Metode
(manhaj) resmi yang dipergunakan oleh Dewan Hisbah dalam memutuskan atau
mengambil keputusan hukum, dengan dasar utama adalah al-Qur’an al-Karîm dan
al-Hadîts shahîh, dengan rumusan sebagai berikut:
Dalam
beristidlâl dengan al-Qur’an:
1.
|
Mendahulukan
zhahîr ayat al-Qur’an daripada ta’wîl dan memilih cara-cara tafwîdl
dalam hal-hal yang menyangkut masalah i’ti-qâdiyah.
|
2.
|
Menerima
dan meyakini isi kandungan al-Qur’an sekalipun tampaknya bertentangan dengan ‘aqli
dan ‘ady, seperti masalah Isra dan Mi’raj.
|
3.
|
Mendahulukan
makna haqîqi daripada makna majâzi kecuali jika ada alasan (qarînah),
seperti kalimat: “Aw lamastumun nisa” de-ngan pengertian bersetubuh.
|
4.
|
Apabila
ayat al-Qur’an bertentangan dengan al-Hadits, maka didahulukan ayat al-Qur’an
sekalipun Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muttafaq ‘Alaih, seperti
dalam hal menghajikan orang lain.
|
5.
|
Menerima
adanya nasîkh dalam al-Qur’an dan tidak menerima adanya ayat-ayat yang
mansûkh (naskh al-kulli).
|
6.
|
Menerima
tafsîr dari para sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an
(tidak hanya penafsiran ahl al-bait), dan mengambil penafsiran
shahabat yang lebih ahli jika terjadi perbedaan penafsiran di kalangan para
sahabat.
|
7.
|
Mengutamakan
tafsîr bi al-Ma’tsûr dari pada bi al-Ra’yi.
|
8.
|
Menerima
Hadits-hadits sebagai bayan terhadap al-Qur’an, kecuali ayat yang
telah diungkapkan dengan shighat hasr, seperti ayat tentang makanan
yang diharamkan.
|
Dalam
beristidlâl dengan al-Hadîts:
1.
|
Menggunakan
Hadîts shahîh dan hasan dalam mengambil keputusan hukum.
|
||||||
2.
|
Menerima
Kaidah: Al-hadîsu al-dha’îfatu yaqwa ba’duha ba’dhan. Jika kedha’îfan
Hadîts tersebut dari segi hafalan perawi (dhabth) dan tidak
bertentangan dengan al-Qur’an atau Hadîts lain yang sha-hîh. Adapun
jika kedha’îfan itu dari segi tertuduh dusta (fisq al-rawi),
maka kaidah tersebut tidak dipakai.
|
||||||
3.
|
Tidak
menerima kaidah: Al-hadîtsu al-dha’îfu ya’malu fî fadhail al-‘amali.
Karena yang menunjukkan fadhail al-‘amal dalam Hadîts shahîhpun
cukup banyak.
|
||||||
4.
|
Menerima
Hadîts shahîh sebagai tasyrî’ yang mandiri, sekalipun bukan
merupakan bayan dari al-Qur’an.
|
||||||
5.
|
Menerima
Hadîts Ahad sebagai dasar hukum selama kualitas Hadîts tersebut shahîh.
|
||||||
6.
|
Hadîts
Mursal Shahâbi dan Mauqûf bi Hukm al-Marfû’ dipakai sebagai hujah
selama sanad Hadîts tersebut shahîh dan tidak bertentangan dengan
Hadîts lain yang shahîh.
|
||||||
7.
|
Hadîts
Mursal Tabî’i dijadikan hujah apabila Hadîts tersebut disertai qarînah
yang menunjukkan ketersambungan sanad (ittishal) Hadîts tersebut.
|
||||||
8.
|
Menerima
kaidah: Al-jarh muqaddamun ‘ala al-ta’dîl dengan ketentuan sebagai
berikut:
|
||||||
9.
|
Menerima
kaidah tentang shahabat: Al-shahâbatu kuluhum ‘udul.
|
||||||
10.
|
Riwayat
orang yang suka melakukan tadlîs diterima, jika menerangkan bahwa apa
yang riwayatkannya itu jelas shighat tahamulnya menunjukkan ittishal,
seperti menggunakan kata: hadzatsani.
|
Adapun
dalam menghadapi masalah-masalah yang tidak diketemukan nashnya yang tegas
(sharîh) dalam al-Qur’an dan al-Hadîts, ditempuh dengan cara ijtihâd jama’i,
dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:
1.
|
Tidak
menerima ijmâ’ secara mutlak dalam urusan ibadah kecuali ijmâ’
shahabat.
|
||||||||||||||
2.
|
Tidak
menerima qiyâs dalam masalah ibadah mahdhâh, sedangkan dalam
masalah ibadah ghair mahdhâh, qiyâs diterima selama memenuhi
persyaratan qiyas.
|
||||||||||||||
3.
|
Dalam
memecahkan ta’arud al-‘adilah diupayakan dengan cara:
|
||||||||||||||
4.
|
Dalam
membahas masalah ijtihad Dewan Hisbah menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih
sebagaimana lazimnya para Fuqaha. Seperti praktik mengartikan bahasa Hadîts,
tidak merubah arti kalimat yang asal kepada arti yang lain kecuali kalau ada qarînah
yang memungkinkan berubah arti, sebagaimana kaidah Ushûl Fiqh menyatakan:اَلنَّبَادُرُ
عَلاَمَةُ الْحَقِيْقَةِ”Kalimat
yang lekas terpaham itulah tanda arti yang sebenarnya“.
Kalau
ditemukan kalimat: “jalasa“, itu artinya duduk. Di mana saja kalimat
itu ada tetap artinya duduk, jangan berubah arti kecuali kalau ada qarînah
yang mengharuskan rubah pada arti yang lain. Demikian pula mengartikan
Hadîts-hadîts Rasul dan yang lainnya.
|
||||||||||||||
5.
|
Dewan
Hisbah tidak mengikatkan diri pada suatu madzhab, tapi pendapat imam madzhab
menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil ketentuan hukum, sepanjang sesuai
dengan jiwa al-Qur’an dan al-Sunnah.
|
Dalam
rumusan-rumusan ini dijelaskan pula catatan penting antara lain bahwa, disadari
sekalipun para ulama Persatuan Islam telah sepakat dengan metode tersebut,
namun belum tentu hasil ijtihâdnya sama, karena masih bergantung kepada
ketepatan, keahlian, kejelian, ketelitian, dalam mengambil suatu keputusan dan
meninjau dari berbagai seginya. Untuk itu dalam musyawarah diperlukan sekali
jiwa yang terbuka, berani mengoreksi pendapat orang lain dan rela menerimanya
sekiranya hasil ijtihadnya keliru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar