak menerima adanya ayat-ayat yang mansûkh (naskh al-kulli).
6.
Menerima tafsîr  dari para  sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an (tidak hanya penafsiran ahl al-bait), dan mengambil penafsiran shahabat yang lebih ahli jika terjadi perbedaan penafsiran di kalangan para sahabat.
7.
Mengutamakan tafsîr bi al-Ma’tsûr dari pada bi al-Ra’yi.
8.
Menerima Hadits-hadits sebagai bayan terhadap al-Qur’an, kecuali ayat yang telah diungkapkan dengan shighat hasr, seperti ayat tentang makanan yang diharamkan.


Dalam beristidlâl dengan al-Hadîts:


1.
Menggunakan Hadîts shahîh dan hasan dalam mengambil keputusan hukum.

2.
Menerima Kaidah: Al-hadîsu al-dha’îfatu yaqwa ba’duha ba’dhan. Jika kedha’îfan Hadîts tersebut dari segi hafalan perawi (dhabth) dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau Hadîts lain yang sha-hîh. Adapun jika kedha’îfan itu dari segi tertuduh dusta (fisq al-rawi), maka kaidah tersebut tidak dipakai.

3.
Tidak menerima kaidah: Al-hadîtsu al-dha’îfu ya’malu fî fadhail al-‘amali. Karena yang menunjukkan fadhail al-‘amal dalam Hadîts shahîhpun cukup banyak.

4.
Menerima Hadîts shahîh sebagai tasyrî’ yang mandiri, sekalipun bukan merupakan bayan dari al-Qur’an.

5.
Menerima Hadîts Ahad sebagai dasar hukum selama kualitas Hadîts tersebut shahîh.

6.
Hadîts Mursal Shahâbi dan Mauqûf bi Hukm al-Marfû’ dipakai sebagai hujah selama sanad Hadîts tersebut shahîh dan tidak bertentangan dengan Hadîts lain yang shahîh.

7.
Hadîts Mursal Tabî’i dijadikan hujah apabila Hadîts tersebut disertai qarînah yang menunjukkan ketersambungan sanad (ittishal) Hadîts tersebut.

8.
Menerima kaidah: Al-jarh muqaddamun ‘ala al-ta’dîl dengan ketentuan sebagai berikut:
 a.
Jika yang menjarh menjelaskan jarhnya (mubayan al-sabab), maka jarh didahulukan daripada ta’dîl.
 b.
Jika yang menjarh tidak menjelaskan sebab jarhnya, maka ta’dîl didahulukan  dari pada jarh.
 c.
Bila yang menjarh tidak menjelaskan sebab jarhnya, tapi tidak ada seorangpun yang menyatakan tsiqat, maka jarhnya bisa diterima.

9.
Menerima kaidah tentang shahabat: Al-shahâbatu kuluhum ‘udul.

10.
Riwayat orang yang suka melakukan tadlîs diterima, jika menerangkan bahwa apa yang riwayatkannya itu jelas shighat tahamulnya menunjukkan ittishal, seperti menggunakan kata: hadzatsani.



Adapun dalam menghadapi masalah-masalah yang tidak diketemukan nashnya yang tegas (sharîh) dalam al-Qur’an dan al-Hadîts, ditempuh dengan cara ijtihâd jama’i, dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:


1.
Tidak menerima ijmâ’ secara mutlak dalam urusan ibadah kecuali ijmâ’ shahabat.

2.
Tidak menerima qiyâs dalam masalah ibadah mahdhâh, sedangkan dalam masalah ibadah ghair mahdhâh, qiyâs diterima selama memenuhi persyaratan qiyas.

3.
Dalam memecahkan ta’arud al-‘adilah diupayakan dengan cara:
a
Tharîqat al-jam’i, selama masih mungkin dijam’u.
b
Tharîqat al-tarjîh, dari berbagai sudut dan seginya, misalnya:
1)
Mendahulukan al-Mutsbit daripada al-Nafi.
2)
Mendahulukan Hadîts-hadîts riwayat shahîhain daripada di luar shahîhain.
3)
Dalam masalah-masalah tertentu, Hadîts yang diriwayatkan oleh muslim lebih didahulukan daripada riwayat Bukhâri, seperti dalam hal pernikahan Nabi dengan Maemunah.
4)
Meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan jatuh pada hukum bid’ah lebih didahlukan daripada mengamalkan  sesuatu  yang diragukan sunnahnya.
c
Tharîqat al-naskh, jika diketahui mana yang dahulu dan mana yang kemudian.

4.
Dalam membahas masalah ijtihad Dewan Hisbah menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih sebagaimana lazimnya para Fuqaha. Seperti praktik mengartikan bahasa Hadîts, tidak merubah arti kalimat yang asal kepada arti yang lain kecuali kalau ada qarînah yang memungkinkan berubah arti, sebagaimana kaidah Ushûl Fiqh menyatakan:اَلنَّبَادُرُ عَلاَمَةُ الْحَقِيْقَةِ”Kalimat yang lekas terpaham itulah tanda arti yang sebenarnya“.

Kalau ditemukan kalimat: “jalasa“, itu artinya duduk. Di mana saja kalimat itu ada tetap artinya duduk, jangan berubah arti kecuali kalau ada qarînah yang mengharuskan rubah pada arti yang lain. Demikian pula mengartikan Hadîts-hadîts Rasul dan yang lainnya.

5.
Dewan Hisbah tidak mengikatkan diri pada suatu madzhab, tapi pendapat imam madzhab menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil ketentuan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur’an dan al-Sunnah.


Dalam rumusan-rumusan ini dijelaskan pula catatan penting antara lain bahwa, disadari sekalipun para ulama Persatuan Islam telah sepakat dengan metode tersebut, namun belum tentu hasil ijtihâdnya sama, karena masih bergantung kepada ketepatan, keahlian, kejelian, ketelitian, dalam mengambil suatu keputusan dan meninjau dari berbagai seginya. Untuk itu dalam musyawarah diperlukan sekali jiwa yang terbuka, berani mengoreksi pendapat orang lain dan rela menerimanya sekiranya hasil ijtihadnya keliru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar